Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Polisi Militer Komando Daerah Militer Diponegoro di Jalan Pemuda, Semarang, pada Jumat pekan lalu terlihat sepi. Di parkiran hanya tampak beberapa sepeda motor dan mobil. Tak banyak orang hilir-mudik. Ruang-ruang kerja di dalam bangunan juga terlihat lengang. Tak ada tanda-tanda pemeriksaan terhadap sebelas tersangka penyerbu Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketua tim investigasi penyerbuan LP Cebongan TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Unggul K. Yudhoyono, memastikan para anggota Komando Pasukan Khusus itu ditahan di sana. Tapi kesebelas orang tersebut seperti raib. Kepala Detasemen Polisi Militer Diponegoro Letnan Kolonel Tri WahÂyuningsih tak mau menjawab pertanyaan Tempo. Ia memilih bercerita tentang hobi barunya: mengoleksi sepeda motor Harley-Davidson. "Tunggu saja persidangannya," katanya Jumat pekan lalu. Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Agus Suhartono menjanjikan persidangan itu akan digelar terbuka.
Dua pekan lalu Unggul mengumumkan hasil kerja enam hari tim investigasi. Tim yang beranggotakan sembilan orang itu menunjuk sebelas anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Solo, sebagai penyerbu LP Cebongan. Jenjang mereka bintara dan tamtama. Sersan U diduga menjadi eksekutor penyerbuan. Ia menembak Hendrik Angel Sahetapy alias Deki, Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi di sel A5, Blok Anggrek, LP Cebongan, pada 23 Maret dinihari lalu.
Menurut Unggul, tak sulit mengungkap para penyerbu. Ketika tim datang ke Markas Kopassus Grup 2, para tersangka langsung mengaku. "Tak ada bantahan," ujarnya. Mereka blakblakan mengatakan membunuh keempat pria asal Nusa Tenggara Timur itu demi menuntaskan dendam Heru Santoso dan jiwa korsa—komando satu rasa—antarpersonel Kopassus.
Rekan pelatihan dan bekas atasan mereka, Sersan Kepala Heru Santoso, tewas dibunuh keempat korban di Hugo's Cafe, Yogyakarta, empat hari sebelum penyerbuan Cebongan. Eks Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso, yang dicopot akibat peristiwa ini, malah menganggap kesebelas tersangka itu kesatria. "Saya hormat dan bangga kepada mereka," katanya.
DI tengah gelegar musik RnB, dua pria bersenggolan di dining room Hugo's Cafe, Jalan Adisutjipto Kilometer 8,7, Yogyakarta. Keduanya beradu mata, tapi tak sampai berlaga fisik. Beberapa saat kemudian, Deki dan Santoso, kedua pria itu, bersenggolan lagi. Keributan pun tak terelakkan. Deki, dibantu Dedi dan Adi, bergantian memukul Santoso. Empat pria yang memiliki perawakan mirip Santoso dan ikut menikmati dunia gemerlap bersamanya malam itu malah kabur ketika Santoso terkapar pingsan dihajar botol.
Santoso siuman, lalu bangkit. Juan, teman Deki, mencoba melerai. Namun pisau belati Deki menembus dada Santoso. Anggota Kopassus yang belakangan ditugasi di Kodam Diponegoro itu tersungkur. Ia tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Kronologi ini diperoleh dari potongan rekaman CCTV diskotek yang diputar di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu.
Perkara teman Santoso yang kabur itu menyisakan pertanyaan karena mereka diduga tentara yang terlatih. Menurut sumber Tempo yang enggan disebutkan identitasnya, Santoso beserta dua temannya ke Hugo's mengawal dua pria yang datang bersama mereka malam itu. Mereka semua anggota TNI. "Kedua pria itu atasan mereka di TNI," ucap pria asal Kupang itu. Mereka kabur, kata dia, demi melindungi identitas kedua orang itu.
MANAJER Hugo's Cafe Jovan Wijaya mengatakan malam itu Santoso hanya datang bertiga. Ia tak mengenal mereka. Jovan juga baru hari itu melihat Santoso di Hugo's. Selama ini berembus kabar perkelahian itu terjadi karena perebutan kekuasaan. Jovan membantah hal ini. Deki cs, ujar dia, bukan petugas keamanan yang disewa Hugo's. Ia tak tahu alasan perkelahian itu, selain bersenggolan. "Santoso dan Deki juga tak saling kenal sebelumnya," katanya kepada Tempo.
Berbagai pihak, antara lain Komisi Kepolisian Nasional, mengatakan kejadian di Hugo's merupakan kunci penyerbuan ke LP Cebongan. Namun tim investigasi yang dipimpin Unggul tak masuk ke "prolog" ini. Sayangnya, polisi telah menutup buku penyidikan kasus ini. "Tersangkanya sudah meninggal, maka kasus ini dihentikan," ujar juru bicara Kepolisian Daerah Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti.
PEKAN lalu Markas Besar Kepolisian RI membantah kabar yang menyebutkan sinyal telepon seluler yang disita para penyerbu terlacak di Markas Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan. Sumber Tempo memastikan informasi itu "A1". Ketika penyerbuan, para pelaku menyita semua ponsel milik sipir. Total ada empat ponsel yang mereka sita. Ketika pelaku balik kanan, mereka tak mematikan sinyal keempatnya. "Pagi itu juga sinyal HP sudah terlacak di Kandang Menjangan," katanya.
Tim investigasi TNI juga dipertanyakan ketika mengatakan hanya ada tiga pucuk senjata api laras panjang AK-47 dan tiga replika serta satu pucuk pistol SIG-Sauer, yang juga replika. Keterangan lain menyebutkan ada sebelas senjata api yang digunakan pelaku. Semuanya senjata asli, bukan mainan.
Tim juga menyebutkan para pelaku sudah membakar rekaman CCTV dan membuangnya ke Bengawan Solo. Cerita ini juga dituding akal-akalan. "Rekaman itu ada dan dibawa ke Kandang Menjangan," ujar sumber tadi.
Jumlah mobil yang masuk ke pekarangan penjara Cebongan bukan tiga unit seperti yang diceritakan Unggul. Keterangan lain menyebutkan ada lima unit yang digunakan pelaku. Jumlah pelaku pun bukan 11 orang, melainkan 17 orang. "Ada enam pelaku lagi yang memang disembunyikan," katanya.
Para pelaku, ujar sumber itu, bergerak dari Kandang Menjangan, bukan dari Gunung Lawu. Pulangnya pun langsung ke markas Kopassus tersebut. Sehari kemudian, kata dia, ada perintah menghapus rekaman CCTV di Kandang Menjangan agar jejak mereka tak terlacak. Perintah ini datang dari seorang perwira di Grup 2. "Ada perwira berpangkat letnan kolonel yang diduga terlibat," ujarnya.
Unggul menolak menjawab pertanyaan Tempo perihal perwira menengah Kopassus yang terlibat. Menurut dia, hasil investigasi tim sembilan sudah lengkap disampaikan dalam jumpa pers pada Kamis dua pekan lalu. Kepala Pusat Penerangan Kopassus Mayor Susilo juga enggan berkomentar. "Kami tak bisa menjawab pertanyaan itu karena sudah ada tim investigasi," katanya.
Mustafa Silalahi (Jakarta), Edi Faisol (Semarang), Shinta Maharani (Yogyakarta), Yohannes SEO (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo