Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksan Tinggi atau Kejati Bali resmi menetapkan Bendesa Adat Berawa berinisial KR sebagai tersangka pemerasan terhadap investor yang ingin memperoleh rekomendasi darinya. Sebagai Bendesa Adat, KR dinilai telah menyelewengkan wewenangnya memberi rekomendasi izin, tapi turut minta duit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Memanfaatkan wewenang. KR secara aktif meminta sejumlah uang,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana, saat dihubungi pada Jumat, 3 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejati menjerat KR dengan Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, satu pengusaha dan dua koleganya hanya diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini.
Bendesa Adat merupakan sosok yang krusial karena menjadi penentu lolosnya sebuah izin investasi di kawasan desa wisata dan adat. Dalam proses perizinan, Putu Agus menyebut calon investor mesti mendapat rekomendasi dari Bendesa Adat setempat agar bisa menjalankan kegiatan investasi, seperti mendirikan villa, hotel, dan jenis kegiatan lain. Rekomendasi ini nantinya menjadi modal bagi investor untuk mengajukan perizinan ke pemerintah daerah, notaris, mengurus Amdal, dan persyaratan lain.
Dalam kasus ini, Putu Agus menyebut KR meminta uang pelicin sebesar Rp 10 miliar kepada AN agar rekomendasi itu keluar. AN diduga dua kali menyerahkan uang kepada KR. Pertama uang sebesar Rp 50 juta, kedua sebesar Rp 100 juta,
Tanpa rekomendasi dari Bendesa Adat, pemerintah daerah tak bisa memproses perizinan kegiatan investasi di Pulau Dewata itu. “Di sini krusialnya. Setiap desa menjadi kewenangannya (Bendesa Adat),” kata dia.
Selain itu, Putu Agus menyebut posisi Bendesa Adat sebenarnya setara dengan kepala desa. Hanya saja, Bendesa Adat merupakan sosok yang dituakan dan dipercaya masyarakat setempat untuk mengurusi hak dan kewajiban adat, sedangkan kepala desa hanya mengurusi desa secara formal kenegaraan. Namun, kedua jabatan itu sama-sama mendapat tunjangan dan gaji dari pemerintah provinsi Bali.
Putu Agus menyebut praktik lancung dengan mengakali perizinan seperti ini bisa merusak desa adat dan iklim investasi di Bali. “Setiap desa itu ada daerah suci yang harus dijaga. Kejaksaan ingin menjaga itu supaya tetap memiliki muruah, apalagi kalau investasi di sebelah daerah yang suci,” kata dia. Putu Agus menyebut Kejati Bali akan terus mengembangkan kasus ini.
Sebelumnya, Kejati Bali menangkap KR bersama seorang pengusaha berinisial AN dan dua koleganya saat bertransaksi di Resto Casa Eatery, Jalan Raya Puputan, Renon-Denpasar Timur, Bali. Operasi Tangkap Tangan itu juga menyita barang bukti berupa kantong berwarna kuning berisi amplop dengan uang Rp 100 juta di dalamnya, mobil Toyota Fortuner, dan dua buah ponsel.