Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu yang mendung pekan lalu itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampak tak kuasa menyimpan kekesalannya. Wajahnya merah padam. Suara kalemnya lenyap, berganti dengan nada tinggi. "Saya kaget, kalau ada yang menyebarkan isu, katanya, saya mengatakan datang ke Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi."
Setelah itu ia menelan ludah. Beberapa wartawan yang hadir dalam siaran pers di Singapura pekan lalu itu terkejut. Tak biasanya Presiden berbicara dengan nada melambung. Keriangan Presiden setelah sukses membujuk Singapura membahas perjanjian ekstradisi seolah lenyap, menjelang pulang ke kampung halamannya.
Kekesalan Presiden Yudhoyono bermula dari simpang-siurnya berita tentang perjanjian ekstradisi antara pemerintah Singapura dan Indonesia sepanjang pekan lalu. Sejumlah politisi di Tanah Air mengecam pemerintah Yudhoyono karena gagal memaksa Singapura meneken perjanjian. "Saya ingin memberikan koreksi kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang seolah-olah saya mengatakan—tidak pernah saya katakan di mana pun, kapan pun--kunjungan saya ke Singapura untuk menandatangani perjanjian ekstradisi," katanya dengan suara yang tetap meninggi.
Sepanjang pekan lalu itu kecaman terhadap pemerintah Yudhoyono dan Singapura memang kencang mengalir. Sejumlah anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan di legislatif mendesak agar kerja sama latihan militer dengan Singapura disetop jika si tetangga itu ogah-ogahan menandatangani perjanjian ekstradisi. "Kalau Lee (Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong-Red.) tidak mau menandatangani perjanjian ekstradisi, putuskan saja hubungan dengan Singapura," kata Permadi, anggota Komisi Pertahanan dari PDI Perjuangan.
Presiden Yudhoyono menuding bahwa komentar keras di media massa telah mengganggu jalannya perundingan. Kepada Tempo, seorang diplomat Singapura juga mengeluhkan hal serupa. "Megaphone diplomacy memang kerap mengganggu jalannya perundingan," kata sumber ini.
Apa yang terjadi sesungguhnya memang tidak seperti rumor yang meruap. Singapura dan Indonesia baru sepakat membicarakan perihal perjanjian ekstradisi. Artinya, jalan masih panjang untuk sampai kepada perjanjian itu sendiri.
Tapi ini saja sudah lumayan. "Kami sepakat untuk memerintahkan tim kami agar negosiasi berlangsung lebih cepat," kata PM Lee. Sejumlah agenda sudah disusun. April nanti delegasi kedua negara akan bertemu lagi di Jakarta.
Setelah 30 tahun, ini memang prestasi yang boleh diacungi jempol. Selama ini bahkan duduk untuk membicarakan soal ekstradisi ini saja Singapura ogah.
Tiga puluh tahun? Agar cerita lebih runut, kita buka kalender 1974. Ketika itu, tak berapa lama setelah sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara membentuk ASEAN, perdagangan Indonesia dan Singapura melaju kencang. Untuk mengatur tetek-bengek perihal jual-beli itu, Jakarta menyodorkan beberapa tawaran kerja sama, antara lain perjanjian batas laut, publikasi data perdagangan, dan perjanjian ekstradisi. Hasjim Djalal, yang ketika itu menjabat Kepala Bidang Politik Kedutaan Indonesia di Singapura, mengisahkan bahwa dari tiga usul itu cuma soal batas laut yang mudah disepakati. Sedangkan publikasi data perdagangan dan perjanjian ekstradisi selalu saja membentur tembok. Belakangan, dua masalah itu malah kerap memancing perang kata-kata di muka umum.
Perang mulut berlangsung terus bertahun kemudian. Hingga awal Juli 2003, misalnya, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Soewandi, bertarung kata di media dengan George Yeo, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Singapura. Rini menuding sang tetangga kerap berbohong dalam soal data perdagangan. Jumlah yang dicatat Singapura melorot jauh dari jumlah yang dicatat Jakarta. Rini menuding Singapura main curang dalam hitung-menghitung jumlah transaksi ini. Ia juga menuding bahwa Negeri Singa itu tak serius memberantas para penyelundup. Perdagangan Indonesia kacau-balau karena ulah para penyelundup.
Itu sebabnya, pada Juni 2003, Rini mengirim surat protes ke kantor George Yeo. "Penyelundupan antara kedua negara telah mencapai tingkat kritis bagi perekonomian Indonesia," tulis Rini dalam surat itu. Bila Yeo tak menggubris, Jakarta mengancam: semua kapal yang tadinya berlabuh ke negeri kota itu akan dialihkan ke tempat lain.
Menerima ancaman itu, George Yeo mengaku terkejut bukan kepalang. Ia juga heran mendengar tudingan bahwa negerinya melindungi para penyelundup. Singapura, kata Yeo, tak seinci pun memberikan ruang untuk penjahat perdagangan itu. Soal data jual-beli yang disimpan rapat itu, ujarnya, "Cuma merujuk pada perjanjian bersama 1974."
Perjanjian tahun 1974 yang ditunjuk Yeo itu memang tak membahas soal publikasi data perdagangan kedua negara. Sejak awal Singapura memang menutup rapat soal data perdagangan ini. Belakangan, kata Hasjim Djalal, mereka bersedia memasok data yang diminta Jakarta, tapi bukan data publikasi. Artinya, hanya jika Jakarta meminta, Singapura memberi. Tak sedikit pun Singapura mau mempublikasikan data perdagangan negerinya ke Indonesia secara terbuka.
Masa-masa itu, cerita Hasjim, hubungan kedua negara memang sedang rewel-rewelnya. Jakarta masih geram, setelah Singapura menghukum gantung Harun dan Usman, Oktober 1968. Keduanya adalah anggota pasukan Korps Komando Operasi (KKO)—kini disebut Marinir—yang dituding Singapura telah menaruh bom di pusat keramaian kota. Karena kasus itu, Singapura terus menaruh curiga kepada Jakarta. Diplomasi jadi kaku. "Mengajak dua negara yang saling curiga membahas perjanjian ekstradisi jelas memerlukan waktu," kata Hasjim.
Sejak 1974, membahas perjanjian ekstradisi bak menaruh bom di meja diplomasi. Setiap kali perjanjian itu disinggung, urat marah kedua negara menegang. Dalam pertemuan mengenai perang terhadap terorisme di Bali, Desember 2003, Indonesia berbicara lantang tentang perjanjian ekstradisi ini. Delegasi Indonesia menuding Singapura tidak beritikad baik, karena tak sudi menandatangani perjanjian itu. Kecaman itu datang dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, dan Kepala Polri, Jenderal Da'i Bachtiar. Dua pejabat ini menjawab delegasi Singapura yang sebelumnya mengatakan perang melawan terorisme dapat dilakukan tanpa harus terikat perjanjian ekstradisi.
Bagi Indonesia, mengikat perjanjian ekstradisi dengan Singapura tak cuma dalam urusan terorisme, tapi juga menjadi bagian urusan pemberantasan korupsi. Sebab, negeri tetangga itu sudah lama menjadi surga bagi warga Indonesia yang terbelit kasus korupsi. Sebut saja Bambang Sutrisno, Wakil Komisaris Bank Surya, yang divonis penjara seumur hidup oleh pengadilan. Para hakim cuma bisa gigit jari, karena sebelum vonis diketuk Bambang sudah ngacir ke Singapura.
Amarah Jakarta kian menjadi ketika Agus Anwar, pemilik Bank Istimarat, diberitakan mendapat hak kewarganegaraan Singapura. Padahal di sini ia tersangkut perkara, karena menelan dana Rp 700 miliar PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), sebuah perusahaan keuangan milik negara. Kecaman bertubi-tubi datang dari Jakarta. "Bagaimanapun, rasanya tidak etis, seseorang yang terlibat dalam tindak perampokan negara, tetangga kita malah dengan mudah memberikan perlindungan, terlebih lagi status kewarganegaraan," kata Menteri Luar Negeri Noer Hassan Wirajuda.
Di samping dua nama itu, sejumlah tersangka korupsi juga memilih Singapura sebagai tempat berlabuh (lihat Tak Cukup Perjanjian Ekstradisi). Jika perjanjian ekstradisi tidak segera disepakati, minggat ke Singapura akan terus menjadi modus favorit para koruptor.
Itu sebabnya, Jakarta terus-terusan merayu agar negeri Lee Kuan Yew itu mau membuka pembicaraan tentang ekstradisi. Dan kabar baik itu akhirnya datang juga. Pada Agustus 2003, dalam pertemuan antara Presiden Megawati Soekarnoputri dan Perdana Menteri Goh Chok Tong di Batam, Singapura bersedia membuat perjanjian ekstradisi. Lampu hijau dari Batam itu memecah kemacetan hubungan kedua negara.
Sumber Tempo di Departemen Luar Negeri Singapura menuturkan, sebetulnya Singapura juga sangat memerlukan perjanjian ekstradisi itu. Soalnya, belakangan ini banyak kejahatan ekonomi terjadi dan merugikan negeri itu. Repotnya, kata sumber tersebut, sejumlah kejahatan ekonomi itu terkait pula dengan Indonesia. Pernyataan itu dibenarkan oleh Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI, yang terlibat dalam perjanjian ini. Singapura, menurut Arif, amat berkepentingan agar perjanjian itu segera disepakati. "Singapura juga terbelit kejahatan finansial yang harus diselesaikan."
Sumber di Departemen Luar Negeri Singapura itu menuturkan bahwa pihaknya sudah dua kali mengirim surat ke Jakarta. "Isinya meminta penjelasan tentang sistem hukum Indonesia, agar kami punya pijakan yang jelas," kata sumber itu. Kedua surat itu dikirim pada awal 2004. Namun cuma surat pertama yang dibalas, sedangkan surat kedua belum beroleh respons karena Jakarta sibuk mengurus pemilihan umum.
Dua surat itulah yang kemudian ditindaklanjuti pemerintah SBY, Kamis pekan lalu. Di Singapura kedua delegasi duduk semeja dengan bungah setelah dua hari sebelumnya Yudhoyono bertemu PM Lee Hsien Loong.
Setelah pertemuan itu, wajah Yudhoyono terus berurai senyum. Satu-satunya interupsi keriangan itu adalah ketika ia menekuk wajah di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma pada hari yang mendung Rabu pekan lalu itu.
Wenseslaus Manggut, Sita Planasari, Mawar Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo