Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Kebijakan Poligami

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amarzan Loebis

SEBELUM gempa Mandailing-Natal dan banjir Aceh, ada dua isu hangat menjelang tutup tahun 2006: bebasnya Pollycarpus dan maraknya poligami. Mengenai yang pertama, sebaiknyalah kita mencoba percaya janji Jenderal Sutanto bahwa polisi tidak akan berhenti menyelidiki kasus pembunuhan Munir, dua tahun lalu itu. Mudah-mudahan. Akan halnya yang kedua, nah, banyak hal bisa dikaji.

Seperti dalam pelbagai perkara simpang-siur kebahasaan, mengenai urusan beristri lebih dari satu orang-dalam waktu bersamaan-ini pun kita ternyata tak kalah kisruh. "Poligami", kalau Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2002) masih layak dijadikan pegangan, tak memihak salah satu jenis kelamin. Maksudnya, poligami adalah "sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan"-tak peduli "pihak" itu lelaki atawa perempuan.

Dalam kebiasaan berbahasa selama ini, poligami selalu dilekatkan kepada perilaku anak-cucu Adam, sedangkan untuk anak-cucu Hawa yang melakukan hal sama, yakni "mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan" digunakan istilah "poliandri". Karena itu, keterangan sederhana yang paling pas adalah yang bisa dibaca, misalnya, pada The Pocket Oxford Dictionary, yang menjelaskan "polygamy" sebagai "More than one wife to a husband (rarely polygyny) or more than one husband to a wife (usu. polyandry)."

Poligami, dengan demikian, tak mengenal jenis kelamin. Poliandri, dalam KBBI, diterangkan sebagai "sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan". Lawannya adalah "poligini", yakni "sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan". Jadi, kalau-sekali lagi-KBBI masih layak dijadikan rujukan, yang dilakukan kiai-kondang-malang-melintang kita kemarin sesungguhnyalah bukan poligami, melainkan poligini.

Poligami, kita tahu, berasal dari bahasa Yunani "polus" (banyak) dan "gamos" (perkawinan). Poliandri berasal dari bahasa yang sama, "polus" dan "aner" (pria), sedangkan poligini berasal dari "polus" dan "gune" (istri). Baik ketika menerangkan "polyandry" maupun "polygyny", kamus Oxford selalu mulai dari "Polygamy in which." Dengan cara ini, tampaknya, kamus itu berusaha meyakinkan pemakainya bahwa "polygamy" sendiri sungguh-sungguh bersifat netral.

KBBI, sebaliknya, tidak melakukan pendekatan seperti itu. Baik ketika menerangkan "poligami", "poliandri", maupun "poligini", KBBI selalu mulai dengan "sistem perkawinan". Pendekat-an ini sebetulnya menarik diperbincangkan. Sebab, kalau pendekatan ini betul-betul dikhidmati, masalah poligami, poliandri, dan poligini akhirnya adalah masalah yang menyangkut "sistem perkawinan", sehingga perilaku para pelaksana sebaiknya dirujuk pada sebuah "sistem" yang merupakan hasil kesepakatan sebuah komunitas, bukan karena tingkah polah yang rada semrawut. Betul, tak?

Menoleh alakadarnya ke negeri jiran, Kamus Dewan, 1991, ternyata tak mengandung lema "poligini". Ketika menerangkan "poligami", kamus itu menulis "amalan (perbuatan) orang lelaki beristeri lebih daripada satu orang". Nah, ada istilah "amalan" di sini, yang dalam kamus itu sendiri diterangkan sebagai: "sesuatu yang dilakukan... sebagai suatu kebiasaan", dan "perbuatan baik, kebajikan". Ketika menerangkan "poliandri", Kamus Dewan tidak lagi berfatwa perihal "amalan", melainkan "sistem orang perempuan bersuami lebih daripada satu orang". Artinya, dalam hal poliandri tidak ada "perbuat-an baik" dan "kebajikan".

Bahasan ini, akhirnya, hanyalah bermaksud mencari nuansa "keberpihakan" ketika sebuah kata, atau istilah, menemukan masa edarnya di sebuah komunitas. Seperti halnya kebiasaan menggunakan istilah "dimadu" kepada seorang perempuan yang suaminya memperdua istri, walaupun istilah yang lebih dekat kepada situasi emosional sang istri pertama sebaiknya adalah "diracun". Juga tak ada maksud untuk mengajak para lelaki memperbanyak "amalan"... "perbuatan baik", apalagi "kebajikan" dalam konteks peristilahan di atas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus