Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Korban Darurat Perang

PT Inaco menuntut pemerintah membayar ganti rugi atas dua kapal mereka yang diambil Angkatan Laut 50 tahun lalu. Pengadilan menyatakan keputusan pailit tak sah.

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada papan nama. Gedung satu lantai di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu sama sekali tak mengesankan kantor perusahaan pelayaran. Di salah satu pintu masuk tertempel tulisan yang menyebutkan di situ ada kursus bahasa Inggris. ”Ini memang kantor PT Inaco,” kata Direktur Indonesian Navigation Coy Ltd., Agus Salim, Kamis pekan lalu.

Perusahaan pelayaran yang didirikan pada 28 Oktober 1950 ini pernah memiliki dua kapal besar yang ”menghubungkan” Indonesia dengan sejumlah negara. Tapi kejayaan perusahaan ini karam setelah dipailitkan dan dua kapalnya diambil alih pemerintah. Pada Jumat dua pekan lalu, perusahaan ini kembali berkirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menuntut pemerintah membayar ganti rugi atas penyitaan kapal mereka.

Kisah ”mencari keadilan” ini bermula pada 1957, tatkala Departemen Perhubungan meminta PT Inaco membayar sewa pelabuhan. Lantaran PT Inaco tak juga melakukan kewajibannya, akhirnya Departemen Perhubungan membawa kasus ini ke pengadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memailitkan Inaco. Balai Perbendaharaan Negara mulai menghitung aset PT Inaco.

Pada saat proses penghitungan aset itulah, menurut Agus Salim, kedua kapal mereka, KM Sawega dan KM Baumasepe, diambil Angkatan Laut. Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muda R. Subijakto, dalam suratnya pada 4 Desember 1957, menyatakan bahwa pengambilalihan itu untuk kepentingan negara, yang saat itu dalam keadaan darurat perang lantaran tengah bertempur merebut Irian Barat.

Pengambilan ini diperkuat lagi oleh Surat Keputusan Presiden pada 14 Januari 1960. Dalam surat yang ditandatangani Presiden Soekarno itu dinyatakan, kapal berbobot 8.000 DWT dan dibeli Inaco dari Hitachi Ship Building & Engineering Co. Ltd. dengan harga masing-masing US$ 5,5 juta itu diambil pemerintah karena Inaco dinyatakan pailit. Penetapan pailit itu membuat semua aset PT Inaco disita, dari gedung, tanah, hingga mobil. Inaco lumpuh.

Kendati demikian, pengelola Inaco, yang sebagian besar aktivis Partai Masyumi, tak tinggal diam. Mereka membawa kasus ini ke meja hijau. Menurut mereka, pemailitan itu tak sah.

Upaya Inaco memang tak sia-sia. Pada 7 Januari 1976, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Inaco dan membatalkan pemailitan itu. ”Salah satu pertimbangan hakim, utang PT Inaco kepada pemerintah hanya Rp 540 ribu. Padahal asetnya lebih dari Rp 17,8 juta,” kata Agus Salim.

Namun putusan pengadilan ini sebenarnya bukan satu-satunya dasar Inaco menuntut ganti rugi. Pada 1960, kata Salim, Angkatan Laut sudah bersedia memberikan ganti rugi. Saat itu Inaco mengajukan ganti rugi Rp 280 juta. ”Ini taksiran dari harga kapal serta pendapatan yang diperoleh kalau kapal beroperasi,” kata Salim. Tapi kesepakatan itu tak berlanjut karena Angkatan Laut menilai harga itu terlalu tinggi. ”Angkatan Laut ketika itu meminta adanya juru taksir.”

Rezim berubah, presiden berganti, Inaco terus menuntut haknya. Semasa Orde Baru, Inaco pernah berkirim surat ke Menteri Kehakiman, meminta pemerintah membayar ganti rugi. Ujungnya sama: belum ada hasil. Usaha sama dilakukan pada masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Selain kepada lembaga kepresidenan dan Departemen Keuangan, PT Inaco juga berkirim surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman Nasional, sampai DPR. Harapannya, lembaga-lembaga ini menekan pemerintah agar menindaklanjuti tuntutan itu.

Kepada Presiden Yudhoyono, Inaco bahkan sudah berkirim surat dua kali. Pertama, pada 30 Januari 2006. Surat kedua dikirim pada 3 Agustus lalu. ”Kami tetap menuntut ganti rugi,” kata Salim. Nilai ganti ruginya tentu tak sama dengan permintaan 37 tahun lalu. ”Dengan menghitung nilai kapal serta biaya investasi plus bunga, kami menuntut Rp 4 triliun,” kata Agus Salim. Angka itu, kata Salim, didapat dari perhitungan yang terperinci. ”Bagian keuangan perusahaannya memperhitungkan nilai kapal, nilai investasi, serta suku bunga sejak pengambilalihan sampai sekarang,” katanya. ”Kalau pemerintah tak bisa bayar penuh, kan bisa nego,” kata dia.

Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution mengaku pernah menerima surat tentang ”dua kapal Inaco” ini. ”Waktu itu sedang dikaji biro hukum,” kata Nasution ketika dikonfirmasi Tempo mengenai surat dari Inaco yang dikirim pada 2005. ”Sekarang saya belum tahu perkembangannya. Mesti saya cek dulu,” kata bekas Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan ini.

Kepala Biro Humas Departemen Keuangan, Samsuar Said, juga menyatakan belum mengetahui klaim PT Inaco ini. Menurut dia, kalau Departemen Keuangan memproses kasus ini, terlebih dahulu akan berembuk dengan Departemen Pertahanan dan Departemen Perhubungan untuk tahu masalah sebenarnya. ”Setelah itu, barulah ke Departemen Keuangan,” katanya. Menurut dia, kalau kapal itu diambil alih dalam masa darurat perang, itu tak ada ganti rugi. ”Keadaan perang itu kan seperti bencana alam, yang masuk kategori force majeur,” kata Samsuar. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, ketika dikonfirmasi Tempo secara terpisah, tak bisa memberikan informasi soal ini. ”Saya belum dengar informasi itu,” kata Juwono.

Pengajar hukum perdata Fakultas Hukum Indonesia, Rosa Agustina Pangaribuan, mengatakan bahwa setiap warga negara yang merasa haknya dilanggar memang bisa mengajukan gugatan hukum untuk meminta ganti rugi. Dalam kasus seperti ini, kata Rosa, PT Inaco harus bisa membuktikan pengambilalihan kapal itu memang tak jelas dasar hukumnya.

Mengenai besar ganti rugi, kata Rosa, sangat relatif. Dalam gugatan perdata, dasar tuntutan ganti rugi haruslah yang nyata. Dalam kasus ini yang dilakukan Inaco sudah benar. Sudah melakukan perhitungan harga kapal, nilai investasi, suku bunga, dan sebagainya. ”Meski kata akhirnya tergantung penilaian hakim,” kata Rosa.

Selain soal dua kapal, setelah dipailitkan pada 1957, PT Inaco juga kehilangan banyak aset. Aset tersebut kini beralih ke tangan orang lain. ”Menuntut pengembalian aset adalah pekerjaan lebih sulit,” kata Agus Salim. Menurut dia, pihaknya juga tak memiliki lagi dokumen lengkap tentang aset Inaco. ”Catatannya tercecer.”

Putusan pailit ini memang membuat Inaco benar-benar bangkrut. Pemilik sahamnya yang dulu puluhan kini juga tinggal 14 orang. Bidang usaha perseroan memang masih seputar perdagangan, jasa, dan transportasi. ”Tapi tugas utama perusahaan sekarang menuntut ganti rugi dua kapal itu,” kata Salim. Pengurus yang lain, selain membuka kursus bahasa Inggris, ada juga yang berjualan alat pelayaran.

Hingga kini Inaco belum berniat melakukan gugatan hukum untuk memaksa pemerintah membayar kerugian mereka. Inaco, kata Agus Salim, menilai pemerintah sudah punya niat memberikan ganti rugi. ”Cuma belum cocok besarnya.” Dia percaya, pemerintah sanggup membayar jumlah yang diklaim Inaco. ”Masak, kalau untuk bayar utang mau bilang tak ada uang. Padahal jumlah uang yang dikorupsi kan banyak,” katanya.

Abdul Manan, Fanny Febriana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus