MEREKA muncul di Masjid Istiqlal. Jamaah, pada ibadat Jumat 13
Februari itu, tersentak melihat "jubah-jubah Khomeini". Mereka
merubung dan bersalaman sebentar sehabis salat -- meski tak ada
pidato singkat, seperti yang sering terjadi bila ada tamu asing
yang penting mampir sembahyang.
Namun bahwa mereka salat bersama -- dan para Syi'ah itu
bermakmum di belakang imam yang Sunni -- barangkali juga
menambah pengetahuan. Seorang ayatullah, bernama Abolghasem
Khaz'ali, seorang pendampingnya (M. Bagher Ansari, empat orang
anggota Pasdaran alias Pengawal Revolusi dan seorang yang
disebut sebagai fotografer, yang selama ini dari jauh
terdengar galak dan seram, sempat-sempatnya menampakkan diri di
masjid terbesar itu. Tentu ada maksudnya.
Mereka mau ketemu tokoh-tokoh Majelis Ulama -- di kantor MUI,
sehabis salat. Di sini ada K.H. Hasan Basri, H. Soedirman, K.H.
Syukri Ghazali, misalnya --kecuali Prof. Hamka. Buya
diberitahukan sedang sakit. Dan ini adalah pertemuan setelah
penundaan dua kali, entah kenapa.
Imam Mahdi
Mereka juga bertemu dengan PB Nahdlatul 'Ulama. Dengan PP
Muhammadiyah. Juga diterima Wapres Adam Malik. Ke Departemen
Luar Negeri, dan ke DPR serta Komisi I-nya. Datang 7 Februari,
atas inisiatif sendiri, baru tiga hari kemudian mereka memulai
acara.
"Kedatangan kami ke Indonesia," kata Ayatullah pada konperensi
pers, "untuk menjelaskan posisi dan politik luar negeri Iran,
kepada para penguasa dan rakyat Indonesia." Bukan untuk
mengekspor revolusi? "Tidak." jawabnya kepada TEMPO, sehabis
acara. "Juga tidak untuk menyebarkan Syi'ah," diteruskannya
sendiri.
Sebab masalah "penyiaran Syi'ah", atau lebih-lebih "ekspor
revolusi", memang salah satu hal yang terdengar dari -- atau
tentang -- Iran. Tentu, negeri itu sedang terlalu repot memakai
revolusinya sendiri buat menghadapi Irak untuk bisa
mengekspornya ke luar. Dan dalam rangka perang itulah tentu
mereka mengirimkan 18 delegasi ke mana-mana: Jepang, Malaysia,
RRC, bahkan Rusia. Dalam konperensi pers itu pun, pencarian
dukungan dalam menghadapi Irak ditonjolkan.
Juga dalam pertemuan dengan kalangan NU maupun Muhammadiyah --
sambil selalu mengemukakan landasan agama untuk mengafirkan
Saddam Husein Sambutan kedua kalangan itu memang, seperti juga
sambutan Wapres, lebih bersifat keprihatinan terhadap "perang
sesama saudara", di samping menampakkan simpati.
Toh setidaknya para tamu itu ingin menghilangkan "prasangka
timbal-balik". Di Majelis Ulama mereka bicara tentang Imam Mahdi
-- satu isu tentang pidato Khomeini yang pernah ditanggapi
antara lain Buya Hamka. Mereka menghimbau agar dijelaskan kepada
umat Islam di sini, bahwa menurut mereka, "Mahdi tidak lebih
besar dari Muhammad Rasulullah. Dan Imam Khomeini tidak pernah
mengatakan begitu." Sang ayatullah hampir satu jam berpidato di
situ, dalam bahasa Arab yang baik, dan selebihnya tinggal
tanya-jawab dan ramah-tamah.
Suasana memang lebih merupakan sebuah pertemuan dengan tamu --
daripada dengan saudara kandung. Hubungan dengan
saudara-saudara di Iran bagi kaum muslimin umumnya -- memang
seakan baru akan dimulai. Juga tidak selalu mudah agaknya
menebak perasaan apa yang berkecamuk di hati mereka -- muslimin
dari sayap lain -- sesudah menang revolusi. Di tempat kediaman
Kuasa Usaha misalnya, menjelang konperensi pers -- di hari
ulangtahun, ke-2 revolusi Iran itu -- orang sibuk memasang
ratusan foto Khomeini dan lain-lainnya dalam pajangan kain putih
lima meter.
Dan dalam wawancara khusus untuk TEMPO, suasana revolusioner
pun tersirat samar-samar -- dari wajah sang ayatullah yang
anggota Dewan Pengawal Konstitusi itu. Berikut ini petikan:
Mengapa Saddam Husein dianggap kafir?
Ia diilhami oleh Michael Aflak (pendiri Partai Baath), dan Baath
sendiri tidak percaya apa pun. Mereka melakukan agresi kepada
negeri muslim dan menimbulkan kesengsaraan, dan agresi adalah
haram. Mereka tidak hanya membunuhi rakyat Iran, tapi juga orang
Irak sendiri. Mereka membunuh Ayatullah Sayid Muhammad Baqir
Sadr dan saudara perempuannya Ayatullah Hakim Iraqi, dalam
khotbahnya, juga menyatakan Baath kafir.
Bagaimana tentang yang kami dengar, bahwa Imam Khomeini melarang
semua jenis musik kecuali lagu mars dan semacamnya?
Itu dusta, Musik yang diisi dengan "korupsi dan kelakuan buruk",
memang haram. Tapi ada jenis-jenis musik baru, tentang revolusi
atau syair-syair Prof. Mutahari, yang tidak dilarang. Dewasa ini
sedang tumbuh ciptaan-ciptaan baru. Juga di bidang film.
Barangkali bisa dipercaya -- meski belum bisa ditebak bagaimana
benar jadinya. Toh pikiran orang di Iran, seperti juga di mana
pun, tak pernah seragam. Dan pemimpin rombongan ini tentulah
telah mewakili Iran menurut penangkapannya. Berwajah runcing
dan kurus, Ayatullah Abolghasem Khaz'ali lugu dan hati-hati. Ia
lebih kelihatan seperti seorang ulama yang biasa dan cerdas
daripada seorang politikus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini