Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Belajar dari Kasus Hendra Rahardja

Meski Indonesia dan Australia menjalin perjanjian ekstradisi, ternyata tidak mudah mengirim pulang terpidana kasus korupsi yang lari ke Australia itu.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Belajar dari Kasus Hendra Rahardja
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Akhirnya dia mati dalam sunyi. Tanpa keluarga besar. Tanpa nyala lampu media. Nun jauh di Sydney, Australia, jenazah Hendra Rahardja setahun silam dibalsem di rumah duka di Auburn bersama beban utang triliunan rupiah dan status yang hina: buron.

Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing bisa saja dikubur di tanah kelahirannya di Makassar—meski artinya dia akan menghabiskan hidupnya di balik sel penjara—jika perjanjian ekstradisi antara Australia dan Indonesia jauh lebih sederhana.

Enam tahun silam, tepatnya 1 Juni 1999, Hendra Rahardja ditangkap dan ditahan aparat keamanan Australia. Ketika itu Hendra dituduh melakukan praktek pencucian uang. Pada saat yang sama, polisi Indonesia juga sedang memburunya. Saudara kandung Edy Tansil itu dituduh menilap Rp 1,95 triliun uang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disalurkan ke bank miliknya, Bank Harapan Santosa (BHS). Melalui Interpol, polisi melayangkan surat permintaan untuk mengekstradisi Hendra.

Meski perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Australia sudah diteken pada April 1992, tak mudah memboyong pembobol bank kelas wahid itu ke Indonesia. Pemerintah Australia yang menganut sistem hukum Inggris (British Commonwealth System) tidak begitu saja menyerahkan buruan itu. Ditambah lagi, pihak Hendra juga mengajukan keberatan melalui pengadilan setempat.

Tiga pengacara andal Australia yang disewa Hendra memaparkan bukti bahwa kliennya tidak perlu diekstradisi. Menurut Ron Kessel, salah satu pengacara itu, peradilan di Indonesia bobrok, ditambah lagi ada diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa. Hakim pengadilan di Sydney pun meminta waktu untuk mempelajari keberatan Hendra.

Hampir bersamaan, Hendra juga mempraperadilankan polisi Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia menuntut pembatalan atas penangkapan dan penahanan dirinya. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan ini dan meminta polisi membatalkan penahanan Hendra di Australia melalui Interpol. Aneh bin ajaib. "Bagaimana bisa hakim Indonesia membatalkan penangkapan dan penahanan yang dilakukan polisi Australia?" kata Alfons Loemau, pengacara Polri ketika itu.

Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu seperti melengkapi senjata Hendra untuk melawan upaya ekstradisi. Menurut Amir Syamsudin—ketika itu pengacara Polri—meski ada perjanjian ekstradisi, ada beberapa hal yang bisa menghambat proses itu. Salah satunya, "Jika di Indonesia terbukti proses pengadilannya masih ada diskriminasi ras dan agama," kata Amir Syamsudin kepada Tempo pekan lalu. Selain itu, untuk kasus yang menyangkut urusan politik, Australia juga sulit meloloskan permintaan untuk mengekstradisi tersangka.

Brian Lulham, hakim pengadilan di Sydney, menganggap keberatan Hendra hanya tipu daya. Pada 24 September 1999, Brian Lulham memutuskan bahwa Hendra harus dikirim kembali ke Indonesia. Hendra masih melawan.

Ia mengajukan banding. Setelah tiga tahun lebih mempelajari kasus itu, hakim pengadilan tinggi Australia pada Desember 2002 memutuskan Hendra harus diekstradisi.

Upaya Polri mencomot Hendra ternyata masih tersendat. Bukan urusan hukum, tapi penyakit kanker ginjal yang diderita Hendra. Lalu, pada Januari 2003, polisi Indonesia kalah cepat dengan malaikat maut yang menjemputnya. Upaya Indonesia memburu harta hasil pembobolan BLBI yang disimpan di Australia juga tidak sebanding dengan jerih payah pemerintah. Menteri Kehakiman dan Pabean Australia Chris Ellison, April tahun lalu, mengumumkan bahwa harta Hendra yang bisa diserahkan ke pemerintah Indonesia hanya A$ 642 ribu (sekitar Rp 4,6 miliar).

Kisah ekstradisi memang belum menjadi kisah sukses. Kisah korupsi dan pembobolan bank masih akan tetap menjadi reputasi negeri ini.

Johan Budi S.P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus