Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIA itu melayang dari atas Jembatan Semanggi, Jakarta Pusat, pada 21.00, medio Desember lalu. Batman? Ternyata bukan. Tubuhnya malah terempas ke tanah, lalu berguling masuk got. Para pengemudi kendaraan, yang terjebak macet, tak terlalu menghiraukan. Justru beberapa polisi yang datang menghampiri, lalu memapah sang pria. Kedua kakinya patah.
Namanya Anihu Darlington Onyedidi. Tinggi tegap, berkulit legam, rambut keriting. Datang dari nun jauh di sana: Nigeria. Hari itu dia terjaring dalam razia orang Afrika yang dilakukan Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan Kantor Imigrasi DKI Jakarta.
Razia ini bersandi Paniki—dari bahasa Minahasa, artinya kalong hitam—dan direncanakan berlangsung setahun, dari Desember 2006 hingga Desember 2007. Anihu terjaring bersama enam temannya selagi bersantap di sebuah restoran di Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Karena tak dapat menunjukkan identitas, mereka dibawa ke Polda. Anihu berupaya kabur ketika mobil polisi terjebak macet di Jembatan Semanggi.
Kini Anihu dirawat di Cimande. Bia-yanya ditanggung Abdul Fatah, Manajer Hotel Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat Anihu menginap. ”Saya tekor jadinya,” katanya. Sejauh ini polisi belum menemukan bukti perkara kriminal pada Anihu.
OPERASI Paniki, yang dipimpin Komisaris Besar Polisi Siswandi, berkekuatan 200 polisi. Program ini bertujuan menekan angka kejahatan narkoba. Pendatang Afrika menjadi sasaran lantaran kerap terkait peredaran narkoba. ”Jadi, operasi ini untuk memutus mata rantai jaringan mereka,” kata Brigadir Jenderal Indradi Thanos, Direktur IV/Narkoba Polri.
Warga Afro ini mulai bermunculan sejak awal 1990. Abdul Fatah bercerita, hotelnya mulai ramai dengan warga Afro pada 1992. ”Semula mereka berbisnis pakaian,” katanya. Pada 1995, mereka mulai masuk permukiman. ”Ada yang menjadi tetangga saya,” kata Aria Baja dari Jatibaru, Petamburan, Jakar-ta Pusat. ”Mereka sangat tertutup dan tak bersahabat.”
Belakangan, Abdul Fatah berkali-kali berurusan dengan polisi karena tamunya yang berkulit gelap itu berbisnis narkoba. Ciri golongan Afro yang terlibat kriminal ini, menurut Abdul Fatah, mereka suka keluyuran pada malam hari.
Mereka tak hanya terkait perkara narkoba. ”Juga penipuan dan pemalsuan dolar,” katanya. Bahkan ada yang menjadi perampok bersenjata api. Itulah sebabnya beberapa permukiman yang bertetangga dengan Tanah Abang sering digerebek polisi.
Dalam perkara narkoba, jejak mereka mulai tercium pada 1996. Setahun kemudian, polisi menggagalkan aksi Limbane Cosmo, warga Afrika Selatan yang menyelundupkan setengah kilogram he-roin—disimpan dalam perutnya—me-lalui Bandara Soekarno-Hatta.
Sejak itu terbongkarlah: beberapa warga Afrika yang masuk ke Indonesia adalah distributor narkoba internasional. Mereka termasuk jaringan kokain Karachi-Kathmandu-Bangkok. Mereka juga punya akses dengan Frankfurt, Jerman, dan negeri-negeri Amerika Latin.
Setelah merekam jejak, polisi melakukan berbagai penangkapan. Dari 2000 hingga 2006, polisi membekuk 151 warga Afro yang terlibat narkoba. Sebagian telah diganjar hukuman mati, di antaranya 10 orang di Penjara Tangerang, Banten.
Ada dua cara yang mereka gunakan dalam memasarkan narkoba di Indonesia. Pertama, berinteraksi langsung dengan konsumennya; dan kedua, memakai tenaga lokal sebagai ujung tombak. Dalam modus kedua ini, biasanya mereka memanfaatkan wanita.
Kiatnya bisa dimulai dengan memacari, bahkan mengawini, perempuan Indonesia, lalu menyuruhnya mendistribusikan narkoba. Salah satu contohnya adalah Edith Yunita Sianturi, yang menjadi kekasih Adam Wilson, warga Malawi.
Adam memanfaatkan Edith menjemput narkoba ke Bangkok. Perempuan itu tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta dengan satu kilogram heroin, pada April 2001. Sebulan kemudian, polisi membekuk Adam di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Tangerang mengganjar pasangan ini hukuman mati.
Tak sedikit pula perempuan Indonesia—yang disebut jablay, kekasih orang Afrika ini—tertangkap di luar negeri. Sepanjang 1999-2006, 25 jablay tertangkap di berbagai negara karena menyelundupkan kokain dan heroin.
Satu di antaranya adalah Sri Lestari, warga Karanganyar, Jawa Tengah, yang ditangkap karena membawa 10 kilogram kokain di Bandara Rio de Janeiro, Brasil, pada 12 Maret 2006. Kepada penyidik di Brasil, Sri mengaku bekerja atas suruhan John Orkorke alias Obu Chibuzor. Ketika Sri dibekuk polisi Brasil, John justru berleha-leha di Jakarta dan menjalankan bisnis narkobanya.
Pada Oktober 2006, polisi menangkap enam kaki tangannya di Jakarta. Peran John makin terungkap setelah Mabes Polri bekerja sama dengan polisi Kamboja menangkap kaki tangannya, Budiman, warga Indonesia, di Bandara Phnom Penh, Kamboja, pada 5 Desember lalu. Dari Budiman disita 2,5 kilogram kokain.
Ternyata John adalah satu dari enam anggota sindikat kokain dan heroin kelas kakap yang berkiprah di Jakarta. Semuanya pendatang dari Afrika. Akhirnya, polisi mengetahui John bersembunyi di Cidodol, Jakarta Selatan.
John tergaruk Operasi ”Paniki” di Kompleks Hankam Cidodol, pertengahan Desember lalu. Dari tangannya disita 3,4 kilogram heroin. Bersama John, ada 50 Afro lainnya yang digaruk polisi. Namun yang terlibat narkoba hanya empat orang, termasuk John. Sebanyak 32 orang diserahkan ke Imigrasi karena tak dilengkapi dokumen. Lainnya harus dilepas karena belum ada bukti bersalah.
DI tengah terik matahari, Rabu pekan lalu, sejumlah pria Afro berseliweran di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Selain memiliki perbedaan kulit yang mencolok, mereka juga berdandan ”menantang”. Gelang dan kalung emas berkilau membelit lengan dan leher.
Mereka juga terlihat runtang-runtung di beberapa permukiman seperti di Kebon Kacang dan Kampung Bali. Di Jakarta, menurut data BNN, ada sekitar 3.000 warga Afro.
Pada Kamis malam pekan lalu, warga Afro masih tampak memenuhi beberapa kafe di kawasan Jalan Jaksa dan di pojok Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Sejumlah perempuan lokal ikut nimbrung bersama mereka. Mereka tak terpengaruh oleh Operasi Paniki.
Adapun di gedung BNN di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Brigadir Jenderal Indradi Thanos sedang merancang Operasi ”Kalong Hitam” berikutnya. Masih ada lima gembong narkoba Afro yang berkeliaran di Jakarta. ”Aksi mereka harus segera dihentikan,” katanya.
Nurlis E. Meuko dan Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo