MUSIBAH tabrakan kereta rel listrik (KRL) di Citayam, Bogor, yang sempat melahirkan unjuk rasa menuntut mundurnya Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto, akhirnya ke meja hijau. Sejak Senin pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Bogor yang dipimpin Mohammad Soeleman memeriksa Slamet Imam Santoso, Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Depok Lama, dan Jamaludin, PPKA Stasiun Citayam. Keduanya berusia 32 tahun. Jaksa Ketut Murtika (yang mendakwa Slamet) dan Razali Hanafiah (yang mendakwa Jamal) menuduh kedua PPKA itu melanggar Pasal 359 dan 360 KUHP dengan hukuman maksimal lima tahun. Tabrakan kedua kereta rel listrik yang disarati ribuan penumpang itu memang mengenaskan. Maklum, peristiwanya terjadi pagi hari, saat kereta sedang penuh. Akibat tragedi itu, 22 orang tewas dan 116 luka-luka. Jaksa membeberkan urutan peristiwa itu. Pagi hari, 2 November 1993, masuk KRL nomor 520 dari Jakarta tujuan Bogor di Stasiun Depok Lama. Kereta ini, menurut grafik perjalanan, masuk dari arah Stasiun Pondok Cina pukul 07.37, dan diberangkatkan ke arah Stasiun Citayam pukul 07.40. Sebelum diberangkatkan ke Citayam, KRL 520 itu harus menunggu persilangan dengan KRL 531 jurusan Bogor-Jakarta yang datang dari arah Stasiun Citayam. PPKA Depok Lama, Slamet, mencoba meminta "warta aman" ke Stasiun Citayam. Permintaan itu tidak dijawab oleh PPKA Stasiun Citayam, Jamaludin. Slamet lalu mengumumkan penundaan pemberangkatan kereta itu karena menunggu persilangan dengan KRL 531 di Stasiun Depok Lama. Ini sudah betul. Sementara itu, pukul 07.29, di Stasiun Citayam, PPKA Jamaludin minta "warta aman" pada PPKA Depok Lama untuk memberangkatkan KRL 531 jurusan Bogor-Jakarta. Itu dijawab oleh PPKA Depok Lama dengan memindahkan "blok DP", yang artinya boleh. Atas izin ini, pukul 07.31 Jamaludin memberangkatkan KRL 531. Anehnya, beberapa saat kemudian, Slamet menghubungi Jamal lagi melalui telepon, minta konfirmasi keamanan rel. "Heh. Ini dari siapa, sih?" balas Jamal. Tak ada jawaban. Rupanya, Slamet sudah menutup telepon di seberang. Rupanya, Slamet salah dengar. "Heh" itu ia kira persetujuan rel aman. Ia pun memerintahkan KRL 520 jalan. Perintah itu sempat ditolak masinis KRL 520, Adi Purnomo (meninggal dalam kecelakaan itu), tapi Slamet memaksa. Akhirnya, KRL diberangkatkan. Sekitar tiga menit setelah memberangkatkan KRL 520, Slamet terperanjat melihat blok DP menunjukkan warna merah. Itu artinya, jalur itu dipakai oleh kereta dari Citayam. Dia segera menghubungi Jamal. "Mal, itu 520 sudah berangkat," katanya. Jamal pun kaget dan menjawab, "Lo, gimana, Met. Ini 531 juga sudah berangkat." Menurut Jaksa Ketut Murtika dan Razali Hanafiah, di sinilah letak kesalahan kedua PPKA itu. "Seharusnya Slamet menghubungi Jamal kembali untuk minta penegasan. Jadi, jangan ditafsirkan dari jawaban 'heh' itu," kata Ketut Murtika. "Jamal seharusnya menjawab 'warta aman' yang diminta Slamet dulu sebelum memberangkatkan KRL 531," kata Razali. Kedua terdakwa pasrah dengan dakwaan jaksa. Slamet menolak berkomentar. "Kalau ingat peristiwa itu, saya sedih. Saya bersalah," kata Slamet. Begitu pula kata Jamal. Sidang masih berlanjut. Taufik Abriansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini