Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bisnis Palsu dari Balik Jeruji

Polisi membongkar jaringan penipuan yang dikendalikan dari dalam penjara. Memakai beragam modus, omzetnya ratusan juta rupiah sebulan.

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara di ujung telepon membuat Dickson Paulus Sihombing penasaran. Warga Jakarta Barat tersebut mencoba menerka siapa peneleponnya. "Ayo, tebak siapa saya," ujar sang penelepon lagi, yang mengaku saudaranya. Sejurus kemudian, Dickson teringat salah satu saudaranya, Weldi Siani­par. "Weldi, ya?" teriaknya. Hap! Dickson pun masuk perangkap.

Si penelepon pada awal Maret itu menawarkan bisnis menggiurkan. Dia mampu menyediakan beragam gadget dari pasar gelap dengan harga sangat miring. Jika dijual lagi, Dickson bakal mendapat untung. Tergiur tawaran itu, Dickson memesan 5 iPad, 30 BlackBerry, 5 laptop, dan 2 televisi. Total nilainya Rp 150 juta. "Weldi" meminta mengirim uang muka 30 persen ke rekening atas nama Andi Saputra di Bank Mandiri. Dickson mengiyakan dan mengirim Rp 41 juta.

Baru beberapa jam mentransfer uang, "Weldi" menelepon kembali. Dia meminta Dickson mengirim lagi uang. Merasa dipermainkan, Dickson menelepon orang tua Weldi. Ia terkejut saat orang tua Weldi menyebutkan anaknya selama ini berada di luar negeri. "Saat itu saya sadar kena tipu," kata Dickson, Kamis pekan lalu.

Dickson melapor ke polisi dan Bank Mandiri. Bank memblokir rekening Andi. Tapi isi rekening sudah dikuras. Sebagian diambil, sisanya dikirim ke rekening seseorang bernama Fikri. Yang mengejutkan, dari penelusuran polisi—termasuk dari nomor telepon yang diberikan Dickson—Weldy palsu bernama asli Andi itu ternyata berstatus narapidana dan mendekam di penjara Siborong-borong, Tapanuli Utara. Pria 32 tahun ini tersangkut kasus narkotik, divonis 12 tahun, dan menghuni bui sejak 2010. Adapun Fikri berdiam di Jalan Karya, Medan. Polisi pun mencokok Fikri.

Kepada polisi, Fikri mengaku diminta Mira, 29 tahun, istri Andi, membuka rekening dengan imbalan Rp 500 ribu. Dari ­Fikri, polisi lalu tahu di mana Mira berada. "Kami tangkap di rumahnya di kawasan Percut, Medan," kata kepala tim operasi cybercrime Kepolisian Daerah Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Nazly Harahap. Polisi membawa Mira ke Jakarta dan menjebloskan ibu dua anak itu ke sel tahanan Polda Metro Jaya. "Andi otaknya," kata Mira kepada Tempo.

Kepada polisi, Andi dan Mira mengaku melakukan penipuan berkedok penjualan gadget dan beragam benda elektronik sejak tiga tahun silam. Dari dalam penjara, Andi bertugas mencari mangsa dan Mira mengambil duit. Modusnya selalu sama. Menelepon nomor acak, dan memancing "main tebak-tebakan siapa saya". Polisi menduga mereka melakukan penipuan sudah lebih dari tiga tahun. Korbannya terentang dari Medan, Jakarta, Surabaya, hingga Makassar. "Sebulan mereka bisa mendapatkan ratusan juta rupiah," ujar Nazly.

Dari Andi, polisi menyita tiga telepon seluler dan sepuluh nomor telepon. Adapun dari Mira: 38 tabungan di berbagai bank serta 30-an kartu ATM. Dari hasil tipu-tipu itu, Mira mengaku bisa membeli rumah di Jalan Benteng Hilir, Percut, sejumlah perhiasan emas, tiga sepeda motor, hingga merenovasi rumah orang tuanya.

Menurut Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno, anak buahnya menyelidiki kasus itu sejak Januari lalu. Ada tiga perkara yang diungkap. Selain kasus Andy, ada penipuan oleh Zulkifly dan Ikwan Setiawan. Keduanya juga menipu dari dalam penjara. Zulkifly dari penjara Tanjung Gusta, Medan; Ikwan dari sel Salemba, Jakarta.

Modus Zulkifly, ia menipu korban dengan mengaku sebagai polisi dan mengabarkan anak mereka ditangkap. Sang anak bisa bebas jika menyetor duit. Sedangkan Ikwan menawarkan membuat ijazah palsu. Sejak Januari lalu, ada 200-an laporan dari masyarakat yang tertipu modus tersebut. Polisi menduga mereka bisa melakukan kejahatan karena bekerja sama dengan sipir. "Ini yang sekarang kami selidiki," kata Nazly.

Juru bicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Akbar Hadi, menyatakan pemakaian ponsel oleh narapidana dilarang. Hanya, pihaknya tak mungkin bisa dengan ketat mengawasi mereka selama 24 jam.

Febriyan, Indra Wijaya, Suci Decilya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus