Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bahtera Sriwijaya ke Kantor Polisi

Harta karun Laut Cirebon disegel polisi. Ricuh soal izin.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI terungkap sudah bandar tujuan sang bahtera Sriwijaya. Sisa badan dan muatan kapal bahari itu akhir-nya berlabuh di Markas Besar Polri, Jakarta, sejak- awal Maret lalu. Masalahnya mencuat justru ketika muatan kapal siap berlayar ke Amsterdam, Belanda.

Muatan kapal Nusan-tara dari abad ke-9 ini—disim-pulkan dari konstruksi ka-pal-nya—di-taksir bernilai US$ 40 juta. De-se-mber nanti, sebu-ah pelelangan besar akan digelar oleh Balai- Lelang Christie. Tapi, berdasarkan lapor-an masyarakat, polisi menduga peng-ang-katan harta asal kapal tenggelam dari Laut Cirebon itu dilakukan tanpa izin, atau menggunakan izin palsu.

Dua tenaga asing PT Paradigma Putra Sejahtera—perusahaan yang meng-angkat muatan kapal tersebut—kini di-tahan, sejak tiga pekan lalu. Masing-masing adalah Fred Dobberphul, asal Jerman, dan Jean Paul Blanc, asal Prancis, dari perusahaan Cosmix Underwater- Research Ltd Belgia, yang dipekerja-kan sebagai tenaga ahli penyelaman. ”Per-izinan yang digunakan tersangka ilegal-,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara.

Menurut Makbul, izin pengangkat-an yang dikeluarkan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda- Berharga Asal Muatan Kapal Tengge-lam (Pannas BMKT) itu melanggar Undang-Undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Menurut aturan tersebut-, izin seharusnya dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—kini beralih ke Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Artinya, Menteri Kelautan dan Per-ikanan tidak berwenang mengeluarkan izin. ”Tafsir” itu segera dibantah Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi. ”Semua syarat dan izin peng-angkatan sah,” katanya, pekan lalu.

Menteri Kelautan adalah Ketua Panitia Nasional BMKT, yang ditunjuk berdasarkan keputusan presiden. Kepanitiaan itu beranggotakan sebelas instansi pe-merintah, mulai dari Departemen Ke-lautan dan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional, Mabes Angkat-an Laut, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, sampai Departemen Dalam Negeri.

Sebelum izin dikeluarkan, perusaha-an- yang mengajukan permohonan di-syaratkan mendapat persetujuan dari ke-sebelas lembaga tersebut. ”Itu juga sudah dilakukan,” kata Freddy.

Undang-Undang Benda Cagar Budaya memang tidak menyebutkan soal kewenangan Departemen Kelautan dan Perikanan. ”Sebab, ketika aturan itu di-keluarkan, DKP belum berdiri sendiri sebagai departemen,” katanya.

Ketika DKP dibentuk, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kewenangan pemberian izin itu dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan. ”Jadi, keppres tersebut tidak berten-tangan, namun menjelaskan Undang-Undang- Cagar Budaya,” Freddy me-nambahkan.

Menurut Freddy, kriminalisasi izin BMKT terjadi karena belum adanya visi yang sama di antara instansi pemerintah. ”Kalau mereka menemukan adanya- tindak pidana, itu saja yang diproses,” katanya. ”Jangan dibilang izinnya tidak sah.”

Freddy sudah melapor ke Presiden Su-silo Bambang Yudhoyono perihal kisruh- harta Laut Cirebon itu. Ia juga sudah memberi penjelasan kepada Kepala Polri Jenderal Sutanto. ”Presiden hanya berpesan supaya cepat diselesaikan,” katanya.

Polisi juga menyegel gudang penyim-panan keramik milik Paradigma di Le-bak Bulus, Jakarta Selatan, dan Pamulang, Tangerang, Januari lalu. Penyegelan ini membuat proses desali-nisasi ribuan keping keramik dan benda berharga lain terhenti.

Keramik terancam rusak. ”Yang lebih- bahaya, kayu dan tulang-tulang yang diangkat dari kapal bisa rusak. Bukti sejarah bisa hilang,” kata Freddy. Rupanya, sejumlah kayu dan tulang—di anta-ranya tulang gajah—sengaja diangkat untuk meneliti dan mengungkap ”jati-diri” kapal era Sriwijaya itu.

Menurut kesimpulan sementara Horst H. Liebner, tenaga ahli asing bidang budaya dan sejarah bahari Badan Riset Ke-lautan dan Perikanan, kapal sepanjang 30 meter dengan lebar 12 meter ini merupakan kapal Nusantara tertua yang pernah ditemukan dalam keada-an re-latif utuh. Konstruksi gading-ga-ding kapal dan cara mengikat kayu tidak sama dengan pola sejenis pada kapal Cina atau Persia. ”Ini bisa mengungkap- kemajuan teknologi perkapalan kita masa itu,” ujar Freddy.

Kapal itu menggunakan teknologi pasak, yang menjadi ciri khas kapal Nusan-tara. ”Ketika ditemukan, kapal itu dalam kondisi pecah, namun bagian depannya utuh,” kata Adi Agung Tir-tamarta, Direktur Paradigma.

Posisi kapal di dasar laut menghadap- utara, diduga terpuntir karena dihantam- badai dalam perjalanan menuju salah satu bandar di Pulau Jawa. Kapal karam dengan muatan sarat, diperkirakan men-capai 270 ton.

Selain muatan, kapal diduga mem-bawa banyak pekerja—karena ditemukan sejumlah perlengkapan kerja dan bahan mentah batu akik—dan hewan hidup. Salah satunya, ya, gajah tadi.

Ada temuan lain yang sangat penting, yak-ni sebuah wadah cor bertuliskan huruf Arab. Ketika dilakukan uji coba pencetakan, tampak tulisan Al Malik Allah… Al Wahid… Al Qahar. Menurut Liebner, ini adalah bukti tertua perkembangan Islam di Nusantara. Temuan ini mematahkan teori bahwa Islam berkembang di Nusantara sejak abad ke-12.

Tentu masih banyak informasi sejarah di sela 500 ribu keping benda berharga yang telah dapat diangkat dari dasar laut berkedalaman 60 meter, sekitar 167 kilometer lepas pantai Cirebon, Jawa Barat, itu. Temuan meliputi aneka keramik Cina yang amat langka, gelas bening, arca, gagang pedang berlapis emas, dan batu mulia. Secara khusus, ribuan batu mulia itu disimpan di kotak deposit Bank Mandiri, Jakarta.

Bermacam perkara memang susul-menyusul mewarnai pengangkatan harta karun bawah laut ini. Perusahaan yang melakukan pengangkatan sendiri tergolong pemain baru. PT Paradigma Putra Sejahtera baru berdiri pada Agustus 2003. Namun, temuannya memang ”dahsyat”. Pemerintah Cina dikabarkan berniat memborong muatan ”Sriwijaya Cargo” ini lewat pelelangan nanti.

Tak mengherankan, berbagai konflik mewarnai upaya pengangkatan di Laut Cirebon itu. Ketika Paradigma mengantongi izin survei, pada 19 Januari 2004, mereka tersangkut masalah dengan 1.200 keping keramik yang diterimanya dari nelayan. Kasus ini juga sampai ke polisi.

Paradigma disangka melakukan pe-nadahan. ”Kesalahan saya hanya terlambat melaporkan secara tertulis ke Pannas,” kata Adi Agung. ”Saya sibuk waktu itu.” Untungnya, ia sempat me-lapor secara lisan.

Masalah kedua muncul pada No-vember 2004. Beberapa tenaga kerja asing di perusahaan tersebut kedapat-an tidak dilengkapi dengan izin mem-pe-kerjakan tenaga asing (IMTA). Oleh Menteri Freddy, kegiatan pengangkatan dihentikan. Paradigma diberi kesem-patan melengkapi perizinan.

Pada Januari 2005, mereka bisa ber-operasi kembali. Menurut Freddy, ia memilih melihat masalah secara proporsional. ”Kalau ada tikus, jangan lumbungnya dibakar,” katanya. Maksudnya, jika ada masalah teknis dalam pelaksanaan, jangan operasi pengangkatannya dibatalkan.

Kegiatan pengangkatan selesai pada Oktober 2005. Freddy Numberi ke-mu-dian melaporkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perihal selesai-nya pengangkatan dan rencana peng-gunaan. Ia juga meminta Presiden memberi nama temuan harta dari Cirebon itu.

Sampai sekarang permintaan itu belum dijawab. Namun, Christie London dan berbagai situs internasional menyebut temuan itu sebagai Siren Cargo-, merujuk pada kapal MV Siren yang -digunakan untuk melakukan operasi peng-angkatan.

Tiba-tiba, pada 25 Desember 2005, Kepolisian Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok melakukan penggeledahan ke kapal MV Siren, yang berlabuh di pelabuhan Marunda, Jakarta Utara. Mereka menemukan 27 keping timah hitam yang berasal dari kapal Sriwijaya.

MV Siren lalu ditahan, dan belakang-an dialihkan penahanannya ke Badan Re-serse dan Kriminal Mabes Polri. Paradig-ma dituduh menggunakan izin palsu, atau tanpa izin, melakukan pencarian, pengangkutan, membawa dan memindahkan benda cagar budaya dari Cirebon.

Freddy menyatakan, kasus ini jadi ruwet akibat persaingan bisnis. Belakang-an terungkap, laporan ke polisi berasal dari PT Tuban Oceanic Research and Recovery, sebuah perusahaan pengangkatan (salvage) lain. ”Ini persaingan -bisnis,” kata Freddy.

Tapi Budi Prakoso, salah seorang direktur Tuban Oceanic, membantah -si-nya-le-men itu. ”Saya enggak merebut- lokasi itu, kok,” katanya. ”Buktinya, saya tidak mengajukan permohonan izin pengangkatan di Cirebon,” adik pengusaha Setiawan Djodi itu menambahkan.

Budi, yang pekan lalu gudangnya diperiksa Pannas karena ditemukan se-lisih jumlah keramik hilang dari peng-angkatannya di perairan Karang Cina, Belitung, mengaku tak rela bila harta Cirebon diembat ”oknum” Departemen Kelautan yang berkolusi dengan pengusaha. ”Saya ada bukti-buktinya, kok,” katanya. Nah, ceritanya jadi tambah panjang.

Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus