Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Matinya Seorang Anak Tiri

Roy diambil dari halaman RS Dharma Sakti, Jakarta Pusat, dianiaya dan dibunuh didalam jip. Ayah tirinya diduga sebagai dalang. (krim)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM lelaki berkulit gelap tiba-tiba menyerbu masuk halaman rumah sakit jiwa dan saraf Dharma Sakti, Jakarta Pusat. Seorang karyawan langsung dipukul sampai roboh oleh salah seorang penyerbu. Mendengar ada ribut-ribut, Dokter Mikail Bharya, direktur rumah sakit itu, beranjak ke luar ruangan, karena mengira ada pasien yang mengamuk. Ternyata, ia menyaksikan pemandangan yang sungguh di luar dugaan. Anak sulungnya, Jeremia Irwan Bharya alias Roy, 22, sedang dikeroyok oleh para penyerang dan diseret menuju mobil jip yang diparkir di depan rumah sakit. "Lepaskan dia," teriak Dokter Bharya, sambil dengan sekuat tenaga berusaha membebaskan anaknya. Tapi usahanya sia-sia. Sewaktu Roy dimasukkan ke dalam jip dan Bharya mencoba bergantung di pintu belakang, ia kena tendang beberapa kali sampai terjatuh. Di dalam jip, Roy rupanya terus dianiaya. Sekitar satu jam kemudian, mahasiswa tingkat dua jurusan bisnis administrasi University of Southern California, AS, itu diantar para pengeroyoknya ke Rumah Sakit Sumberwaras, Jakarta Barat, dalam keadaan kritis. Ia dinyatakan oleh para pengeroyoknya sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Ketika diantar ke RS, Roy ternyata sudah tak bernyawa. Polisi bertindak cepat. Hari itu juga, Jumat 10 Agustus lalu, dua orang tersangka pengeroyok ditangkap. Nurdin Usin (nama samaran), bekas pejabat keuangan Pertamina yang tak lain adalah ayah tiri korban, ikut ditangkap karena dicurigai sebagai otak penculikan dan pembunuhan itu. Tapi ia hanya ditahan satu malam, dan selanjutnya dikenai wajib lapor. Sebab, menurut komandan reserse Polres Jakarta Barat Mayor Tato Maryatno, "Kami belum menemukan petunjuk kuat keterlibatannya." Bukti kuat memang belum ada. Tapi diketahui bahwa mobil jip yang digunakan menculik Roy memang milik ayah tirinya. Seorang tersangka pun ditangkap di rumah Nurdin Usin. Ibu kandung korban, Nyonya Thea Kirana, 38, bekas peragawati, terus terang menaruh syak kepada suammya -- yang sejak lima bulan lalu berpisah rumah. Beberapa hari sebelum Roy dianiaya dan dibunuh, telepon dirumahnya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, terus-menerus berdering. Si penelepon itu memaksa agar Roy datang ke suatu tempat. Kalau ia tak mau, mereka akan datang membunuh Roy. Telepon ancaman itu tampaknya ada hubungan dengan kejadian 4 Agustus lalu, ketika Nyonya Thea bersama seorang kawannya, dan Roy, berada di Bank of America. "Waktu it kami mengurus agar kepulangan Roy, yang akan kembali ke Amerika tanggal 8 Agustus, setelah dua minggu berada di Indonesia karena liburan, bisa diundur sampai sekitar akhir Agustus," tutur Nyonya Thea kepada Maman Gantra dari TEMPO. Tahu-tahu, di bank itu muncul Nurdin bersama seorang temannya yang bernama Jhoni. Dia, kata Nyonya Thea, langsung memaki di hadapan orang banyak. "Saya dlbllang perempuan lonte, bajingan, dan kata-kata kotor lainnya," katanya. Lalu, menurut Nyonya Thea, Nurdin menunjuk Roy yang sejak awal diam saja, "Lihat tuh, Jhon, dia mau membunuhmu. Tapi jangan takut, bunuh saja dia. Kamu jangan takut mati. Kalau kamu mati, saya takut mati." Tak begitu jelas maksud kata-kata itu. Tapi Roy kemudian melaporkan hal itu kepada ayahnya, Dokter Bharya. Dan karena Dokter Bharya juga menerima beberapa kali telepon ancaman terhadap Roy, ia lalu mengadu ke Polsek Jatibaru. Sayang, sebelum polisi bertindak, Roy sudah lebih dahulu diculik dan dianiaya sampai mati. Yang menyakitkan, menurut Dokter Bharya, sore hari setelah Roy meninggal, ia diberitahu seorang penelepon gelap agar mulai pukul 18.30 sore itu menyaksikan siaran bahasa Inggris TVRI. Ternyata, kata Bharya dengan pilu, "Ada berita tentang penguburan jenazah bintang film Richard Burton." Bharya bercerai dengan Thea tahun 1975, setelah dikaruniai tiga anak. Satu pria dan dua wanita. Susi, adik Roy, juga kuliah di AS dengan biaya dari ayah tirinya. Thea menikah dengan Nurdin tahun 1982, setelah beberapa tahun berkenalan cukup intim. Tapi, kata Thea, kehidupannya dengan Nurdin tak pernah akur. Suaminya yang kini jadi pengusaha swasta, hanya kadang-kadang saja datang untuk makan siang, lalu pergi lagi, hingga Thea pernah meminta cerai. Setiap kali cekcok, Nurdin biasanya berkonsultasi dengan Dokter Bharya, spesialis saraf dan jiwa, bekas suami Nyonya Thea. "Hubungan kami selama ini memang baik. Nurdiri bahkan pernah meminta tolong ketika seoran anaknya sakit gawat. Saya anjurkan agar berobat 'Dke Tokyo, dan saya pun menyempatkan diri menjenguk ke Jepang," kata Bharya. Tapi, kata sang ibu, Nurdin kelihatannya kurang menyenangi Roy. Entah karena apa. "Padahal, Roy tak pernah macam-macam. Ia seorang anak yang rajin belajar, tak pernah keluar malam dan tak pernah melawan orangtua," kata Nyonya Thea. Yessi Gusman, bintang film, yang pernah sekelas dengan Roy di AS, pun mengatakan bahwa Roy anak yang baik dan cerdas. "Di kelas kami dulu, dia paling pandai," kata Yessi. Tapi apakah kematian Roy itu didalangi ayah tirinya, belum diketahui pasti. "Kami masih mengejar beberapa tersangka lain, dan kasus ini masih terus kami selidiki," ujar Mayor Tato.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus