SALAH satu pekerjaan rumah Ali Said selesai pekan lalu, setelah munas advokat berhasil menelurkan sebuah wadah tunggal, Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia). Ya, Ketua Mahkamah Agung inilah yang pertama kali mencetuskan perlunya wadah tunggal untuk pengacara, tiga tahun lalu, ketika ia masih menjabat menteri kehakiman. Ia juga cukup aktif memprakarsai berbagai usaha untuk gagasan itu. Keputusan rapat kerja Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman dengan para ketua pengadilan tinggi se-Indonesia, Februari 1982, memang mencantumkan perlunya dipikirkan kemungkinan fusi federasi perkumpulan penasihat hukum, untuk memudahkan pengawasan terhadap para advokat. Kini wadah itu sudah terwujud. Harjono Tjitrosoebono dari Peradin menjadi ketua umum terpilih dan Albert Hasibuan (LPPH-Golkar) menjadi sekjen. Pengurus lengkap memang masih disusun oleh tujuh formatir pilihan Munas. Dengan dipimpin Harjono, Senin lalu, 20 anggota panitia Munas diundang Ali Said untuk acara makan siang di kantor M.A. di Jalan Merdeka Utara. Seusai acara itu, Ali Said yang siang itu mengenakan pakaian safari cokelat, sepatu dan kaus kaki juga cokelat, menerima wartawan TEMPO, Gatot Triyanto, untuk wawancara. Apa hasil pembicaraan tadi? "Saya mengucapkan terima kasih kepada panitia, dan mengucapkan selamat kepada yang terpilih." Bagaimana tentang kepengurusan lengkap Ikadin nanti? "Hendaknya pesan saya dipertimbangkan, yaitu hendaknya semua unsur terwakili di dalam Ikadin. Sebab, tanpa itu, saya sangsi sebagai wadah tunggal Ikadin akan mempunyai efek yang lebih baik. Akan bubar atau tidak Ikadin ini, bergantung pada kemampuannya menjawab semua aspirasi. Ada banyak tenaga advokat, selama ini, yang tidak tergabung dalam organisasi. Tolong, mereka juga diperhatikan, agar ada sekurang-kurangnya satu dari mereka duduk di dalam kepengurusan." Bagaimana sebaiknya hubungan Ikadin dengan Pemerintah? "Mutlak, mereka harus menjadi partner yang baik. Kalau perlu mengkritik, kritiklah, dan sampaikanlah dengan cara yang baik, 'nggak usah model oposisi. Saya yakin, Ikadin sulit berjalan tanpa berposisi sebagai partner pemerintah. Mereka jangan mimpi." Bagaimana konsep bantuan hukum kelak? "Itu belum, nanti kalau sudah saatnya. Masalah Ikadin ini diprioritaskan dulu. Itu nanti jadi proyek bagi Ikadin." Apa tugas seorang pengacara? "Mereka berkewajiban memperjuangkan kepentingan kliennya, tapi tidak boleh main "ketoprak" seenaknya sendiri. Harus mempergunakan aturan main yang ada, dan menghormati pengadilan. Kalau tidak setuju, ya tidak boleh 'ngambek dan meninggalkan ruang sidang." Ketua Peradin sejak 1980 sampai sekarang, Harjono Tjitrosoebono, 63, betul-betul mencuat namanya pekan ini. Ia terpilih dengan jumlah suara meyakinkan sebagai ketua umum Ikadin, mengalahkan sejumlah nama beken, seperti Albert Hasibuan, R.O. Tambunan, dan Yan Apul Girsang. Uniknya, Harjono, kelahiran Malang, putra kedua dari R.S. Tjitrosoebono (seorang aktivis Partai Serikat Islam Indonesia) itu, adalah satu-satunya dari tujuh anggota formatir terpilih yang tidak bermarga Batak. Mengomentari itu, Ketua M.A. Ali Said berkelakar, "Kalau perlu, namanya diganti saja Harjono Sinaga." Kegemarannya akan olah raga, golf, renang, dan bola kaki, membuat penampilannya terlihat lebih segar di dalam usianya yang sudah cukup lanjut itu. Menjelang tengah malam, Senin lalu, setelah memimpin sidang formatir Ikadin, di Hotel Sahid Jaya, sarjana hukum UI, 1956, itu masih mampu meladeni wartawan TEMPO, Achmad Luqman, untuk sebuah wawancara: Anda puas terpilih jadi ketua umum? "Susah sekali mengatakan puas atau tidak puas. Banyak yang harus diperhatikan. Di Peradin 'kan sudah jelas, pemikiran-pemikiran konsepsional di bidang hukum itu sudah ada, tapi dalam kedudukan sekarang, saya harus mendengarkan keinginan di luar Peradin, yang bagi saya masih asing." Apa perbedaan prinsipiil Peradin dengan non-Peradin? "Kami mempunyai konsep yang menyeluruh mengenai negara hukum, sedangkan yang di luar Peradin itu masih terpancang pada profesi teknis. Pada umumnya, mereka 'kan jarang mengeluarkan konsep tentang undang-undang, misalnya." Justru dengan begitu, Peradin selama ini dinilai terlalu politis. "Di dalam bidang hukum, kami mau menjadi pressure-group, tanpa ada keinginan menjadi menteri kehakiman. Yang kita inginkan menjadi pressure-group di dalam bidang pembangunan dan pembaruan hukum. Oposisi? Di dalam arti hukum, itu berarti kita harus selalu bersikap kritis. Pendidikan hukum mengharuskan pandangan yang kritis. Kalau kita tak boleh berpikir kritis, tidak perlu dibentuk Ikadin ini. Buat apa, percuma. Kita memang berpolitik, tetapi politik hukum, bukan politik kekuasaan." Adanya wadah tunggal ini, menurut Anda, bukan satu pengkotakan advokat, agar lebih mudah diatur? "Kami akan memperhatikan itu, tetapi tidak berarti kami terpengaruh olehnya." Ikadin berhak mencabut rekomendasi izin praktek seorang pengacara. Apakah Anda tidak melihat, suatu kali, justru Ikadin akan menjadi batu hambatan bagi advokat? Maksudnya, orang yang izinnya dicabut 'kan tak bisa lagi berpraktek advokat? "Itu soal teknis praktek. Memikirkan hukum, tak memerlukan izin. Seandainya saya tak diberi izin praktek, memangnya otak hukum saya berhenti? 'Kan tidak. Otak saya tetap bisa berkembang." Apa artinya advokat yang mandiri? "Kebebasan berpikir. Itu menjamin obyektivitas. Kalau tidak mandiri, artinya kita terpengaruh satu vested tertentu, dan kita tidak bisa obyektif." Bagaimana hubungan Ikadin dengan unsur-unsur yang mendirikannya, seperti Peradin? "Pada prinsipnya unsur-unsur itu boleh tetap ada, tapi akan dijaga agar tidak terjadi overlapping dengan Ikadin." Amran Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini