Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah Misi Dari Qum

Kedatangan delegasi iran di indonesia, dipimpin oleh ayatullah abolghasem khaz'ali. mereka bermaksud mencari dukungan dalam menghadapi irak. mereka menjelaskan tentang imam mahdi.

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA muncul di Masjid Istiqlal. Jamaah, pada ibadat Jumat 13 Februari itu, tersentak melihat "jubah-jubah Khomeini". Mereka merubung dan bersalaman sebentar sehabis salat -- meski tak ada pidato singkat, seperti yang sering terjadi bila ada tamu asing yang penting mampir sembahyang. Namun bahwa mereka salat bersama -- dan para Syi'ah itu bermakmum di belakang imam yang Sunni -- barangkali juga menambah pengetahuan. Seorang ayatullah, bernama Abolghasem Khaz'ali, seorang pendampingnya (M. Bagher Ansari, empat orang anggota Pasdaran alias Pengawal Revolusi dan seorang yang disebut sebagai fotografer, yang selama ini dari jauh terdengar galak dan seram, sempat-sempatnya menampakkan diri di masjid terbesar itu. Tentu ada maksudnya. Mereka mau ketemu tokoh-tokoh Majelis Ulama -- di kantor MUI, sehabis salat. Di sini ada K.H. Hasan Basri, H. Soedirman, K.H. Syukri Ghazali, misalnya --kecuali Prof. Hamka. Buya diberitahukan sedang sakit. Dan ini adalah pertemuan setelah penundaan dua kali, entah kenapa. Imam Mahdi Mereka juga bertemu dengan PB Nahdlatul 'Ulama. Dengan PP Muhammadiyah. Juga diterima Wapres Adam Malik. Ke Departemen Luar Negeri, dan ke DPR serta Komisi I-nya. Datang 7 Februari, atas inisiatif sendiri, baru tiga hari kemudian mereka memulai acara. "Kedatangan kami ke Indonesia," kata Ayatullah pada konperensi pers, "untuk menjelaskan posisi dan politik luar negeri Iran, kepada para penguasa dan rakyat Indonesia." Bukan untuk mengekspor revolusi? "Tidak." jawabnya kepada TEMPO, sehabis acara. "Juga tidak untuk menyebarkan Syi'ah," diteruskannya sendiri. Sebab masalah "penyiaran Syi'ah", atau lebih-lebih "ekspor revolusi", memang salah satu hal yang terdengar dari -- atau tentang -- Iran. Tentu, negeri itu sedang terlalu repot memakai revolusinya sendiri buat menghadapi Irak untuk bisa mengekspornya ke luar. Dan dalam rangka perang itulah tentu mereka mengirimkan 18 delegasi ke mana-mana: Jepang, Malaysia, RRC, bahkan Rusia. Dalam konperensi pers itu pun, pencarian dukungan dalam menghadapi Irak ditonjolkan. Juga dalam pertemuan dengan kalangan NU maupun Muhammadiyah -- sambil selalu mengemukakan landasan agama untuk mengafirkan Saddam Husein Sambutan kedua kalangan itu memang, seperti juga sambutan Wapres, lebih bersifat keprihatinan terhadap "perang sesama saudara", di samping menampakkan simpati. Toh setidaknya para tamu itu ingin menghilangkan "prasangka timbal-balik". Di Majelis Ulama mereka bicara tentang Imam Mahdi -- satu isu tentang pidato Khomeini yang pernah ditanggapi antara lain Buya Hamka. Mereka menghimbau agar dijelaskan kepada umat Islam di sini, bahwa menurut mereka, "Mahdi tidak lebih besar dari Muhammad Rasulullah. Dan Imam Khomeini tidak pernah mengatakan begitu." Sang ayatullah hampir satu jam berpidato di situ, dalam bahasa Arab yang baik, dan selebihnya tinggal tanya-jawab dan ramah-tamah. Suasana memang lebih merupakan sebuah pertemuan dengan tamu -- daripada dengan saudara kandung. Hubungan dengan saudara-saudara di Iran bagi kaum muslimin umumnya -- memang seakan baru akan dimulai. Juga tidak selalu mudah agaknya menebak perasaan apa yang berkecamuk di hati mereka -- muslimin dari sayap lain -- sesudah menang revolusi. Di tempat kediaman Kuasa Usaha misalnya, menjelang konperensi pers -- di hari ulangtahun, ke-2 revolusi Iran itu -- orang sibuk memasang ratusan foto Khomeini dan lain-lainnya dalam pajangan kain putih lima meter. Dan dalam wawancara khusus untuk TEMPO, suasana revolusioner pun tersirat samar-samar -- dari wajah sang ayatullah yang anggota Dewan Pengawal Konstitusi itu. Berikut ini petikan: Mengapa Saddam Husein dianggap kafir? Ia diilhami oleh Michael Aflak (pendiri Partai Baath), dan Baath sendiri tidak percaya apa pun. Mereka melakukan agresi kepada negeri muslim dan menimbulkan kesengsaraan, dan agresi adalah haram. Mereka tidak hanya membunuhi rakyat Iran, tapi juga orang Irak sendiri. Mereka membunuh Ayatullah Sayid Muhammad Baqir Sadr dan saudara perempuannya Ayatullah Hakim Iraqi, dalam khotbahnya, juga menyatakan Baath kafir. Bagaimana tentang yang kami dengar, bahwa Imam Khomeini melarang semua jenis musik kecuali lagu mars dan semacamnya? Itu dusta, Musik yang diisi dengan "korupsi dan kelakuan buruk", memang haram. Tapi ada jenis-jenis musik baru, tentang revolusi atau syair-syair Prof. Mutahari, yang tidak dilarang. Dewasa ini sedang tumbuh ciptaan-ciptaan baru. Juga di bidang film. Barangkali bisa dipercaya -- meski belum bisa ditebak bagaimana benar jadinya. Toh pikiran orang di Iran, seperti juga di mana pun, tak pernah seragam. Dan pemimpin rombongan ini tentulah telah mewakili Iran menurut penangkapannya. Berwajah runcing dan kurus, Ayatullah Abolghasem Khaz'ali lugu dan hati-hati. Ia lebih kelihatan seperti seorang ulama yang biasa dan cerdas daripada seorang politikus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus