Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terkubur bertahun-tahun, pasal-pasal berisi ancaman itu kini hidup lagi. "Kemasan"-nya saja yang berubah. Dulu pasal itu tertera pada undang-undang, kini ada dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum. Adapun isi dan ancamannya sama: media yang melanggar aturan kampanye bisa dicabut izin terbit atau izin siarannya.
Tak mau menyepelekan ancaman pembredelan, sejumlah jurnalis dan pegiat kebebasan pers segera merapatkan barisan. "KPU terlalu jauh mencampuri urusan media," kata anggota Dewan Pers, Nezar Patria, akhir pekan lalu. Pekan ini Dewan Pers akan membahas peraturan itu dan segera menentukan sikap.
Jaringan Lembaga Bantuan Hukum Pers juga bereaksi. Jumat pekan lalu, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Pers dari Padang, Jakarta, dan Surabaya mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka meminta KPU segera membatalkan Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Anggota Legislatif itu. "KPU mereproduksi peraturan usang yang bisa membelenggu pers," ujar Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin.
Komisi Pemilihan menetapkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2013 itu pada 10 Januari lalu. Tapi jurnalis dan pegiat kebebasan pers rupanya baru ngeh adanya bahaya dalam peraturan itu belakangan. Peraturan baru itu baru gegap-gempita dibahas, termasuk lewat berbagai diskusi di berbagai media sosial, pertengahan pekan lalu.
Menurut Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiansyah, sebelum disahkan, draf peraturan kampanye itu sudah dikonsultasikan dengan Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat. Draf dikirim ke Senayan pada 8 Desember tahun lalu. Karena terbentur masa reses, rapat konsultasi baru berlangsung pada 10 Januari 2013. "Tak ada perdebatan alot dalam rapat itu," kata Ferry.
Siang bertemu dengan DPR, malam harinya Komisi Pemilihan mengesahkan aturan kampanye itu. Komisi Pemilihan memang mengejar tenggat. Maklum, dua hari sebelumnya, Komisi Pemilihan mengumumkan partai yang lolos verifikasi. Menurut undang-undang, partai bisa memulai kampanye setelah tiga hari ditetapkan sebagai peserta pemilu. "Agar tak ada kekosongan aturan, draf itu segera kami sahkan," ujar Ferry.
Hasilnya, dari total 65 pasal dalam peraturan tersebut, ada 11 pasal mengenai pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye di media massa. Peraturan KPU itu antara lain mewajibkan media memberi kesempatan yang sama kepada semua peserta pemilu untuk berkampanye. Agar tak ada peserta pemilu yang mendominasi, peraturan ini membatasi lama dan seringnya penayangan iklan setiap kandidat. Di televisi, misalnya, seorang kandidat hanya boleh beriklan 10 kali sehari dengan waktu paling lama 30 detik.
Komisi Pemilihan melarang media menjual waktu siar di luar siaran iklan (blocking segment atau blocking time) untuk kampanye. KPU juga melarang media menerima iklan dari sponsor kandidat tertentu.
Bila sebatas mengatur iklan melalui media, langkah Komisi Pemilihan bisa jadi tak terlalu banyak ditentang. Soalnya, peraturan serupa sudah berlaku pada pemilu sebelumnya. Reaksi keras muncul karena Komisi Pemilihan melangkah lebih jauh. Komisi Pemilihan mengancam media yang melanggar aturan kampanye dengan setumpuk sanksi.
Pada pasal 46 peraturan itu, misalnya, disebutkan media yang melanggar bisa terkena teguran tertulis, pembekuan sementara, hingga pencabutan izin penyiaran dan penerbitan. "Aturan sanksi inilah yang menimbulkan tanda tanya besar," kata Nawawi.
Pasal pembredelan sebenarnya bukan pertama kali muncul dalam aturan pemilu. Pasal-pasal serupa pernah bertengger dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota legislatif.
Tapi pasal-pasal itu lantas dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2009. Waktu itu Mahkamah mengabulkan dua permohonan uji materi yang diajukan pemimpin redaksi sejumlah media di Jakarta. Mahkamah Konstitusi menyatakan sanksi pencabutan izin media dalam Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memang memungkinkan pencabutan izin media yang menggunakan frekuensi publik. Tapi Kementerian Komunikasi dan Informatika hanya bisa mencabut izin lembaga penyiaran setelah ada putusan pengadilan.
Sanksi pencabutan izin, menurut Mahkamah Konstitusi, juga tak relevan dengan media cetak. Setelah ketentuan tentang surat izin usaha penerbitan pers dihapuskan pada 1998, media cetak tak memerlukan izin dari lembaga mana pun. Apalagi, setahun kemudian, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pun menjamin bahwa media cetak tak bisa lagi dibredel.
Walhasil, dalam putusannya waktu itu, majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mahfud Md. menyatakan "pasal pembredelan" dalam Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Ditenggelamkan Mahkamah Konstitusi, pasal pembredelan memang tak muncul dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Undang-undang ini hanya mengatur ketentuan kampanye di media, tanpa mencantumkan sanksi.
Di samping mengatur sanksi bagi media, peraturan KPU mencantumkan larangan menyiarkan berita seputar calon di hari tenang. Padahal, pada 2009, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan larangan pemberitaan pada tiga hari menjelang pencoblosan itu. Alasan Mahkamah Konstitusi: pemilih berhak mengetahui informasi apa pun tentang kandidat yang bertarung sampai detik-detik terakhir menjelang pemilihan.
Menurut sumber di Komisi Pemilihan, saat merancang peraturan ini pada Oktober tahun lalu, tim perumus dari Sekretariat KPU sebenarnya mencari cara gampang saja. Mereka hanya menyalin dari peraturan kampanye lama yang mengacu pada undang-undang lama pula. Sebagai komisioner yang bertanggung jawab atas penyusunan pedoman kampanye, Ferry tak menyangkal kemungkinan lalainya tim perumus itu. "Yang jelas, kami tak punya niat memberangus media," ujarnya. Ferry menyatakan baru menyadari ada masalah setelah peraturan itu disahkan.
Setelah membuat aturan kontroversial, Komisi Pemilihan akan menyerahkan pengawasan kampanye di media kepada Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Dua lembaga itu juga yang diminta menjatuhkan sanksi kepada media yang melanggar. Komisi Pemilihan hanya akan menunggu laporan penerapan sanksi dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran. Bila sampai tujuh hari Komisi Penyiaran dan Dewan Pers tak menjatuhkan sanksi kepada media, Komisi Pemilihan akan menjatuhkan sanksi kepada peserta pemilu. "Urusan sanksi media, kami serahkan kepada KPI dan Dewan Pers. Kami mengurus peserta pemilu," kata Ferry.
Tanpa revisi aturan pembredelan, niat Komisi Pemilihan berbagi tugas itu bisa jadi tak berjalan mulus. Maklum, sewaktu menyusun peraturan kampanye, Komisi Pemilihan tak melibatkan Komisi Penyiaran dan Dewan Pers. "Kami baru tahu setelah peraturan itu disahkan," ucap Komisioner KPI Idi Muzayyad. Komisi Penyiaran menegaskan, mereka bersedia bekerja sama bila KPU membuat aturan main yang selaras dengan Undang-Undang Penyiaran dan aturan turunannya.
Dewan Pers punya sikap senada. Menurut Nezar Patria, KPU semestinya tak terlalu mengatur media, terutama dalam hal pemberitaan. Toh, Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik cukup mengatur prinsip liputan yang jujur, adil, dan berimbang, termasuk dalam liputan pemilu. Tanpa diatur-atur Komisi Pemilihan, kata Nezar, Dewan Pers dan organisasi wartawan selama ini juga aktif mengawasi jalannya pemilu dan peran media.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri DPR Arif Wibowo mengatakan peraturan KPU memang sudah dikonsultasikan kepada DPR. Namun dia menolak bila DPR disebut tak memberi masukan. "Dari awal kami mengingatkan KPU agar tak mengganggu kebebasan pers." Karena peraturan kampanye dipersoalkan, menurut Arif, DPR akan meminta Komisi Pemilihan segera merevisinya. "Itu lebih baik ketimbang terus diprotes," ujar Arif.
Jajang Jamaludin
Hidup-Mati Pasal Bredel
Komisi Pemilihan Umum membuat peraturan yang menghidupkan sejumlah pasal dalam undang-undang lama, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota legislatif. Inilah pasal-pasal dalam peraturan KPU yang sebelumnya sudah disetip Mahkamah Konstitusi.
Pasal 36 ayat 5
Selama masa tenang, media dilarang menyiarkan berita, iklan, dan rekam jejak peserta pemilu yang mengarah pada kepentingan kampanye.
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan larangan pemberitaan di hari tenang yang sebelumnya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Pasal 44
1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan lembaga penyiaran, media cetak, online, dan elektronik.
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan yang terdapat dalam UU pemilihan presiden dan UU pemilihan anggota legislatif. Pasal ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Dewan Pers tak berwenang menjatuhkan sanksi, hanya mengeluarkan pernyataan rekomendasi.
Pasal 46
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 2 dapat berupa:
- teguran tertulis
- penghentian sementara mata acara bermasalah
- pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu
- denda
- pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu untuk waktu tertentu
- pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan yang terdapat dalam UU pemilihan presiden dan UU pemilihan anggota legislatif. Menurut Mahkamah, jenis sanksi hanya relevan untuk lembaga penyiaran, tidak untuk media cetak. Khusus pencabutan izin penyiaran, sanksi pun hanya bisa dijatuhkan atas dasar putusan pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo