Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Perjuangan Menggugat 'Suaka'

Singapura dikenal sebagai "suaka" buron kasus korupsi di Indonesia. Ekstradisi mungkin mengurangi korupsi, tapi ekonomi tidak terpengaruh.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Perjuangan  Menggugat 'Suaka'
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

CARILAH rasa aman ke Singapura, begitu barangkali peribahasa di kalangan buron kasus-kasus kejahatan keuangan di Indonesia. Negeri yang hanya sepelemparan batu dari Batam, Riau, itu tersohor sebagai tujuan para "selebriti" seperti Bambang Sutrisno, Agus Anwar, dan Sjamsul Nursalim—sedikit dari beberapa tersangka atau terpidana kasus kejahatan keuangan di Indonesia.

Lebih dari itu, Singapura juga sering diidentikkan dengan surga para pemilik uang kakap Indonesia. Miliaran dolar AS uang orang Indonesia diduga disimpan di bank-bank di Singapura. Kini, Indonesia sedang mengupayakan perjanjian ekstradisi dengan Negeri Bandar itu. Tujuannya, tak lain, membawa pulang para buron atau terhukum yang melarikan diri ke negeri itu.

Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyambangi Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong. Yudhoyono meminta Singapura meneken perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Lee pun berjanji memenuhi, meski belum jelas kapan Singapura akan menekennya. "Perjanjian ekstradisi itu sangat kompleks," kata Lee sambil mengingatkan bahwa perjanjian itu bukan satu-satunya obat mujarab yang bisa mengobati penyakit korupsi kronis di Indonesia.

Banyak yang tak percaya akan janji itu. "Mereka pasti akan mengulur-ulurnya," kata Goei Siauw Hong, seorang analis. Negeri dengan pendapatan per kapita US$ 31 ribu—Indonesia hanya US$ 900—itu sudah pasti akan berpikir jauh. Ini soal serius karena menyangkut dana orang Indonesia, baik halal maupun haram, yang diparkir di sejumlah bank di Negeri Singa itu. Perjanjian ekstradisi dikhawatirkan akan menyebabkan Singapura, salah pusat keuangan Asia, bahkan dunia, terguncang.

Tak mudah mendapat angka pasti berapa dana orang Indonesia di sana. "Yang pasti sangat besar," kata bekas Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie. Pada 1991, Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) mengeluarkan perkiraan, uang warga negara Indonesia yang disimpan di Singapura bisa mencapai US$ 76 miliar atau hampir Rp 700 triliun (kurs Rp 9.200). Sekarang jumlahnya pasti membengkak karena, ketika krisis ekonomi 1997, banyak orang Indonesia melarikan uangnya ke luar negeri, termasuk Singapura.

Ekonom Kwik Kian Gie menilai hitungan itu rasional. Angka mahadahsyat itu merupakan akumulasi berpuluh tahun. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir hanya berkisar di angka Rp 300 triliun.

Seorang mantan bankir mengatakan, pada 1981, total dana orang Indonesia yang diparkir di Singapura diperkirakan mencapai US$ 1,1 miliar. "Jumlah yang sangat besar pada masa itu," katanya. Kini, angkanya pasti berlipat-lipat. Selain karena korupsinya makin pintar, juga rayuan sejumlah bank yang melakukan layanan "jemput" nasabah. Di hotel berbintang di Jakarta, kata mantan bankir itu, ratusan pejabat bank dari luar negeri berkeliaran mencari nasabah, merayu orang kaya Indonesia agar menyimpan uangnya di luar negeri, termasuk Singapura.

Dia tak terlalu yakin pada angka PDBI. Katanya, uang orang Indonesia yang parkir di Singapura minimum US$ 10-15 miliar, atau sekitar Rp 92-138 triliun. "Saya berani mengatakan minimum segitu. Maksimalnya saya tidak tahu, tapi tak sampai US$ 76 miliar," katanya. Menurut Hong, beberapa private banker mengatakan, sebelum krisis, satu orang kaya Indonesia mempunyai simpanan minimal US$ 25-50 juta atau sekitar Rp 225-450 miliar di sana.

Dengan duit sebanyak itu, yang bisa menguap jika perjanjian ekstradisi diteken, sangat berat bagi Singapura memenuhi permintaan Indonesia. "Mereka pasti tak mau membuat perjanjian ekstradisi," katanya. Bahkan, kata Kwik mengutip bankir-bankir Singapura, mereka berani menyimpulkan bahwa sesungguhnya Singapura hidup dari Indonesia.

Karena itulah, pemerintah harus berusaha keras agar perjanjian ekstradisi itu bisa diteken sesegera mungkin. Paling tidak, kata Hong, perjanjian ekstradisi akan menutup satu lubang pelarian. Perjanjian itu juga diyakininya bisa mengurangi tindak kriminal ekonomi yang belakangan gejalanya meningkat karena pelakunya bisa lari ke Singapura dan menikmati hasil kejahatannya dengan tenang dan nyaman. "Saya tidak yakin dampaknya pada pemulihan akan besar, karena mereka toh bisa memindahkan uangnya dengan cepat jika perjanjian diteken," kata Hong.

Berbeda dengan Hong, ekonom Martin Panggabean yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik dan korupsi berkurang karena "surga" mereka diganyang habis. Repotnya, Indonesia sudah keburu meneken perjanjian penjaminan investasi yang memberi jaminan perlindungan investasi yang khusus kepada pengusaha Singapura di Indonesia. "Jika nanti kita gagal mendapatkan perjanjian ekstradisi, Indonesia akan kecolongan lagi," katanya.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus