Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sempadan pantai di Dusun 3, Desa Rugemuk, Kecamatan Pantailabu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dipagari seng setinggi tiga meter. Berjarak sekitar 100-an meter dari garis pantai, panjangnya 800-an meter. Luas lahan yang dikaveling hampir 48 hektar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kawasan bakau yang sudah berubah menjadi ladang dan kebun ini, fungsi utamanya mencegah abrasi, statusnya hutan lindung. Terbukti, di depan pintu masuk kaveling, ada plang yang menyebut daerah tersebut hutan negara. Pemagaran diprotes, warga minta pagar dibongkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Kelompok Tani Tuah bilang, sudah hampir sebulan pagar berdiri. Dirinya bersama warga sempat meminta pagar tidak dipasang, namun pekerja suruhan tidak mengindahkan. Berdasarkan tapal batas yang dibuat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumut, lokasi adalah wilayah hutan lindung. Tuah heran, kenapa pengusaha tambak bisa memagarinya.
"Ada beberapa kolam di situ. Kami tak tahu siapa yang mengerjakan. Kepala desa datang tapi tidak dihiraukan juga. Kalau mau magar harus minta izin dulu, ini tidak..." kata Tuah, Kamis lalu.
Dirinya mengakui, dalam dua tahun belakangan, lahan ditanami pisang, ubi, kacang panjang, macam-macam tanaman palawija oleh warga, termasuk 44 anggota kelompoknya. Tujuannya untuk ketahanan pangan. Tiba-tiba lahan dipagar, tidak bisa lagi memanen.
"Sekarang sudah payah mengutip hasil kebun, lahannya dipagar. Padahal hasilnya membantu ekonomi keluarga. Kami menduga pemagaran ini kerjaan mafia tanah," kata Abdul Rahim.
Kepala Dusun 3, Ilham mengaku tidak mengetahui siapa yang melakukan pemagaran dan pemilik tambak udang di wilayahnya. Katanya, sebelum dipagari, tempat itu dijadikan tambak. Dia menduga pengusaha yang tak dikenalnya ingin kembali membangun usahanya. Dia juga tidak mengetahui apakah pengusaha punya izin atau tidak. Namun dia membenarkan kalau lokasi yang dipagar hutan negara.
"Warga di sini bercocok tanam di lokasi tambak itu. Orang tambak mungkin mau membuka lagi tambaknya, jadi dipagar. Saya dulu pernah diminta mendampingi pihak kehutanan untuk memasang batas," kata Ilham.
Camat Pantailabu M Faisal Nasution mengaku belum menerima laporan soal pemagaran. Informasi yang diterimanya, pagar dibuat seorang pengusaha. Meski berstatus hutan lindung, sang pengusaha tetap membelinya. Selanjutnya dipagari karena mulai ditanami masyarakat.
"Masyarakat mulai menanami, mereka amankan aset dengan memasang pagar," ucapnya
Ditanya apakah mengenal pengusaha tersebut, Faisal menggeleng. Dia juga bilang, belum pernah melihat sertifikat tanah. Cuma tanah sudah dikuasai sejak lama. Saat ini, masyarakat mulai bercocok tanam.
"Tapi tanah itu masuk hutan lindung, luasnya setahu saya 40-an hektar," ujarnya.
Faisal mengatakan, belum bisa memanggil pengusaha karena belum ada laporan dari warga atau pihak Desa Rugemuk. Kalau ada laporan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemprov Sumut untuk mengatasi persoalan dan membongkar pagar. Menurutnya, masalah ini wewenang Dinas Kehutanan Provinsi Sumut.
"Dinas Kehutanan yang punya kewenangan, kalau hutan digunakan, memang tidak berizin. Bisa juga mereka tumbangi,'' katanya lagi.
Pagar dibongkar
Tiga hari kemudian, tepatnya Ahad, 23 Februari 2025, masyarakat bersama DLHK Sumut membongkar pagar. Kepala Dinas LHK Sumut Yuliani Siregar turun langsung dan menegaskan kawasan hutan milik negara, bukan perorangan.
"Alasan pembongkaran yang pertama, ada pengaduan masyarakat. Kedua, itu kawasan hutan lindung, mana ada orang yang bisa memiliki kawasan hutan tanpa izin," katanya.
Yuliani bilang, ada 48 hektar lahan hutan yang dipagari Albert. Pengusaha ini, membeli lahan dari masyarakat pada 1982, mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT) camat dan lurah. Yuliani mengaku heran, harusnya lahan hutan tidak boleh diperjualbelikan.
"Akan diselidiki dari mana dia dapat SK Camat, kami juga panggil nanti si Albert. Kan, kami punya penyelidik. Biar tahu siapa yang mem-back-upnya," ungkapnya.
Pihaknya mendapat informasi bahwa tanah yang diklaim perusahaan telah dimasukkan ke dalam Daftar Tenurial (Datin) sebagai konflik tenurial ke Kementerian LHK. Namun tidak serta merta bisa memagari hutan lindung.
"Nggak bisa ada yang mengklaim kawasan itu miliknya, Datin itu masih pendataan, bukan proses pelepasan, belum tentu dilepas. Saat ini yang masuk Datin ada beberapa perusahaan, tapi belum ada yang dilepas kementerian. Kalau udah dilepas, baru diusahai," kata Yuliani.
Masyarakat juga berhak mengelola hutan lindung dengan mekanisme yang berlaku. Misalnya dengan perhutanan sosial, hutan kemasyarakatan, hutan desa dan lain-lain.
"Ada lima program perhutanan sosial," sebutnya.
Ternyata perusahaan yang memagari sempadan pantai adalah PT Tun Sewindu. Kuasa hukumnya Junirwan Kurnia menjelaskan, kliennya membeli lahan dari masyarakat pada 1982 melalui proses ganti rugi. Pada 1988, kliennya membangun pagar sepanjang 900 meter dengan beton setinggi 40-50 meter, sisanya dari seng.
“Pagar itu sudah lama, kemarin diperbaharui. Kami punya SK camat dan lurah. Izin usaha dari pemerintah daerah. Kenapa dipagar, karena kita tidak tahu bahwa itu kawasan hutan,” kata Junirwan.
Pada 1991, lanjut Junirwan, ada SK Penetapan Kawasan Hutan yang menyatakan sebagian lahan masuk kawasan hutan lindung. Berangkat dari situasi itu, kliennya mengikuti anjuran pemerintah sebagai pihak yang mengalami keterlanjuran, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021. Kemudian mengurus masalah lahan ke Kementerian LHK melalui skema yang dibuat Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 110 A dan 110 B.
Hukum mafia tanah
Sehari pasca-pagar dibongkar, Ketua DPRD Deli Serdang Zakky Shahri bersama Kepala Perwakilan Ombudsman Sumut Herdensi Adnin meninjau lokasi. Keduanya sempat berfoto di depan plang bertulis kawasan hutan negara.
"Kami terima informasi, ini masuk kawasan hutan lindung. Tidak boleh dikuasai atau digarap masyarakat. Kalau ada pelanggaran hukum, kami minta APH menindaklanjuti. Apalagi orang-orang yang menguasai lahan karena sesuai perintah presiden, tanah negara harus segera diambil apabila dikuasai pihak lain," kata Zakky, Senin, 24 Februari 2025.
Disinggung soal izin, menurutnya tidak ada. DPRD Deliserdang akan mendalami lewat Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Jumat, 28 Februari 2025. "Tadi kami tanya penjaga, katanya tidak tahu. Kami rasa untuk izin usaha tidak ada karena tidak mungkin dikeluarkan izin di hutan lindung," ucapnya.
Pihaknya mengapresiasi Polda Sumut memanggil pihak terkait, termasuk camat. Apabila terjadi pelanggaran harus diproses. "Kami minta mafia tanah diproses hukum, baik di tanah hutan atau lahan PTP yang digarap pihak lain. Jika ada warga yang diintimidasi aparat, sampaikan saja karena aparat negara harusnya melindungi masyarakat," sambung Zakky.
Herdensi juga mengapresiasi DLH Sumut dan DPRD Deliserdang. Dia berharap penyelesaian komprehensif, bukan hanya membongkar pagar, secara substantif menyelesaikan masalah. "Kalau memang hutan lindung, ya harus dilindungi. Orang-orang yang tak bertanggungjawab melakukan pengelolaan di sini, saya kira harus ada langkah-langkah hukum untuk menyelesaikannya," katanya.
Kalau ada penggarapan terhadap hutan lindung, tindak pidana yang mesti diterapkan. RDP yang bakal digelar menjadi media pembuka semua masalah. "Apakah benar hanya sekadar surat keterangan desa atas alas hak. Jangan-jangan ada hak milik atau hak guna bangunan. Sekali lagi kami berharap bukan hanya membongkar pagarnya saja, tapi menyelesaikannya," ujar Herdensi.