Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagaimana Menjangkau Subversi?

Undang-undang subversi yang mengadili perkara Tanjung Priok, dipertanyakan keabsahannya terutama oleh para advokat. Undang-undang Orde Lama ini dianggap pengertiannya terlalu kabur & menyimpang dari Orde Baru.(hk)

23 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA berusia sekitar 22 tahun. Dalam usia yang muda itu - untuk sebuah undang-undang - ia sangat dikenal di kalangan peradilan: sudah puluhan kali digunakan - baik dalam pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Setiap kali pula, keabsahannya dipertanyakan. Pihak yang tidak senang, khususnya advokat, menganggapnya "undang-undang karet", ada yang menggelarinya "jala terentang tanpa ujung". Itulah Undang-Undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (PNPS no. 11/ 1963) yang memang terkenal keampuhannya. Ia bisa menimpa Koes Plus, karena grup penyayi itu memainkan lagu 'ngak-ngik-ngok' yang diganyang PKI, tapi bisa pula membawa tokoh-tokoh PKI ke hadapan regu tembak. Ia pula yang dipakai pengadilan untuk menghukum Hariman Siregar Timsar Zubil, Imran, Hispran, dan sekarang untuk mengadili H. Dharsono dan kawan-kawan. Ia memang bisa menjaring siapa saja yang dirumuskan melakukan perbuatan: dapat merongrong kekuasaan negara, merusakkan wibawa pemerintah. Karena itu, dan juga karena ia berbau produk "Orde Lama", setiap kali digunakan ia dikritik dan diserang para terdakwa dan pembela. Konsideran dan penjelasan undang-undang itu memang menyebut-nyebut "Revolusi", "Manipol", dan "Demokrasi Terpimpin". Para pembela kasus Hariman Siregar, yang terdiri dari Suardi Tasrif, Jamaluddin Dt. Singomangkuto, Nursewan, dan Talas Sianturi (1974), menyatakan bahwa undang-undang itu tidak lagi mempunyai dasar hukum setelah ketetapan MPR. Kata mereka, semula undang-undang itu mempunyai dua landasan, yaitu Tap MPRS tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 (Tap MPRS no. II/ MPRS/1960) dan Tap MPRS tentang Manipol sebagai Haluan Negara (Tap MPRS no. I/MPRS/1960). Tapi, kata para pembela itu sebuah landasan itu hilang pada 1968, dengan dicabutnya Tap MPRS no. II tahun 1960 oleh sidang MPRS waktu itu. Namun, setahun kemudian, Penpres no. 11/1963 itu toh dijadikan undang-undang, karena masih ada Tap MPRS no. 1 tahun 1960. Barulah dalam sidang MPR 1973 landasan Manipol itu tergusur pula. Sebab itu, ketika Hariman diadili, menurut pembelanya, undang-undang yang dipakai jaksa ibarat "ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berakar". Hakim ternyata lebih sependapat dengan jaksa bahwa undang-undang itu masih berlaku, karena belum tegas-tegas dicabut atau diganti dengan undang-undang baru. Apalagi, seperti kata majelis yang diketuai B.H. Siburian, undang-undang itu sudah mendapat landasan baru dengan di sahkannya Penpres itu menjadi perundang-undangan melalui Tap MPRS no. XIX/1966. "Tidak selalu bila induknya mati, anaknya harus mati. Bisa saja induknya mati untuk anaknya bisa hidup," kata Siburian. Undang-undang antisubversi, memang, tidak pernah mati akibat eksepsi tim pembela Hariman. "Tapi itulah eksepsi pertama yang menyerang undang-undang itu keseluruhan. Setelah itu, eksepsi-eksepsl pembela meniru pola itu," kata Tasrif. Setelah itu, memang berkali-kali eksepsi pembela menyerang undang-undang subversi. Tapi undang-undang itu selalu di gunakan, tidak saja untuk pidana-pidana berbau politik, tapi juga dalam perkara korupsi, penyelundupan, bahkan perkara penyuapan. Ia misalnya dipakai untuk menjerat Kepala Dolog Kalimantan Timur Budiaji, 1977, Endang Wijaya, 1978, dan perkara-perkara penyelundupan yang dikenal dengan perkara "902", 1978. Kecenderungan pihak kejaksaan memperluas jaring undang-undang subversi itu, tentu saja, mengundang reaksi lebih keras dari para advokat. "Perumusan delik itu saja sudah terlalu luas dan jauh, barangkali hanya bernapas saja yang masih dibolehkan undang-undang itu," kata Buyung Nasution. Advokat terkenal itu menganggap pelaksanaan undang-undang subversi telah mengkhianati perjuangan Orde Baru. Apalagi melalui sebuah yurisprudensinya, Mahkamah Agung memperluas rumusan subversi menjadi tidak lagi hanya perkara-perkara yang mempunyai latar belakang politik. "Sifat dan bentuk undang-undang itu menjadi kabur, sehingga penyelundup, budayawan, sampai tokoh kebatinan bisa terjerat," tambah Buyung. (TEMPO, 9 September 1978). Pengacara Harjono Tjitrosoebono malah lebih jauh lagi. Ketua Ikadin itu menganggap, perluasan pengertian undang-undang subversi itu telah berlawanan dengan pengertian autentik dari undang-undang itu, yang mengharuskan ada kaitan politik untuk pidana subversi. "Memperluas rumusan yang sudah luas itu melanggar prinsip hukum. Orang tidak tahu lagi dengan pasti, apa sebenarnya yang dilarang undang-undang," ujar Harjono, ketika itu. Kecuali itu, baik Harjono maupun Buyung menganggap, hak penahanan penyidik - kejaksaan - selama satu tahun, tanpa perpanjangan pengadilan, itu tidak berperi kemanusiaan. Lokakarya mengenai Undang-Undang Keamanan Nasional yang diselenggarakan Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas), 1979, memperkuat pendapat-pendapat di atas. Lokakarya yang diikuti ahli-ahli hukum dari berbagai profesi itu menyepakati bahwa undang-undang subversi itu sudah ketinggalan zaman, melanggar hak asasi manusia, dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebab itu, lokakarya mengusulkan agar undang-undang itu dicabut oleh Presiden. Sampai dibentuk undang-undang baru, peserta lokakarya mengharapkan pemerintah memakai undang-undang itu seminimal mungkin. Kritik-kritik itu mendapat jawaban dari hakim-hakim agung. Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja, dalam makalahnya pada Lokakarya "Pembangunan Hukum melalui Peradilan" di Malang, 1978, membantah bahwa undang-undang subversi itu sudah mengkhianati perjuangan Orde Baru. "Pendapat semacam itu terlalu mengagungagungkan kebebasan individu dan tidak mempertimbangkan hak masyarakat untuk menyelenggarakan ketertiban," katanya. Ia juga tidak sependapat bila politik dipandang secara sempit yaitu sebagai kegiatan partai politik saja. Politik itu, menurut dia, termasuk pemerintahan negara, kebijaksanaan dalam masyarakat, politik kebudayaan, politik sosial, politik ekonomi. Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung (waktu itu) Prof. Oemar Senoadji, dalam kesempatan yang sama, mengakui bahwa undang-undang itu masih bersifat sementara. Tapi, karena Penpres itu sudah melalui proses legislative review, keabsahannya tidak diragukan lagi sebelum ada penggantinya. Karena itu, semua ketentuannya, termasuk yang eksepsional, seperti hak jaksa menahan lebih lama, tetap berlaku. Berbagai pendapat itu mempengaruhi juga hakim-hakim yang menyidangkan perkara subversi. Perkara-perkara penyelundupan "902", di Pengadilan Tinggi Jakarta, 1980, misalnya, mendadak dibebaskan dari tuduhan subversi setelah sebelumnya dinyatakan terbukti oleh hakim bawahan. Semua perkara penyelundupan itu akhirnya memang bebas dari tuduhan subversi. Bahkan jaksa-jaksa yang menuntut belakangan tidak lagi memakai pasal subversi. Begitu pula dalam perkara Endang Wijaya. Direktur PT Jawa Building Indah itu juga dlbebaskan darl tuduhan subversi. Ia hanya terbukti mengkorup uang negara sekitar Rp 14 milyar melalui kredit-kredit tak wajar di Bank Bumi Daya. Sebab itu, ia divonis 10 tahun penjara (TEMPO, 17 Desember 1983). Sikap hati-hati dari badan peradilan dan pemerintah - kejaksaan - menggunakan undang-undang subversi, tidak hanya terbatas dalam delik-delik di luar politik. Kejaksaan, misalnya, hanya menggunakan "pasal-pasal penghinaan" terhadap kepala negara ketika mengadili mahasiswa Lukman Hakim dan kawan-kawan, 1980. Baik Lukman maupun kawan-kawannya, ketika itu, hanya divonis dibawah setahun penjara. "Kelunakan" seperti itu juga dialami oleh Tony Ardie, ketika di adili akibat dakwahnya yang keras pada acara halal-bihalal di Masjid Al Azhar, 1983. Ia hanya dihukum 9 bulan penjara karena terbukti menghina pemerintah (TEMPO, 18 Februari 1984). Toh, akhir-akhir ini undang-undang yang jadi perdebatan sepanjang masa itu digunakan lagi. Semua terdakwa yang terlibat dalam perkara Tanjung Priok dan pengeboman BCA terkena lagi undang-undang subversi. " 'Kan undang-undang itu belum dicabut oleh DPR," kata seorang hakim yang mengadili kasus pengeboman BCA. Karni Ilyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus