Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kunjungan Maut Nyonya Tua

Teater Koma merayakan ulang tahunnya yang ke-30 dengan menggelar drama adaptasi Der Besuch der Alten Dame sampai akhir Januari di Taman Ismail Marzuki. Hurah untuk Teater Koma.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah peti mati hitam. Butet Kertaradjasa—memerankan tokoh Ilak Alipredi—terbaring di dalamnya. Satu per satu warga kota menyematkan bunga ku-ning tanda belasungkawa. Lalu kor melantunkan lagu-lagu duka. Tapi lama-kelamaan paduan suara yang sedih itu berubah. Kegembiraan ditampilkan. Lahirlah suasana antara meratapi dan mensyukuri kematian.

Itulah klimaks dari Kunjungan Cinta. Tragis, tapi juga berunsur komedi. Tiga jam lebih Teater Koma mementaskan saduran karya dramawan kelahiran Swiss Friedrich Durrenmatt (wafat 14 Desember 1940): Der Besuch der alten Dame. Sebuah naskah serius. Tapi tetap dimainkan dengan gaya Koma yang banyak warna, bunga-bunga. Riang, penuh satir.

Naskah ini pernah dimainkan oleh Teater Kecil dengan sutradara Arifin C. Noer pada 1991. Aktor utama waktu itu adalah Iman Soleh, dengan peran pembantu Dorman Borisman, Bambang Esa, Amak Baldjun, dan lain-lain. Tapi lain Teater Kecil lain Teater Koma. Saat itu Teater Kecil memilih tak mengadaptasi, sedangkan Riantiarno menyadurnya. Di tangan Nano pementasan menjadi gado-gado. Antara lokal dan Barat.

Pertunjukan bercerita tentang nyonya tua bernama Klara Zakanasian. Ia jutawan, yang telah 45 tahun meninggalkan Kota Goela (aslinya: Gullen). Ia seorang filantropis yang ingin memberikan hibah satu triliun kepada kota yang jatuh miskin sejak tambang emas tak lagi beroperasi itu. Tapi, syaratnya, ia ingin warga kota membunuh bekas pacarnya, si Ilak, yang dahulu menghamilinya kemudian menelantarkan dan membuatnya jadi lonte.

Kota pun geger. Moralitas para tiang masyarakat—hakim, pastor, wali kota, guru, politisi, juru sita—semua diuji. Durrenmatt agaknya, melalui kisah ini, ingin menyodorkan potret kemunafikan para tokoh terhormat—yang relevan di mana saja.

Riantiarno menata set dengan begitu ”super-realis”. Begitu masuk, penonton dihadapkan pada pemandangan yang betul-betul seperti asli. Di sebelah kanan panggung ada bangunan mewah, lengkap dengan balkon dan pilar-pilarnya. Itulah Hotel Komodo Platina, tempat Nyonya Klara menginap. Dan di sebelah kiri rumah kayu bertingkat, toko kelontong milik Ilak. Di belakang tampak deretan WC, dengan tembok luarnya dilapisi batu-batu kreweng.

”Wah, WC itu tetap seperti dulu,” kata Ratna Riantiarno, yang memerankan Klara—begitu tiba di stasiun, dan kemudian ”jalan-jalan” di Kota Gula.

Untuk keperluan set ini tampak kru Koma bekerja keras. Penonton dapat menyaksikan betapa isi toko kelontong Ilak begitu komplet. Mulai dari barang ”berat” semacam tong minyak, tong susu, perangkat pertanian, sampai mesin kasir dan botol minuman ada di sana. Para kru Koma mencari benda berbau era 1930-1970 itu ke berbagai pelosok. Misalnya ke pasar barang antik di Jalan Surabaya atau ke daerah Pengalengan untuk mendapatkan kaleng susu kuno. Untuk memuat segala properti ini Teater Koma sampai membutuhkan 40 truk dan menata set panggung di Graha Bakti Budaya selama tiga hari.

Berperan sebagai lelaki yang pernah terlibat asmara dengan Klara tapi kemudian menjadi target pembunuhan, Butet lumayan berhasil keluar dari peran stereotipnya selama ini. Riantiarno berhasil memaksanya agar taat naskah. Tak satu kalimat improvisasi pun keluar darinya. Bahkan ketika Butet mengatakan ”bir plethok”, saat adegan minum, ternyata itu ada di naskah Nano untuk mengganti sebuah nama bir lokal Jerman murahan di naskah aslinya.

Duet Butet-Ratna cukup menarik, terutama ketika pembicaraan tentang kaki palsu Klara—sembari Ratna mengisap dan mengembuskan asap cerutu, juga stamina Budi Ros yang memerankan tokoh Wali Kota (dengan cambang lebat) harus diacungi jempol. Kekocakan Salim Bungsu menjadi orang buta tak tertandingi. Gerak-geriknya luwes dan komikal. Aktor-aktor senior ini mampu menjadi jangkar bagi aktor muda lainnya. Terutama Doris Pribadi. Suaranya yang berat serak saat mengisahkan kepalsuan pengadilan berhasil mengangkat pertunjukan.

”Adakah dari Saudara-saudara yang ingat siapa saya? Saya adalah bekas hakim,” katanya lantang membuka per-masalahan yang terkubur berpuluh tahun silam. Membuat drama yang tadinya seolah hanya persoalan nostalgia cinta, lalu masuk ke persoalan lain.

Selama pertunjukan, Riantiarno men-demonstrasikan kepiawaiannya melakukan perubahan set. Mengasyikkan melihat bagaimana set dengan ukuran besar berganti cepat. Bagian paling bagus adalah ketika panggung disulap menjadi hall pertemuan warga kota. Panggung tiba-tiba padat, 30-an aktor tumplek, tergelak-gelak, bercakap, menyanyi ber-sama. Inilah roh Teater Koma.

Riantarno kerap memasukkan adegan pantomim untuk ilustrasi peristiwa. Gerombolan pantomim ini menjadi pepohonan, ikut duduk-duduk mendengar perbincangan. Untuk mengakali kejenuhan, Riantiarno juga sering secara mendadak memunculkan iring-iringan peziarah, lengkap dengan barisan tiup. Paling menyenangkan memang melihat arak-arakan ini. Tercermin spirit Riantiarno adalah karnaval. Sesungguhnya ini bisa makin menyegarkan bila adegan tak perlu—seperti suami-suami Klara yang berulah tingkah bak komedi monyet atau rombongan wartawan yang norak.

Babak pertama diakhiri dengan tokoh Ilak yang berusaha mencari perlindungan ke wali kota dan kepala polisi, begitu tahu dirinya menjadi target massa. Adegan Butet pada akhir babak pertama lari menuju ke stasiun membawa koper, kemudian dicegat kerumunan warga, seolah-olah sudah menjadi klimaks keseluruhan pertunjukan. Bila tontonan berhenti di situ pun penonton rasanya telah memahami jalan cerita. Tapi ternyata masih ada babak kedua.

Jeda 20 menit selanjutnya membuat babak kedua bergerak agak lamban. Babak ini dimulai dengan perbincangan antara Ilak, istrinya Mathilda Blumar (Sari Madjid), dan anak-anaknya. Kemudian diteruskan adegan sekeluarga mengendarai mobil-mobilan. Penonton merasa adegan ini begitu melelahkan. Mungkin karena efek klimaks di babak pertama yang masih terasa. ”Kapan sih matinya ’Butet’, lama amat,” celetuk seorang penonton.

Untung, Riantiarno fasih bersiasat ritme. Tiba-tiba muncul di panggung sebuah set. Ada tulisan Teater di atasnya, dengan barisan kursi menghadap ke arahnya. Inilah adegan pertemuan wali kota dengan warga untuk mengadili Ilak Alipredi berbentuk teater dalam teater. Trik-trik begini terasa cocok dengan semangat opera kampung Koma. Di situ warga riuh, bertepuk tangan membela Ilak.

Namun, saat warga pergi, Ilak digiring menuju ke panggung oleh para tokoh kota. Sebuah pembunuhan telah direncanakan demi uang. Ilak tergeletak. Seorang dokter menyatakan ia mati akibat serangan jantung. Tet-tet-tet…, iring-iringan duka datang.

Inilah kisah tentang seorang dermawan yang banyak menyumbang untuk panti asuhan, kantin sosial, dana bencana, balai penitipan anak, janda, tapi suka membeli keadilan. Adakah penonton mampu membaca bahwa drama karya Friedrich Durrenmatt ini cermin dari persoalan kita juga?

Seno Joko Suyono dan Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus