Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
*) Peneliti di PPIM-IAIN Jakarta
MAJORITARIANISME adalah pandangan dan sikap elite politik yang dibangun atas dasar suara dukungan mayoritas rakyat secara langsung atau tidak langsung. Yang langsung biasa didapat pada sistem presidensialisme--presiden dipilih langsung dalam pemilu dengan suara mayoritas dari rakyat. Yang tidak langsung adalah suara mayoritas rakyat yang diperoleh oleh sebuah partai politik yang kemudian menguasai kursi parlemen, sementara kepala pemerintahan ditentukan oleh kekuatan mayoritas dari partai ini di parlemen. Perdana menteri yang terpilih dari kekuatan mayoritas kursi sebuah partai di parlemen dapat melahirkan perilaku majoritarianistik yang sebenarnya dari kepala pemerintahan (perdana menteri). Baik presiden maupun perdana menteri yang seperti ini punya otonomi untuk menyusun kabinet yang stabil tanpa menghiraukan partai-partai lain. Syarat-syarat elementer pemerintahan majoritarian seperti ini tidak dimiliki oleh Abdurrahman Wahid, tapi ia telah berperilaku seperti seorang kepala pemerintahan dari kekuatan politik mayoritas; seolah-olah seorang presiden dari kemenangan mayoritas langsung dari sebuah pemilu; seolah-olah punya kekuatan suara mayoritas di MPR. Padahal, Abdurrahman hanyalah seorang presiden seolah-olah. Dalam kenyataannya, ia lebih sebagai seorang perdana menteri yang membentuk pemerintahan minoritas akibat dari tidak adanya kekuatan mayoritas mutlak di MPR. Perdana menteri semacam ini tentu harus berperilaku sebagai kepala pemerintahan minoritas. Ini yang luput dari Abdurrahman sehingga ia mendapat gempuran terus-menerus dari DPR, bahkan MPR. Sumber dari kecenderungan Abdurrahman berperilaku majoritarianistik ini sebagian berasal dari kelemahan konstitusi kita, dan sebagian lagi dari persepsi Abdurrahman sendiri atas politik massa. Abdurrahman bersandar pada UUD 1945 untuk membangun sikap politik majoritarianistiknya ini, yakni presiden dipilih oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Dia, dan para penasihat hukum tata negaranya, yakin bahwa sepotong ayat itu cukup ampuh untuk membentengi Abdurrahman hingga 2004 dari gempuran lawan-lawan politiknya. Mereka mengabaikan ayat lain bahwa presiden dapat diberhentikan kalau berhalangan tetap atau melanggar konstitusi dan GBHN. Yang lebih penting adalah pasal yang menyebutkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Juga disebutkan bahwa MPR mengangkat presiden, dan kepadanya presiden bertanggung jawab. Lebih dari itu, MPR dapat mengubah atau bahkan mengganti UUD 1945 itu sendiri. Di samping itu, MPR punya agenda lain, yakni sidang tahunan, yang kerjanya menilai kinerja pemerintah untuk masa setahun. Juga punya sidang istimewa, yang bisa digunakan untuk menjatuhkan presiden seperti diterapkan pada Presiden Sukarno dulu. Kalau Abdurrahman dan pendukungnya selalu menekankan bahwa tuntutan untuk memberhentikannya merupakan tuntutan inkonstitusional, rujukan konstitusional untuk ini tidak solid. Abdurrahman harus belajar dari pengalaman Sukarno, yang menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak mampu menyelamatkannya dari kejaran MPR. Dalam keadaan konstitusi yang lemah seperti itu, politisi yang cerdik tentu tidak bisa mengandalkan alasan konstitusional tersebut. Yang lebih penting adalah membangun kekuatan politik riil untuk mengisi lubang-lubang atau kelemahan dalam konstitusi tersebut sebelum disempurnakan. Kekuatan politik riil yang strategis dalam jangka pendek adalah partai-partai politik utama. Bukan massa, apalagi kalau hanya berjumlah 400 ribu seperti yang disebutkan Abdurrahman itu. Dalam hal massa, Abdurrahman sering berfantasi seolah-olah ia pemimpin politik massa mayoritas. Padahal, kita tahu bahwa kekuatannya hanya sekitar 10 persen seperti yang diperoleh PKB itu. Di awal pemerintahannya, Abdurrahman telah menempuh jalan yang benar menurut kacamata politik riil dan dalam konteks pemerintahan minoritas, yakni mengajak partai-partai besar membangun kabinet. Entah karena apa, kabinet koalisi ini belum berumur setahun sudah dirombak, dan dalam perkembangannya kemudian hampir mengabaikan kekuatan politik riil dari partai. Individu-individu nonpartai kemudian menjadi tulang punggung pemerintahannya. Ini terjadi mungkin karena dia mendengarkan kritik dari para pengamat yang meneriakkan "politik dagang sapi". Padahal, yang namanya politik ya "dagang". Mengingkari ini adalah sikap naif, apalagi dalam konteks politik kita sekarang ini: presiden bergantung pada MPR. Namun, itu bisa juga karena ternyata kabinet tersebut kurang bisa jalan seperti yang diharapkan, atau dianggap kurang profesional. Tapi yang paling masuk akal terutama adalah kepentingan Abdurrahman untuk menjadi seorang presiden yang independen dari kekuatan partai sehingga ia punya kesempatan mengonsolidasikan kekuatannya dan juga klien politiknya guna menghadapi Pemilu 2004 mendatang. Dengan kata lain, ia ingin membangun pemerintahan majoritarian--menjadi seorang kepala pemerintahan yang otonom dan powerful. Dengan begini, logika incumbency dapat dipenuhi, yakni estimasi bahwa kesempatan lebih terbuka untuk kembali berkuasa bagi yang menjabat (pemerintah) dibandingkan dengan yang tidak menjabat atau oposisi. Kekuatan incumbency ini diperoleh terutama dari akses yang lebih terbuka dari yang menjabat atas sumber daya politik, terutama uang serta jaringan organisasi dan massa. Pemerintah adalah kekuatan organisatoris paling besar yang dapat menjangkau massa, apalagi dalam konteks pemerintahan kita, yang pembedaan jabatan politik dan jabatan birokrasinya belum terlembagakan dengan baik. Tapi ketergantungan presiden pada MPR membuat logika ini tidak jalan. Sebelum konstitusi kita disempurnakan, politik elite harus dibangun atas dasar kenyataan bahwa MPR/DPR adalah lembaga yang lebih berkuasa daripada presiden. Dalam keadaan tidak ada partai mayoritas tunggal di MPR, pemerintah yang terbentuk adalah pemerintahan minoritas. Mengabaikan kenyataan ini seperti yang ditunjukkan Abdurrahman sekarang adalah sebuah bunuh diri politik. Sekarang, dalam keadaan terjepit, Abdurrahman mencoba kembali berkoalisi dengan partai-partai utama di parlemen dan membangun pemerintahan minoritas. Tapi saya takut upaya itu sudah terlambat. Dan saya khawatir Megawati sudah telanjur siap untuk menggantikannya. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo