URUSAN letter of credit (L/C) memang bisa jadi perkara kalau tidak ditangani hati-hati. Kini, Bank Central Asia cabang Tomang menggugat nasabahnya, Perusahaan Dagang Setia, sekitar Rp 1,1 miliar, karena menolak membayar L/C yang sudah ditutup BCA. Selain tak mau membayar L/C, PD Setia juga tak membayar biaya wesel, polis asuransi. Gugatan itu sudah disidangkan sejak pekan lalu. Menurut rencana, pekan ini sidang mendengarkan saksi ahli dari Bank Indonesia yang dihadirkan BCA. Awalnya, PD Setia, yang berkantor di Petojo, Jakarta, mendapat order mengimpor integrated circuit, antena, PCB, computer connector, soket, dan cable connector. Semuanya hampir 400 ribu potong. PD Setia lalu membuka dua buah L/C di BCA. Pertama, tanggal 11 Desembar 1992, senilai Sin$ 464 ribu. Kemudian 22 Januari 1993 sebesar Sin$ 423 ribu. Untuk itu, PD Setia menyetor Rp 100 juta sebagai jaminan. Dalam L/C dicatat beberapa kesepakatan, antara lain pembayaran L/C oleh BCA kepada eksportir dilakukan setelah disetujui importir. Barang pun dikemas oleh eksportir Singapura, Lego Electrical. Sebelum berlayar, peti kemas diperiksa pihak Surveyor Indonesia di Singapura, dan dibuatkan Laporan Pemeriksaan Surveyor Indonesia (LPSI). Dokumen LPSI itu dikirim oleh surveyor ke Tat Lee Bank di Singapura. Oleh bank, dokumen LPSI itu diteruskan ke BCA Tomang, Jakarta. Setelah menerima dokumen di Jakarta, pihak BCA kemudian melunasi pembayarannya ke Tat Lee Bank, yang meneruskannya ke eksportir Lego. Masalah timbul setelah barang tersebut datang di pelabuhan Tanjungpriok. PD Setia mengaku barang yang tiba itu salah. "Dan BCA membayar tanpa setahu kami. Apalagi barang yang datang setelah kami periksa ternyata tak sesuai dengan barang yang kami minta," kata T.M. Abdullah, pengacara PD Setia. Selain itu, pihak importir tak mendapatkan kopi laporan itu sehingga tak bisa membuat Pemberitahuan Importir untuk Dipakai (PIUD) untuk mengurus barang. Menurut T.M. Abdullah, pihaknya pernah meminta Lego Electrical agar mengganti barang itu menurut permintaan, tapi tak dilayani. Mungkin, Lego yang sudah menerima duit merasa rugi bila harus mengurus ulang beberapa kontainer barang salah itu, yang kini menumpuk di Tanjungpriok. Dalam persidangan, pihak BCA berdalil pada Inpres No. 3 Tahun 1991, yang menyebutkan bank hanya berurusan dengan dokumen- dokumen L/C, tidak berdasarkan pemeriksaan barang. "Kasarnya, kalau yang dikirim sampah, bank tidak mau tahu," kata Ramlan Ginting, staf Bank Indonesia dari Bagian Penelitian Pembayaran Lalu Lintas Luar Negeri, yang belakangan oleh penggugat diajukan sebagai saksi ahli. Timbul debat seputar LPSI itu. Soalnya, ada ketentuan, untuk impor-ekspor melebihi US$ 5.000, harus ada LPSI. Bukankah artinya LPSI menjadi dokumen impor yang penting, sehingga harus diperiksa juga kecocokannya oleh bank sebelum membayar L/C ke bank korespondennya? LPSI, kata Ramlan Ginting, bukanlah termasuk dokumen L/C, kecuali bila ada kebiasaan intern di bank sendiri. "Bank hanya meneliti permukaan dokumen, secara reasonable care. Kalau tak disebut dalam L/C, maka tak wajib bank meneliti kecocokannya," tambah Ramlan menjawab ketua majelis hakim, Tua Raja Siregar. Keterangan ini berbeda dengan pendapat Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia, Amiruddin Saud, yang diajukan sebagai saksi ahli tergugat di sidang terdahulu. "Bila ada perbedaan antara dokumen impor satu dan lainnya, pihak bank tak bisa membayar tanpa persetujuan importir. Kalau membayar juga, risiko ada di pihak bank," ujar Saud. Namun, kabarnya, soal persetujuan ini sudah tercantum dalam L/C yang dibuka PD Setia di BCA itu. "Ini sama sekali kecerobohan BCA, sama sekali tak ada check- recheck," kata T.M. Abdullah. Komentar BCA? "Nanti lihat jelasnya pada keterangan saksi ahli kami," kata Ernawati Nilam, satu dari dua pengacara BCA. Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini