Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
An Inconvenient Truth. The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It Pengarang: Al Gore Penerbit: Bloomsbury (London) Halaman: 329 Halaman
Delapan belas tahun silam, akibat dihantam mobil, Albert Gore III mengalami patah tulang paha dan rusuk serta kerusakan limfa. Kecelakaan yang nyaris menewaskan bocah enam tahun itu menjadi poin penting dalam kehidupan sang ayah: Albert Arnold Gore, 57 tahun.
Pada masa-masa kritis itu, sang anak, bekas wakil presiden dalam pemerintahan Bill Clinton, bersumpah dalam hati: ”Saya akan mendahulukan keluarga dan saya juga akan menjadikan krisis iklim sebagai prioritas utama dalam kehidupan profesional saya.”
Inilah pengantar Al Gore dalam bukunya, An Inconvenient Truth. The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It. Tak jelas apa kaitan langsung kecelakaan itu dengan krisis iklim, namun ia menyatakan betapa pada hari-hari yang penuh guncangan itu, ia merenungkan kembali semua hal dalam hidup, termasuk prioritas-prioritasnya. Ia ”banting setir” memilih lingkungan hidup sebagai bidang profesionalnya.
Maka, pada tahun itu, ia pun meluncurkan buku pertama, Earth in Balance. Menurut Gore, hubungan peradaban manusia dengan bumi telah berubah akibat berbagai faktor—ledakan populasi, revolusi teknologi, dan ketidakpedulian terhadap konsekuensi masa depan dari tindakan kita saat ini.
Bertahun-tahun menekuni isu ini, ia pun menemukan satu fakta: pemanasan global bukan saja eksis, tapi juga menjadi lebih buruk dari tahun ke tahun. Planet bumi saat ini dalam keadaan darurat.
Memang, isu pemanasan global telah menjadi buah mulut pada beberapa tahun ini. Melalui berbagai penelitian, ilmuwan membuktikan temperatur bumi meninggi dan gunung-gunung es mencair di Greenland dan Antartika. Setahun yang lalu, The National Academy of Sciences, Amerika Serikat, bergabung dengan kelompok serupa dari negara lain untuk mendesak pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca.
Laporan utama majalah Time, April tahun lalu, menyatakan ”iklim dunia tengah mengalami kerusakan akibat pemanasan global”. Dalam jajak pendapat yang diadakan majalah itu, 87 persen responden menyatakan pemerintah seharusnya mendukung atau mensyaratkan penurunan emisi. Pada bulan yang sama, sebuah artikel dalam US News and World Report menyatakan, sejumlah penginjil menuntut pemerintah federal menurunkan emisi karbon dioksida dan juga ”sejumlah investor didesak untuk berubah dari komunitas bisnis”. Yang terakhir inilah yang menimbulkan reaksi keras dari kalangan industri yang dituding berperan besar dalam kerusakan iklim.
Hal ini jugalah yang dituntut Al Gore. Bekas kandidat presiden dari Partai Demokrat ini membantu mengorganisasi dengar pendapat di Kongres untuk pertama kalinya tentang pemanasan global.
Ia bukannya tak mendapat perlawanan. Empat belas tahun lalu, dalam kampanye presiden 1992, George Herbert Walker Bush, alias Bush Senior, mengejek Gore sebagai Ozone Man. Saat itu, Gore memang tengah aktif menggumuli bidang perubahan iklim melalui presentasi di sana-sini. Bahan-bahan presentasi itulah yang kini dijadikan sebuah buku—dan kemudian film— berjudul An Inconvenient Truth. Suatu Kebenaran yang Tak Mengenakkan.
Buku ini mengupas bukti-bukti kerusakan lingkungan hidup akibat iklim yang berubah. Ilustrasi foto sebelum dan sesudah, dari suatu kondisi alam, memudahkan pembaca memahami apa yang dimaksud Gore.
Pemanasan global—sama halnya dengan menebang dan membakar hutan serta habitat makhluk hidup lainnya—menyebabkan hilangnya banyak spesies pada tingkat yang sama dengan punahnya dinosaurus 65 juta tahun lalu. Peristiwa besar pada masa purba itu diyakini terjadi karena asteroid raksasa menumbuk bumi. Sedangkan penyebab kepunahan spesies pada masa kini, menurut Gore, terjadi karena kita. Ya, kita, para penghuni bumi yang secara tidak peduli merusak alamnya sendiri.
Gore menulis dalam buku ini, ”Kita melakukan dosa terhadap alam dengan cara melumerkan es di kutub utara dan hampir semua sungai es (gletser) di seluruh dunia. Kita menghancurkan gundukan es raksasa di Greenland dan seluruh permukaan es yang menyangga permukaan pulau-pulau di Antartika Barat. Akibatnya, air laut makin naik dan kini mencapai 6 meter.”
Namun peringatan demi peringatan semacam ini kerap dianggap sepi. Gore mencontohkan, ketika pertama kali pemerintah Amerika diperingatkan bahwa bendungan di New Orleans akan jebol karena Badai Katrina, ancaman ini diabaikan. Bencana akhirnya benar-benar terjadi akibat pemerintah tak hirau pada peringatan dini.
Dalam An Inconvenient Truth ini, Gore tak hanya menuturkan fakta-fakta itu lewat kata-kata, tapi dengan ilustrasi yang secara jelas menggambarkan meningginya level karbon dioksida selama beberapa tahun terakhir. Ia menyebut 2005 sebagai tahun terpanas dalam sejarah Amerika Serikat.
Gore menyajikan foto, misalnya, Gunung Kilimanjaro, Tanzania, seratus tahun yang lalu dan kini. Tampak jelas salju Kilimanjaro yang sangat terkenal itu sedikit demi sedikit menghilang selama beberapa dekade terakhir. Ia mengutip pernyataan Dr. Lonnie Thipson dari Ohio State University yang memprediksi salju Kilimanjaro akan lenyap dalam sepuluh tahun mendatang.
Ada pula foto satelit yang menggambarkan susunan es di Antartika (yang semula diyakini akan bertahan hingga satu abad mendatang) ternyata hancur dalam periode 35 hari saja. Juga foto satelit dulu dan kini di berbagai lokasi, mulai dari Patagonia di Amerika Selatan hingga sejumlah gletser Tschierva di Swiss. Pesan yang sampai sungguh-sungguh tersaji dengan jelas di gambar-gambar itu: es mencair dan bahkan menghilang. Tak mengherankan bila Gore menyebut alam dalam kondisi ”gawat darurat”.
Foto-foto inilah yang membuat buku yang memuat tema serius dan kerap membosankan ini menarik dan mudah dicerna. Ketika pertama kali diluncurkan di Amerika pada pertengahan tahun lalu, buku ini segera masuk daftar buku terlaris New York Times hingga beberapa bulan berikutnya.
Gore secara khusus mengkritik Presiden Bush—yang mengalahkannya dalam pemilihan presiden 2000. Bush dikenal tak percaya pada pemanasan global. Ia bahkan menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Menurut Bush, segenap kerusakan lingkungan yang dikemukakan Gore belum tentu ulah manusia tapi ”bisa disebabkan pengaruh alam”.
Al Gore menyanggah lagi. Ia balik mengecam Bush: ”Pada saat seluruh masyarakat ilmiah dunia punya kesepakatan bahwa manusia bertanggung jawab atas pemanasan global dan Bush malah menyatakan keraguan pribadinya.”
Kini An Inconvenient Truth semakin jadi acuan. Film dengan judul sama juga menuai sukses serupa. Film yang disutradarai Davis Guggenheim ini merupakan tafsir visual dari bahan-bahan presentasi Gore dalam kampanye lingkungan hidup. Ketika pertama kali diputar dalam Sundance Film Festival, Mei 2006 lalu, film yang diproduksi Paramount Classic ini sukses dan menjadi film dokumenter terlaris ketiga di Amerika Serikat.
Gambar bergerak terbukti memberikan efek ilustrasi yang lebih menarik. Beragam peta dan foto satelit yang ”bisu” di buku menjadi ”hidup” dalam film berdurasi 112 menit itu. Foto satelit sebelum dan sesudah dari beberapa lokasi di berbagai sudut dunia—misalnya es yang mencair di Antartika—menjadi ”bernyawa”. Efek dramatisnya sungguh-sungguh terasa.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo