Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETUALANGAN John Okorke alias Obu Chibuzor akhirnya berakhir di ruang tahanan Badan Narkotika Nasional. Pria kekar berkepala gundul itu tak berkutik ketika sejumlah polisi menyergap dan menggarinya pada pertengahan Desember di kawasan Cidodol, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menurut Direktur IV Narkoba Markas Besar Polri, Brigadir Jenderal Indradi Thanos, John, 31 tahun, adalah anggota jaringan narkotik internasional. ”Posisinya cukup tinggi,” ujar Indradi. John alias Ben juga ”bos” dari Sri Lestari alias Sainem, 34 tahun, yang tertangkap di Bandara Rio de Janeiro, Brasil, 12 Maret tahun lalu. Ketika ditangkap, perempuan asal Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, itu membawa 10 kilogram kokain.
Dari tangan John, polisi menemukan 3,4 kilogram heroin. Barang ini, menurut Indradi, biasa ”digandakan” dengan campuran obat sakit kepala. Dengan oplosan model itu, bobot bubuk haram itu ”naik” jadi 34 kilogram. Nilainya ikut melambung mencapai Rp 34 miliar.
Tak banyak yang tahu siapa John. ”Meski berasal dari Nigeria, nama dan identitasnya gelap,” ujar seorang polisi kepada Tempo. Dari sejumlah sumber, John disebut-sebut telah tinggal di Indonesia sejak empat tahun silam. Pada sekitar 2002, ia kerap tinggal di Hotel Tanah Abang Indah, Jakarta Pusat. Menurut manajer itu hotel, Abdul Fatah, John mula-mula berdagang garmen. ”Ia pernah mengusir teman sekamarnya karena orang itu anggota sindikat narkotik,” ujar Fatah.
Pada 2004, bisnis garmen John mulai lesu. Sejak itu kehidupannya tak jelas. Ia mulai keluyuran ke mana-mana. Abdul Fatah memperkirakan, sejak saat itulah John terlibat jaringan narkoba. ”Saya tahu orang kulit hitam mana yang benar-benar punya usaha, dan mana yang pemain narkotik,” ujar Fatah, dengan gaya pakar.
Sebagai ”orang hotel” yang kenal banyak warga Nigeria sejak 1992, Fatah mengaku tahu banyak perihal ”kelompok Nigeria”, termasuk kelompok yang terlibat bisnis narkoba. Menurut Fatah pula, peredaran narkoba kelompok ini banyak didukung kurir wanita asal Indonesia. ”Mereka menyebut kurir ini dengan istilah jablay,” katanya.
Wanita inilah yang menjadi penghubung antara sindikat warga Afrika itu dan para bandar Indonesia. ”Orang kulit hitam sendiri biasanya sulit berhubungan langsung,” Fatah menambahkan. Para jablay ini biasanya sekaligus dipacari sang bos. Mereka sendiri bisa punya pekerjaan macam-macam, misalnya sebagai wanita penghibur, bahkan pegawai perusahaan hingga karyawan bank.
Sebagian jablay juga dimanfaatkan untuk memasukkan narkoba dari luar negeri. Kepada Tempo, Kepala Sub-Bagian Analisa Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri, Ajun Komisaris Besar Dedi Permana Sasmita, menyebutkan beberapa modus yang kerap digunakan sindikat kulit hitam dalam memasukkan narkoba ke Indonesia.
Misalnya, yang disebut testcase. Modus ini menggunakan beberapa kurir dalam satu pesawat. Satu di antara mereka disuruh membawa ”barang” menembus penjagaan bandara. Jika berhasil, yang lain mengikuti. ”Jika gagal, aksi akan dibatalkan,” ujar Dedi. Ada pula modus shotgun alias ”tembakan beruntun”. Sindikat akan membombardir penjagaan bandara dengan memasukkan beberapa kurir sekaligus. ”Modus ini untung-untungan,” kata Dedi.
Lalu ada modus estafet. Di sini paket narkoba dalam koper dikirim lewat beberapa kurir. Satu kurir hanya mengantar hingga bandara tertentu, dan kurir lain meneruskan secara berantai dengan koper yang sama. Ada modus lain yang juga kerap dilakukan: paket narkoba dimasukkan ke bagian lost and found sebagai barang tertinggal. Jika paket tidak ”diutak-atik” petugas, akan ada kurir yang segera mengambil.
Menurut Abdul Fatah, setelah sukses menjual narkoba, biasanya para warga kulit hitam membelanjakan uangnya untuk membeli garmen atau barang elektronik, yang lantas dikirim ke negerinya. ”Namun, ini pun hanya kamuflase,” katanya. ”Biasanya rekanan juga enggan berbisnis dengan kelompok-kelompok ini.”
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo