GEDUNGNYA berbentuk L. Bagian mukanya dua tingkat, sedang bagian
belakangnya delapan tingkat. Dua bagian itu dihubungkan oleh
semacam corridor. Lantai-lantainya cocok untuk perkantoran,
konperensi, bahkan pesta. Seluruhnya hampir menyita pelataran
tanah seluas lebih tiga hektar. Tapi kurang tersedia tempat
parkir mobil. Jalan raya Kebon Sirih, yang di depan gedung itu,
akan sering tampaknya jadi tempat parkirnya.
Itulah Gedung Dewan Pers. Pemakaiannya diresmikan oleh Presiden
Soeharto, awal Maret. Seluruh bangunannya terbikin dari bahan
kelas satu. Di bagian-bagian tertentu, misalnya di tempat
menunggu lift, ada cermin. Sementara tangga-tangga ke seluruh
tingkat berlapiskan kain linen hijau yang mahal. Tentu dengan AC
sentral.
Biaya pembangunannya Rp 1,5 milyar. Uang sebanyak itu diperoleh
dari Asosiasi Importir Film Mandarin. Maka pengusaha
Sudwikadmono, Ketua Asosiasi itu membuka upacara peresmian
gedung itu. Ini hasil usaha "gotong royong," katanya. Memang,
seperti diumumkan Menpen Ali Murtopo pada upacara pemancangan
tiang pertamanya satu setengah tahun lalu, "Asosiasi Importir
Film Mandarin yang menggotong, kami (Deppen) yang meroyongkan."
Dalam upacara peresmian tadi, Menpen yang merangkap Ketua Dewan
Pers, menyatakan "penghargaan sebesar-besarnya," pada unsur
perfilman yang membantu unsur pers. H.B.M. Diah, Ketua Harian
Dewan Pers di upacara yang sama, merasa perlu menjelaskan kenapa
kalangan pers dapat gedung mahal itu tanpa keluar uang sepeser
pun. Menteri Penerangan sebagai Ketua Dewan Pers, kata Diah yang
sehari-hari memimpin koran Merdeka,"tidak sampai hati
membebankan pers Indonesia dengan biaya besar ini, karena
sebagian terbesar masih lemah."
Unsur film sebagai"saudarasepupu" (istilah Diah) menjadi sumber
dana bagi unsur pers. Pemerintah mengimbanginya dengan jatah
impor untuk ketiga asosiasi (Importir Film Eropa dan Amerika,
Importir Film Mandarin dan Importir Film Non-Mandarin) itu.
Sedikitnya 260 judul film untuk 26 importir setahun. Dari
ketiganya, adalah Asosiasi Importir Film Mandarin yang punya
kemampuan paling besar untuk menyumbang. Suatu pertanda pula
betapa besarnya pasaran flim Kung Fu.
Saudara Kandung
Untuk Monumen Pers di Sala diperoleh (sekitar Rp 700 juta) dari
Asosiasi Importir Film Eropa dan Amerika. Dana pembangunan
Monumen Perjuangan di Pacitan terkumpul dari Asosiasi Importir
Film Eropa dan Amerika, dan yang di Sibolga dari Asosiasi
Importir Film Asia Non-Mandarin.
Bebankah semua itu bagi asosiasi? "Pers dan film bukan lagi
saudara sepupu, tapi sudah saudara kandung," kata Marius Nizart,
Sekretaris Asosiasi Importir Film Mandarin. Maksudnya, tentu,
dana Rp 1,5 milyar untuk Gedung Dewan Pers itu sudah sewajarnya
diberikan.
Dana sumbangan tersebut dalam prakteknya tidak dipungut sebagai
iuran importir, tapi sudah terkait dan diperhitungkan dalam
harga jual film. Menurut seorang importir, sumbangan itu sekitar
Rp 10 juta per judul film Sementara importir bisa memperbanyak
copy sampai enam, hingga lebih cepat peredarannya. Belum lagi
kesempatan menjualnya untuk pasaran video casset. "Saudara
sepupu" akan tetap untung.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), SPS (Serikat Perusahaan
Suratkabar) dan SGP (Serikat Grafika Pers)--yang selama ini
berkantor secara terpencar-akan berkumpul bersama Dewan Pers di
gedung itu. Di situ "ada kesempatan yang lebih luas untuk
bekerja dan berpikir lebih tenang," kata H. Soekarno SH, Dirjen
Pembinaan Pers dan Grafika, Deppen. "Mudah-mudahan kita bisa
lebih mengembangkan konsep-konsep nasional tentang kehidupan
pers,"ujar Soekarno SH yang juga Sekretaris Dewan Pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini