SERENTAK pengadilan dilanda aksi mogok. Proses peradilan "perkara Tanjung Priok" dan "pengeboman BCA", yang menyangkut H.M. Fatwa, Abdul Qadir Djaelani, dan H. Mawardi Noor tiba-tiba jadi mandek. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya, Senin pekan lalu, pengunjung bengong melihat terdakwa dan pembelanya. Tiba-tiba saja keempat pembela meninggalkan sidang, menyusul penolakan hakim atas keinginan pembela menampilkan saksi yang meringankan, a de charge, Ali Sadikin. Fatwa, yang ditinggalkan pembelanya, segera pula meminta diri kepada hakim. "Saya diancam hukuman mati, saya mohon majelis hakim mempertimbangkan hal itu," ujar Fatwa. Entah mengapa, Ketua Majelis Hakim B.E.D. Siregar mempersilakan Fatwa keluar. "Itu hak Saudara," katanya. Tapi, setelah majelis menghadapi kursi kosong, barulah Hakim Siregar menyadari situasi itu. "Berdasarkan tata cara sidang, persidangan tidak bisa diteruskan, karena terdakwa dan pembelanya tidak hadir," ujar Siregar, sambil menutup sidang. Tim pembela perkara Fatwa, yang terdiri dari Abdul Hakim Garuda Nusantara, Suroto Kartosudarmo, Denny Kailimang, dan Luhut Pangaribuan, hari itu memang melancarkan protes keras ke alamat hakim. Menurut mereka, hakim telah mengesampingkan pasal 160 KUHAP, dengan menolak permohonan terdakwa untuk mengajukan Ali Sadikin sehagai saksi. Dalam pasal itu, memang, hukum acara mewajibkan hakim memanggil saksi baik yang diajukan jaksa maupun yang diminta terdakwa. "Sebab itu, kami meminta fatwa dari Ketua Mahkamah Agung. Sebelum fatwa keluar, kami tidak akan hadir di sidang," kata Abdul Hakim Nusantara. Ternyata, tim pembela tidak perlu berlama-lama menunggu fatwa yang di maksud. Dalam sidang lanjutan, Senin pekan ini, Hakim B.E.D. Siregar mengumumkan bahwa permohonan agar Ali Sadikin didengar sebagai saksi dikabulkan. "Majelis tidak keberatan mendengarkan kesaksian Ali Sadikin," ujar Siregar. Fatwa girang. "Terima kasih, Bapak Ketua," kata Fatwa, yang hari itu tidak didampingi pembelanya. Tapi, setelah itu, bukan berarti persidangan berjalan lancar. Ketika sidang akan dilanjutkan, Fatwa menyela. "Sebenarnya, Pak Hakim, saya benar-benar sakit hari ini. Cuma, untuk menghindari prasangka macam-macam, saya paksakan datang juga. Jadi, mohonlah kearifan Pak Hakim untuk menunda sidang, karena tadi saya sudah hampir muntah," pinta Fatwa. Semula Majelis Hakim tetap akan melanjutkan pemeriksaan. Tapi, ketika sidang berjalan, Fatwa - yang hari itu tubuhnyn di tempeli tiga buah koyok - menginterupsi. "Maaf ... saya. tidak tahan lagi," katanya. Setelah berunding dengan majelisnya, Siregar terpaksa juga menunda sidang sampai Rabu ini. Aksi pemogokan Fatwa, seperti sidang pekan lalu itu, juga terjadi di pengadilan yang sama dalam waktu selang dua hari. Hari itu, Abdul Qadir Djaelani yang beraksi. Ketika hakim membuka sidang, Pembela H.M. Dault dan Asmansyah tidak hadir, tanpa alasan. Serta merta terdakwa menyatakan keberatannya. "Tanpa penasihat hukum saya tidak bersedia mengikuti sidang," katanya, memprotes. Majelis hakim yang diketuai Imam Soekarno, tidak menggubris protes itu dan tetap berniat melanjutkan sidang. Ketika itulah A.Q. Djaelani berdiri meninggalkan ruangan. Hakim Imam segera memerintahkan petugas keamanan membawa pesakitan itu kembali ke kursinya. Tidak lama Djaelani memang terbawa oleh petugas. Tapi, lagi-lagi ia menolak disidangkan, dan beranjak keluar. Hakim Imam, yang sebelumnya coba membujuk, berbalik mengusir, "Kali ini Saudara keluar bukan karena kemauan Saudara, tapi kami usir." Setelah itu, tanpa terdakwa dan pembela, Majelis mendengarkan keterangan saksi-saksi. Pada sidang Sabtu pekan lalu, anehnya, justru para pembela yang hadir. Djaelani, yang biasanya berkibar-kibar di muka meja hijau, tidak datang dengan alasan hari itu sakit livernya kambuh - tanpa surat keterangan dokter. Imam Soekarno kesal, merasa dipermainkan, tapi tetap meneruskan sidang. Pembela protes. Imam menjawab "Majelis tidak percaya terdakwa sakit." Sebelumnya, sidang H. Mawardi Noor di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, juga berlangsung tanpa hadirnya terdakwa dan pembela. Pada Sabtu dua pekan lalu, Mawardi tidak bersedia datang ke sidang dengan alasan sakit. Hakim Ahmad Hasan, yang memimpin sidang, tidak bisa menerima alasan itu, karena tidak ada keterangan dokter. Hakim memerintahkan jaksa menjemput terdakwa. Tapi, usaha jaksa menjemput Mawardi ke Rumah Tahanan Salemba sia-sia. Sebab, Mawardi brsikeras untuk tidak hadir di sidang hari itu. Sekitar pukul 15, sidang tetap dibuka tanpa dihadiri terdakwa. Pada sidang selanjutnya, Selasa pekan lalu, kejadian serupa terulang. Dengan surat dokter dari Rumah Tahanan Salemba, Mawardi kembali tidak muncul di sidang. Begitu pula pembelanya, H.M. Dault, M Assegaf, dan Erman Umar. Tapi hakim meneruskan sidang, dengan membacakan keterangan saksi dari berita acara pemeriksaan pendahuluan. Ada apa sebenarnya di balik aksi mogok dan aksi protes itu? Pembela Fatwa, Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengatakan bahwa tindakannya bersama rekan-rekannya meninggalkan sidang karena ingin menghormati pengadilan dan undang-undang. "Sebab, kami menunggu fatwa dari Mahkamah Agung tentang penolakan hakim itu untuk mengajukan saksi kami. Sekarang, dengan dikabulkannya kehadiran saksi Ali Sadikin, kami pasti datang pada sidang mendatang," ujar Abdul Hakim, awal pekan. Ia menganggap sikap hakim aneh: menerima saksi a de charge untuk perkara Dharsono, tapi menolak untuk perkara Fatwa. Padahal, dalam kedua perkara itu, katanya, terdapat materi yang sama yaitu tentang "Lembaran Putih" yang dibuat sehubungan dengan peristiwa Priok di rumah Ali Sadikin. Lebih aneh lagi, katanya, hakim yang pekan lalu menolak saksi tanpa dasar hukum, kini berbalik menerima saksi itu. Seharusnya hakim itu diberi sanksi," kata Abdul Hakim, bersemangat. Pembela yang lain, Denny Kailimang, selam memperkuat pendapat tadi, juga membantah aksi mogok itu sudah direncanakan semua pembela perkara subversi ditiga sidang tersebut. "Saya pembela pertama yang akan mengundurkan diri dari tim pembela, bila itu direncanakan," ujar Denny. Ia, setuju pengunduran diri dari sidang karena majelis hakim melanggar hukum acara pidana (KUHAP). Pembela Abdul Qadir Djaelani dan Mawardi, H.M. Dault, juga menunjuk pelanggaran undang-undang oleh hakim sebagai penyebab aksi mogok kliennya dan juga tim pembelanya. "Dalam kasus A.Q. Djaelani, terdakwa protes tidak bersedia melanjutkan sidang karena pembela tidak hadir. 'Kan waiar ia tidak mau diadili karena. menurut KUHAP, terdakwa yang diancam hukuman mati harus didampingi pembela," kata Dault. Tapi hakim, katanya, tetap melanjutkan sidang - itu melanggar hukum acara lagi. Tentang Mawardi Noor, menurut Dault, sudah jelas ia sakit dan bahkan belakangan disusulkan surat dokter dari tempat tahanan. "Masa untuk izin sakit saja harus melalui penetapan pengadilan? Apa penetapan hakim itu lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang?" ujar Dault. Sebaliknya, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bob Nasution, yang membawa Fatwadan Abdul Qadir ke pengadilan, menuduh ada yang tidak beres dari aksi terdakwa dan pengacara itu. "Para pengacara itu sengaja membikin ulah untuk memperlambat sidang," ujar Bob. Menurut Bob, wewenang hakim untuk menahan para terdakwa perkara subversi Tanjung Priok dan pengeboman BCA itu akan habis masa berlakunya akhir Desember mendatang. "Jadi, mereka sengaja mengulur waktu agar masa tahanan habis demi hukum. Bayangkan, sekarang saja baru memeriksa saksi," ujar Bob gusar. Menurut Bob Nasution, aksi mogok semacam itu baru pertama kalinya terjadi. "Ini akibat batas waktu penahanan yang digariskan KUHAP, dan mereka coba memanfaatkannya. Masa ada pengacara yang sengaja tidak datang ke sidang atau meninggalkan sidang yang tengah berjalan," tambah Bob. Hakim Imam Soekarno sependapat dengan Bob. "Mereka berharap, dengan alasan sakit, mendapat tahanan luar. Kalau sampai Desember perkara itu tidak putus, kam yang malu," ujar Imam. Aksi mogok itu tidak hanya merepotkan Bob dan Imam. Menurut sumber TEMPO, kejadian-kejadian pekan lalu itu menjadi bahan pembicaraan penting di antara para petinggi hukum. Bahkan, kata sumber itu, pihak Kejaksaan Agung sampai-sampai telah mempelajari kemungkinan mengusut para pembela yang melakukan aksi mogok itu dengan tuduhan mengacaukan sidang peradilan. Ketua Mahkamah Agung Ali Said, terus terang, menuduh para pengacara itu tidak menghormati pengadilan. "Kasarnya, mereka telah menghina pengadilan," ujar Ali Said kepada TEMPO. Ia membenarkan tugas pengacara adalah memperjuangkan kepentingan kliennya. "Tapi, tidak dengan main 'ketoprak' seperti itu, dan harus tetap sesuai dengan aturan permainan yang ada," ujar Ali Said. Menurut Ali Said, jika pengacara tidak sependapat dengan hakim, ia boleh-boleh saja protes, tapi tidak bisa meninggalkan sidang. "Kalau dalam rapat organisasi, yang tidak setuju berdiri meninggalkan rapat sambil kentut, juga tidak apa-apa. Tapi, lho, ini 'kan sidang pengadilan - masa sambil kentut meninggalkan sidang pengadilan. Itu 'kan namanya orang gila, seenaknya sendiri," ujar Ali Said, terkekeh-kekeh. Gila atau tidak, yang jelas, sudah lama sidang-sidang perkara subversi memang diwarnai tingkah aneh-aneh terdakwa dan saksi-saksi. Dari mulai sidang perkara-perkara Gestapu - yang diwarnai agitasi-agitasi politik para terdakwa - sampai perkara pengeboman BCA dengan terdakwa Tashrif yang berkafiyeh. Pada tahun 1975, di sidang-sidang "Perkara Malari", tidak begitu banyak tingkah aneh muncul di tengah berjubelnya massa mengikuti jalannya persidangan. Hanya Saksi Bambang Sulistomo yang tampil lain dari yang lain: Anak Bung Tomo itu muncul berpakaian tradisional Jawa lengkap dengan kerisnya. Ia juga tidak bersedia disumpah sesuai dengan agamanya. Majelis hakim memang memperkenankan saksi itu mengucapkan janji saja. Ketegangan baru terasa dalam perkara Aini Chalid. Bekas mahasiswa UGM itu di sidang, 1975, menolak untuk didampingi pembela. "Sejak saya ditahan dan diperiksa, toh, tidak didampingi pembela," begitu alasannya. Lebih keras dari itu adalah Fahmi Basya, mahasiswa FIPIA UI, yang dituduh merencanakan peledakan tempat-tempat maksiat di Ibu Kota. Selain menolak pembela, Fahmi juga menolak disidangkan. "Saya tidak akan meladeni sidang ini, sebab barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum Allah, maka mereka orang kafir ...," kata Fahmi, yang kemudian divonis 5 tahun penjara. Dengan alasan berbeda, pada waktu yang sama, 1978, Sawito juga melancarkan tutup mulut. Orang yang didakwa hendak menggulingkan kekuasaan yang ada itu memprotes jalannya sidang yang dianggapnya keluar dari rel hukum. Pasalnya, ia bersama pembelanya, Yap Thiam Hien dan kawan-kawan, menuntut agar persidangan itu dilaksanakan dengan mendengarkan keterangan saksi lebih dahulu. Tapi majelis hakim, yang diketuai H.M. Soemadijono, menolak permintaan itu karena tidak sesuai dengan kebiasaan peradilan waktu itu (kini, sesuai dengan KUHAP, saksi memang diperiksa lebih dulu). Sebab itu, Sawito bungkam. Sikapnya ini hampir-hampir membuat Jaksa Mappigau, yang menuntutnya, tidak dapat menahan emosi. "Saya bicara dengan setan atau manusia?" hardik Mappigau. Tapi peradilan akhirnya mendengar saksi lebih dulu. Setelah itu keanehan-keanehan semakin ramai dalam proses peradilan-peradilan perkara subversi. Kelompok Imran, ketika diadili sekitar 1982, menampilkan aksi-aksi yang seperti menantang lembaga peradilan. Salman Hafidz, yang sudah dihukum mati, misalnya, di sidang tampil berdasi tapi dengan celana digulung. Yang diminta pun aneh: bukan pembela, tapi "pengawas hukum". Tentu saja permintaan itu ditolak hakim. Tapi, ternyata, ada dua orang pembela dari Bandung, Edi Suwardi dan Anwar Sulaeman, bersedia duduk-duduk saja hanya untuk mendengar dan melihat jalannya sidang. Rekan Salman, Muhammad Edi, lain lagi protesnya. Ia menolak diadili, semata karena seorang hakim anggota yang akan mengadilinya adalah wanita. Alasannya, wanita tldak bisa dijadikan imam, apalagi hakim. "Dan lagi wanita dapat menimbulkan nafsu birahi. Hakim wanita membuat saya tidak tenang," ujarnya. Tapi, lebih dari semua protes itu, muncul dari tokoh "Komando Jihad", Bambang Sispoyo, yang dikenal juga sebagai kelompok Hispran di Jawa Tengah. Belasan kali sidang, Juni lalu, tidak sekali pun hakim berhasil memeriksanya. Bahkan, untuk duduk di kursi terdakwa pun, ia tidak bersedia. "Saya tidak kenal kamu, karena itu saya tidak mau diperintah," kata Bambang, berkamu kepada Hakim Suciadi, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, yang memerintahkannya duduk. Protesnya tak hanya di mulut belaka. Beberapa kali ia mengamuk, ketika diseret ke luar ruangan sidang. Suatu kali ia menendang kursi sampai roboh, di lain kali ia membuang mapnya yang berisi pledoi ke meja hakim. Bahkan, pernah pula ia melemparkan uang ke muka hakim. Ia, akhirnya, memang divonis mati. Tapi, aksi-aksi "non-yuridis" - yang bisa dicap sebagai penghinaan terhadap kekuasaan pengadilan, seperti kata Ketua Mahkamah Agung Ali Said - di sidang subversi yang sampai melibatkan pengacara memang baru terjadi dalam proses peradilan perkara Tanjung Priok dan pengeboman BCA. Pengacara senior Adnan Buyung Nasution melihat semua itu sebagai reaksi wajar dari sikap hakim yang sangat membela kepentingan pemerintah, sehingga pembela juga ekstra melindungi kliennya. "Pembela tentu akan bersikap lain bila hakim menunjukkan sikap yang mandiri," ujar Buyung (lihat: Bagaimana Menjangkau Subversi?). Prof. Oemar Senoadji, bekas Ketua Mahkamah Agung, memandang keanehan-keanehan sikap terdakwa perkara subversi itu berdasarkan keyakinan yang dianut terdakwa itu sendiri. "Mereka sudah sangat yakin bahwa mereka itu benar. Sebab itu, ada yang menuntut hanya Tuhan yang berhak mengadili," ujar Senoadji. Kejadian seperti itu - menantang pengadilan - katanya juga terjadi di negara-negara lain. Keyakinan mereka itu, tambahnya, biasanya berdasarkan agama atau ideologi. "Karena keyakinan itu pula mereka tidak lagi mempercayai pengadilan, dan siap sedia untuk mati," kata guru besar hukum pidana UI itu. Contohnya di Indonesia, kata Oemar Senoadji, adalah tokoh DI/TII Kartosuwirjo yang dalam perjalanan ke tempat eksekusi pun masih tidur ngorok. Karni Ilyas Laporan Agus B., Eko Y., Happy S., & Gatot T. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini