Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut Batu Bara Lahan Transmigrasi

Lahan transmigrasi di Kotabaru, Kalimantan Selatan, berubah menjadi tambang batu bara. Ada yang belum menerima ganti rugi.

19 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah eks transmigran Kotabaru meminta ganti rugi lahan yang masuk wilayah konsesi tambang batu bara.

  • BPN mencabut 441 sertifikat tanah eks transmigran.

  • Lahan transmigrasi ada yang berpindah tangan.

BELASAN orang mendatangi hamparan tanah kosong dan rawa-rawa tak berpenghuni di Desa Bekambit, Kecamatan Pulau Laut Timur, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sebagian di antaranya mantan transmigran yang mengklaim memiliki lahan tersebut sejak 1989. Tapi sejak 2010 kawasan itu diduga menjadi bagian dari wilayah konsesi tambang batu bara PT Sebuku Sejaka Coal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu daerah tersebut bernama transmigrasi Rawa Indah. Salah seorang mantan transmigran yang mendatangi rawa-rawa itu bernama Nyoman Darpada, 56 tahun. Bersama suaminya, Nengah Suyatna, ia menjadi transmigran asal Buleleng, Bali, pada 1989. Ada 81 keluarga yang berasal dari Buleleng. Mereka bergabung dengan puluhan keluarga lain di kawasan Rawa Indah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka masing-masing mendapat jatah lahan seluas 2 hektare yang terpecah dalam tiga sertifikat. Ada sertifikat yang sudah mencantumkan nama transmigran. Tapi Nyoman berbeda. “Lokasi lahan diperoleh lewat cabut nomor dan sertifikat yang diberikan masih tanpa nama,” kata Nyoman Darpada kepada Tempo di lokasi tersebut pada Sabtu, 25 Februari lalu.

Baca: Siasat Sambo di Tambang Batu Bara 

Nyoman tak kuat tinggal di lahan transmigrasi Rawa Indah. Rumah pemberian pemerintah dikepung rawa-rawa dan sepi. Ia dan suaminya menganggap lahan jatah itu tak cocok buat bertani. Apalagi airnya asam. Mereka mengandalkan air hujan untuk minum. Jika musim kemarau datang, mereka harus mencari air bersih sejauh 3 kilometer.

Situasi yang dianggap tak layak ini membuat puluhan keluarga berbondong-bondong angkat kaki pada 1991-1995. Sebagian pulang ke kampung halaman setelah menjual lahan transmigrasi milik mereka. Sebagian besar pindah ke desa tetangga, Desa Bekambit Asri, yang lebih ramai. Lahan mereka menjadi telantar.

Kawasan transmigrasi Rawa Indah menjadi sorotan saat PT Sebuku Sejaka Coal menerima izin usaha pertambangan operasi produksi pada 2010. Sebelumnya perusahaan batu bara itu bernama PT Sebuku Iron Lateritic Ores. Situs Minerba One Data Indonesia milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut izin usaha pertambangan PT Sebuku Sejaka Coal bernomor 545/64/IUPOP/D.PE/2010 dengan luas 8.139,93 hektare. Lahan tramsigran Rawa Indah masuk ke wilayah konsesi itu.

Eks transmigran Rawa Indah mulai mempersoalkan keberadaan PT Sebuku Sejaka Coal pada akhir 2021. Ada lahan yang menjadi bagian dari wilayah konsesi dan sudah digunakan untuk jalan tambang. Mereka makin geger lantaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Selatan membatalkan 441 sertifikat milik mantan transmigran.

Lahan milik Nyoman Drapada dan suaminya berubah menjadi jalan tambang. Ia mengaku belum mendapat ganti rugi. Ia yakin itu tanahnya karena mengacu pada nomor sertifikat. “Kena hauling, banyak sudah yang tahu bahwa itu tanah punya saya. Cuma enggak ada namanya,” ucap Nyoman.

Sebelum pindah, Nyoman membeli lahan transmigrasi seluas 2 hektare milik tetangganya, Ketut Mudana, yang pindah lebih dulu ke daerah lain di Kotabaru, sebesar Rp 250 ribu. BPN ikut mencabut sertifikat itu dan sertifikat lahan yang pernah ia tempati saat menjadi transmigran.

Nasib serupa dialami puluhan eks transmigran lain. Di antaranya Nyoman Suastika, Ishak bin Asmuni, dan Abdul Rasyid. Mereka sudah mendapat sertifikat hak milik atas nama sendiri pada 24 Januari 1990, masing-masing seluas 2 hektare. Mereka juga belum menerima ganti rugi. “Banyak sertifikat yang beralih tangan, dijual ke orang lain,” kata Ishak, kini 60-an tahun.

Suasana memanas saat PT Sebuku Sejaka Coal mulai mengerahkan alat berat pada akhir 2021. Mereka merobohkan pepohonan dan meratakan sebagian tanah yang diklaim milik eks transmigran Rawa Indah.

Mantan transmigran membentuk Forum Persatuan Eks Trans Rawa Indah pada 5 Desember 2021. Mereka menunjuk I Ketut Buderana sebagai ketua. Mereka memprotes dengan mendirikan gubuk di atas jalan tambang PT Sebuku Sejaka.

Para pendemo sempat beradu mulut melawan pihak perusahaan dan kepolisian. PT Sebuku Sejaka Coal bersama kepolisian berupaya beberapa kali menggelar mediasi. Pertemuan itu turut dihadiri BPN dan Pemerintah Kabupaten Kotabaru.

Dalam upaya mediasi, kubu Buderana menyodorkan nominal ganti rugi dua kali lipat dari nilai jual obyek pajak (NJOP).  Mereka mengacu pada NJOP yang pernah dikeluarkan Badan Pendapatan Daerah Kotabaru atas lahan milik Akhmad Syurkani, warga Desa Bekambit. Nilainya sebesar Rp 14 ribu per meter persegi.

Massa Forum Persatuan Eks Trans mendirikan gubuk di atas lahan yang diklaim tercantum dalam sertifikat milik Gede Ruma, mantan transmigran yang pulang ke Buleleng. I Wayan Suada mengklaim membeli tanah itu dengan membayar Rp 250 ribu sebelum Gede Ruma angkat kaki pada 1991.

I Ketut Buderana dan I Wayan Suada malah berhadapan dengan proses hukum. Keduanya dituduh menguasai sertifikat Gede Ruma tanpa hak. Sebab, selain mendirikan gubuk, Buderana dan Wayan mengajukan permintaan ganti rugi berbekal sertifikat tanah atas nama Gede Ruma.

PT Sebuku Sejaka Coal mengutus I Gede Suarsana ke Buleleng untuk menguji sertifikat yang dikuasai Wayan dan Buderana. Ia bertemu Gede Ruma yang masih sehat-walafiat. Gede Ruma mengaku tak pernah menjual tanah bekas transmigrasi miliknya kepada siapa pun. “Perusahaan tidak mau asal terobos hak milik orang lain, mencari pemiliknya yang asli,” ujarnya.

Kondisi jalur tambang di lahan eks transmigrasi Rawa Indah, Kecamatan Pulau Laut Timur, Kabupaten Kotabaru, 27 Februari 2023/Istimewa

Gede Ruma lantas melaporkan I Ketut Buderana dan I Wayan Suada ke Kepolisian Resor Kotabaru. Polisi menangkap Buderana dan Wayan atas tuduhan penipuan sertifikat tanah milik Gede Ruma pada 1 April 2022.

Kasus ini berlanjut hingga pengadilan. Pada 5 September 2022, hakim Pengadilan Negeri Kotabaru menjatuhkan vonis pidana dua tahun dan enam bulan penjara terhadap kedua terdakwa karena terbukti menipu. Buderana dan Wayan lalu mengajukan permohonan banding.

Pengadilan Tinggi Banjarmasin menyunat vonis pidana menjadi satu tahun enam bulan penjara. Sembari menanti putusan kasasi, kedua terdakwa masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kotabaru.

Juru bicara Sebuku Coal Group di Kotabaru, Roni Mai Sandi, mengatakan pembebasan lahan masyarakat mesti sesuai dengan kepemilikan yang sah, yaitu surat-menyurat resmi dan bukti kepemilikan lahan dengan pengakuan pemerintah desa. Menurut dia, PT Sebuku memiliki sertifikat tanah dari pembebasan lahan tersebut.

PT Sebuku Sejaka Coal mengklaim sudah membebaskan sejumlah lahan eks transmigran untuk kepentingan tambang. Roni tak menampik ada potensi silang kepemilikan saat pembebasan lahan. “Selama pihak lain yakin punya legalitas yang kuat atas lahan tersebut, silakan menguji di pengadilan,” katanya.

Ia juga membenarkan bahwa PT Sebuku Sejaka Coal mengirim utusan untuk mengecek kepemilikan sertifikat ke Buleleng. Namun ia tak mau membocorkan berapa nominal ganti rugi itu dengan alasan rahasia perusahaan. “Jangan diartikan kami menghalalkan segala cara. Misalkan ada pihak yang datang ke kami, bawa sertifikat dengan nama lain, selama itu bisa membuktikan akta jual-beli, kami akomodasi,” tuturnya.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kotabaru Ajun Komisaris Abdul Jalil sudah meminta PT Sebuku membereskan ganti rugi lahan masyarakat dengan baik lewat mediasi. Persoalannya, ada warga yang menebar isu nilai ganti rugi lahan yang tinggi.

Ia memastikan tidak ada intimidasi terhadap masyarakat saat pembebasan lahan tersebut. “Tidak terbukti. Tidak ada namanya merampas hak masyarakat tanpa melakukan pembebasan. Kami kawal, kami pastikan tidak ada penyerobotan,” ujarnya.

Jalil mengimbau eks transmigran Rawa Indah yang masih memegang sertifikat atas nama orang lain segera berkoordinasi dengan pemerintah desa. Sebab, perusahaan mesti membebaskan lahan kepada orang yang tepat. “Orang masih hidup kok dibilang meninggal. Mafia tanahnya dari mereka sendiri, termasuk Pak Buderana,” tuturnya.

Ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kotabaru, I Ketut Buderana membantah disebut mafia tanah. Buderana menduga menerima sebutan itu karena getol memperjuangkan hak-hak eks transmigran lewat Forum Persatuan Eks Trans Rawa Indah. “Saya memperjuangkan hak-hak warga,” ucapnya.

Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor Wilayah BPN Kalimantan Selatan Kadi Mulyono menuturkan pembatalan 441 sertifikat tanah eks transmigran Rawa Indah dilakukan atas permintaan PT Sebuku Sejaka Coal. Kadi telah menurunkan tim ke Rawa Indah pada 2019, dengan kondisi hamparan rawa-rawa tanpa penghuni. “Tapi pembatalan itu tidak otomatis milik PT Sebuku Sejaka Coal. Mereka harus punya bukti-bukti alas hak,” katanya.

Ia mengatakan status Rawa Indah kembali sebagai tanah negara setelah lima belas tahun tak dihuni. Kadi Mulyono mengklaim BPN sudah mengumumkan pembatalan 441 sertifikat itu ke kantor desa dan media massa. Perihal PT Sebuku Sejaka Coal bisa atau tidak membuktikan keaslian sertifikat asli milik eks transmigran, Kadi Mulyono menyerahkan hal itu ke BPN Kotabaru. “Kalau bisa membuktikan, kan, bisa diproses. Kalau tidak bisa membuktikan, itu masih tanah negara.”

Kepala BPN Kabupaten Kotabaru Jani Loupatty membenarkan bahwa pembatalan sertifikat tidak harus dilampiri sertifikat asli. Namun ketika penerbitan sertifikat baru, menurut Jani, PT Sebuku Sejaka Coal wajib melampirkan sertifikat asli hasil pelepasan hak dari masyarakat. “PT Sebuku harus melampirkan sertifikatnya untuk mengajukan permohonan hak,” ujarnya.

Kepala Seksi Pemberdayaan Sumber Daya Kawasan Transmigrasi dan Pembangunan Satuan Permukiman Bidang Ketransmigasian Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Kalimantan Selatan M. Rahmadi mengatakan ada 438 keluarga transmigran yang mendiami Rawa Indah selama program penempatan pada 1984-1990. Kepemilikan tanah transmigrasi tidak boleh dipindahtangankan kecuali telah dimiliki paling singkat 15 tahun sejak penempatan awal. “Jika terjadi pemindahtanganan di luar ketentuan, hak atas tanah bagi transmigran dan penduduk setempat akan terhapus,” tuturnya.

DIANANTA P. SUMEDIA (KOTABARU)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus