CERITA lama tapi selalu penting ditampilkan: aparat hukum sulit dituntut ganti rugi. Kali ini giliran mencoba adalah H.M. Slamat, 64 tahun, warga Desa Hitumesing, Maluku Tengah. Ia menuntut ganti rugi Rp 1 miliar kepada M. Wailulu, Polda Maluku, dan kejaksaan setempat. Sayang, usaha petani tamatan SD -- tapi berani maju sendiri di pengadilan -- itu ditolak Hakim Jhon Sahusilawane, Kamis pekan lalu, di Pengadilan Negeri Ambon. Alasannya, gugatan dengan dasar putusan pidana tidak dapat diajukan secara perdata, "tapi harus berdasarkan KUHP dengan acara praperadilan". Putusan yang jadi pegangan Slamat untuk menggugat pun, menurut hakim, belum sah karena belum berkekuatan hukum tetap. Sebab jaksa masih berupaya kasasi. Gugatan ini merupakan buntut perkara pidana pemalsuan yang dituduhkan pada Slamat. Awal 1992, atas pengaduan Wailulu, Slamat ditangkap polisi. Ia ditahan 40 hari dan kemudian diperpanjang kejaksaan menjadi 60 hari. Slamat dituduh memakai nama marga "Tomo" di belakang namanya secara tidak sah. Slamat ternyata dapat membuktikan bahwa ia berhak atas marga tersebut. Ia diberi nama Tomo pada 1991 dan sudah mendapat persetujuan dari pemerintah negeri (kepala desa) sebagai kepala adat di Desa Hitumesing. Pengadilan Negeri Ambon 28 Januari 1993 melepaskan Slamat dari dakwaan. Pengadilan banding juga menguatkannya. Slamat menganggap putusan itu berkekuatan hukum tetap karena sampai batas waktu kasasi habis jaksa tidak kasasi. Atas dasar inilah ia menggugat. Tapi ia kemudian heran mengapa setelah perkara gugatannya disidangkan tiba-tiba ada catatan bahwa jaksa ternyata mengajukan kasasi. Jangankan Slamat, yang sudah jelas menang pun sulit memetik uang ganti rugi. Prosesnya amat berbelit. Hukum seolah tak berdaya menyelesaikannya. Sebagai contoh, nasib gugatan janda Sumini terhadap Polresta Yogyakarta, pada 1988. Melalui LBH Yogya, ia menuntut polisi Rp 105,2 juta dengan alasan telah menyiksa anaknya, Bakri Budi Santoso -- yang dituduh mencuri handy-talky -- hingga tewas. Pengadilan Yogya mengabulkan gugatan itu kendati hanya Rp 5,2 juta. Polisi pun banding, dan kalah. Malah nilai ganti ruginya menjadi Rp 7 juta. Pada Juli 1992, MA memperkuat putusan banding. Dengan demikian, vonis itu sudah mempunyai kekuatan tetap. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Ternyata, sampai pekan lalu, Sumini belum dibayar. Menurut Nur Ismanto, Direktur LBH Yogya, tersendatnya pembayaran karena Polresta menyatakan tak mampu membayar. Menghadapi kelitan ini, Nur minta fatwa pada MA, yang kemudian memutuskan ganti rugi itu dibebankan pada Kas Negara. Belum juga dibayar. Nasib serupa menimpa pula Djoni Hutahayan, sopir taksi di Jakarta. Ia menggugat karena kemaluannya direndam air aki dan diampelas polisi. Kendati MA, pada Januari 1993, memenangkan gugatan Djoni Rp 1 juta, ia harus berbulan-bulan menunggu uang itu. Tersendatnya proses ganti rugi, menurut Prof. Bambang Poernomo, ahli hukum pidana UGM, karena perilaku aparat negara masih bersikap seperti aparat pemerintah kolonial. Mereka merasa dirinya elite yang berkuasa, yang tidak dapat menerima jika disalahkan, apalagi dikalahkan. Seandainya saja semua berpegang pada aturan, katanya, kemacetan hukum seperti itu tak akan terjadi.ARM, R. Fajri (Yogya), dan Mochtar Touwe (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini