Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDIRI sejak 69 tahun lalu, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) tercatat sebagai satu-satunya wadah profesi juru pengadil secara nasional. Jumlah hakim di Tanah Air saat ini sekitar 8.000 orang. Ikahi merupakan organisasi stelsel pasif yang berarti semua hakim lembaga peradilan, dari peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, hingga peradilan agama, otomatis tercatat sebagai anggota.
Pendirian Ikahi berawal dari kegelisahan sejumlah hakim yang merasa posisi mereka lemah karena tidak memiliki organisasi untuk saling menguatkan. Pada 1951, Sutadji dan Soebijono, ketua dan hakim di Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, berinisiatif membentuk organisasi ikatan hakim di Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya. “Tampaknya gagasan tersebut disambut oleh hakim di daerah lain,” ujar pengamat hukum sekaligus mantan hakim, Asep Iwan Iriawan, Jumat, 25 November lalu.
Pada September 1952, para hakim di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mengadakan musyawarah di Surabaya. Mereka bersepakat membentuk organisasi para “wakil Tuhan” yang bersifat nasional. Mereka juga memberikan mandat kepada seorang hakim, yaitu Soerjadi, untuk menyusun kepengurusan serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Ikahi resmi berdiri pada 20 Maret 1953. Saat itu keanggotaan Ikahi baru meliputi hakim di pengadilan umum. Dua belas tahun kemudian, pada kongres ketiga Ikahi pada April 1965 muncul desakan dari anggota supaya dibentuk kode etik hakim dan setiap pengadilan tinggi membentuk dewan kode etik untuk menjaga harkat dan martabat hakim. “Itu merupakan kebutuhan. Setiap organisasi profesi mesti punya kode etik profesi. Saat itu kode etik profesi hakim belum ada,” ucap Asep.
Sejak musyawarah nasional pada 1998, anggota Ikahi bertambah meliputi hakim peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan pengadilan agama. Belakangan, hakim pengadilan militer, hakim agung, serta hakim yang bertugas di Mahkamah Agung ikut bergabung.
Organisasi ini berdiri untuk menjadi wadah para hakim guna menyampaikan sikap dan kritik terhadap lembaga peradilan. Di sisi lain, Ikahi menjadi lembaga profesi yang menjaga integritas para hakim. “Sebelumnya para hakim tidak memiliki saluran yang cukup untuk bersuara, apalagi menyampaikan kritik,” tutur Asep.
Ikahi juga kerap bermasalah dengan pihak luar. Pada 2004, sempat beredar kabar bahwa lembaga ini mengutip uang dari para anggotanya untuk mengegolkan pembahasan Undang-Undang Mahkamah Agung di Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang tersebut salah satunya berisi ihwal perpanjangan usia pensiun hakim agung. Namun isu ini dibantah oleh Sekretaris Jenderal Ikahi saat itu, Wildan Suyuti.
Pada 27 Februari 2007, Ikahi melaporkan anggota Komisi Hukum DPR, Benny K. Harman, ke Badan Kehormatan DPR. Pangkal soalnya, Benny menyampaikan banyak maling di Mahkamah Agung saat menggelar rapat dengar pendapat dengan para hakim agung. “Kami sedang memperbaiki diri, tapi tolong jangan dihujat terus-menerus,” kata Ketua Ikahi saat itu, Djoko Sarwoko.
Ikahi juga kerap berkonfrontasi dengan Komisi Yudisial. Misalnya, pada 2015, mereka mengutus saksi ahli ke sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi yang tengah membahas peran Komisi Yudisial. Saksi ahli dari Ikahi ketika itu, M. Laica Marzuki, menolak mentah-mentah peran Komisi Yudisial dalam seleksi hakim. “KY bukan pelaku kekuasaan kehakiman,” ujarnya saat itu.
Aktivitas anggota Ikahi di luar meja hijau juga kerap disorot. Salah satunya pertandingan tenis tahunan yang berada di bawah naungan Persatuan Tenis Warga Pengadilan. Komisi Yudisial pernah menuding pertandingan tersebut menjadi ajang pungutan Rp 150 juta pada 2018. Pernyataan ini berbuntut panjang. Puluhan hakim melaporkan juru bicara Komisi Yudisial ke polisi.
Ketua Umum Ikahi Yasardin mengakui lembaganya tengah menghadapi banyak tantangan. Saat ini citra Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lain tengah terpuruk setelah dua hakim agung ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. “Program kami ke depan adalah meningkatkan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan,” tuturnya.
RIKY FERDIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo