Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUBERNUR DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama siang itu berkali-kali meminta izin ke toilet. Padahal dia sebenarnya tidak sedang kebelet buang air. Itu hanya cara Basuki mengendalikan emosi, setelah berjam-jam dikepung 12 anggota tim audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan.
Senin pekan lalu, Basuki sendirian meladeni pertanyaan pimpinan dan pemeriksa BPK seputar pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat pada 2014. "Kalau mau marah, saya ke toilet saja, daripada jadi masalah lagi," kata Basuki ketika menceritakan lagi kejadian itu, Kamis pekan lalu.
Ada 30-an pertanyaan yang diajukan tim audit investigasi. Sebagian besar seputar administrasi pembelian lahan di Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat, itu.
Yang membuat Basuki hampir meletup antara lain pertanyaan pemeriksa yang mengulang-ulang. "Berkali-kali mereka tanya kenapa harga pembelian oleh DKI lebih mahal," ujar Basuki. "Saya seperti ditempatkan pada posisi bersalah."
Juru bicara BPK, Yudi Ramdan, menyangkal anggapan bahwa tim pemeriksa hari itu menyudutkan Basuki. "Sudah sesuai dengan metodologi. Pemeriksaan yang lainnya pun seperti itu," kata Yudi. Sebelum meminta keterangan Basuki, BPK mengundang bekas Kepala Dinas Kesehatan Dien Emawati, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Heru Budi Hartono, dan Kepala Inspektorat Lasro Marbun.
Badan Pemeriksa Keuangan menggelar audit investigasi atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi akhir Agustus lalu. Pelaksana tugas pemimpin KPK, Indriyanto Seno Adji, mengatakan lembaganya memerlukan hasil audit investigasi untuk melengkapi laporan pemeriksaan keuangan rutin oleh BPK Perwakilan DKI Jakarta.
Laporan hasil pemeriksaan yang keluar pada Juni 2015Â menyebutkan harga pembelian lahan milik Yayasan Sumber Waras oleh pemerintah DKI terlalu mahal sehingga merugikan negara Rp 191 miliar. Tahun lalu, pemerintah DKI membayar lahan itu Rp 20,755 juta per meter atau total Rp 755,689 miliar.
Menurut BPK, negara merugi lantaran lahan yang sama pernah ditawar lebih murah oleh PT Ciputra Karya Utama seharga Rp 564 miliar pada 2013. Perusahaan tersebut hendak menyulap lahan bekas rumah sakit menjadi pusat belanja. Namun pemerintah DKI Jakarta tak mengabulkan permintaan alih fungsi dari lahan fasilitas kesehatan menjadi lahan komersial.
Menurut Indriyanto, audit investigasi akan mendalami ada-tidaknya penyimpangan dalam pembelian lahan Sumber Waras. "Sehingga bisa jadi dasar penyelidikan," ujarnya.
Komisi antikorupsi meminta audit investigasi sebagai tindak lanjut atas laporan dugaan penyelewengan pembelian lahan Sumber Waras. Pada 20 Agustus lalu, Amir Hamzah—yang mengaku pengurus lembaga swadaya masyarakat Budgeting Metropolitan Watch—melaporkan Gubernur Basuki ke KPK. Pria yang hampir saban hari nongkrong di lobi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta ini menjadikan audit BPK sebagai amunisi.
Laporan Amir disokong Panitia Khusus Sumber Waras bentukan DPRD DKI. "Ada beberapa hal yang janggal," kata Wakil Ketua Pansus dari Partai Gerindra, Prabowo Sunirman, ketika melaporkan Basuki ke KPK, Jumat akhir Oktober lalu. Yang dilaporkan Pansus adalah dugaan mahalnya harga pengadaan lahan untuk rumah sakit jantung dan kanker tersebut.
Gubernur Basuki berkukuh menolak jika harga pembelian lahan Sumber Waras disebut terlalu mahal. Penawaran harga oleh PT Ciputra Karya Utama, menurut dia, tak bisa menjadi patokan. Alasannya, perjanjian jual-beli Sumber Waras dengan Ciputra Karya terjadi pada 2013, ketika nilai jual obyek pajak (NJOP) lahan di Jakarta belum naik. Sedangkan pemerintah DKI membeli lahan tersebut pada 2014, ketika NJOP di wilayah DKI sudah naik berlipat.
Menurut Basuki, harga beli oleh Ciputra Karya juga di atas NJOP, meski totalnya masih di bawah harga pembelian pemerintah DKI Jakarta. Sedangkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta membeli persis sama dengan NJOP. "Sudah untung karena Sumber Waras mau jual sesuai dengan NJOP. Apalagi bangunannya diberikan gratis," ujar Basuki.
PERTEMUAN Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta Efdinal dengan tiga pejabat Provinsi DKI pada medio April lalu menjadi pangkal sengkarut lahan Sumber Waras. Seseorang yang mengetahui pertemuan di ruang Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah itu menuturkan, Efdinal datang ke Balai Kota untuk membahas Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan DKI Jakarta 2014 yang akan dirilis pada Juli.
Waktu itu Efdinal ditemui Sekretaris Daerah Saefullah, Kepala Badan Pengelola Keuangan Heru Budi Hartono, dan Kepala Inspektorat Lasro Marbun. Di tengah pembicaraan, Efdinal menendang "bola panas". "Kami menemukan kejanggalan soal pembelian lahan Sumber Waras," kata orang dekat Gubernur Basuki itu menirukan Efdinal.
Efdinal lantas menyodorkan 13 lembar draf pemeriksaan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Konsep laporan tersebut berjudul panjang, "Pengadaan Tanah Sumber Waras Senilai Rp 755,689 Miliar Tidak Sesuai Prosedur sehingga Berindikasi Merugikan Negara Minimal Rp 191,334 Miliar". Menurut Efdinal, draf hasil pemeriksaan itu bisa tidak keluar asalkan pemerintah DKI membeli sebidang lahan di Jakarta Timur.
Lahan yang dimaksud Efdinal adalah tanah seluas 9.618 meter persegi di tengah-tengah Tempat Pemakaman Umum Pondok Kelapa. Mantan Kepala BPK Perwakilan Banten ini memang telah lama cawe-cawe untuk menjual tanah tersebut.
Efdinal pernah menandatangani audit atas pengadaan lahan tersebut. Laporan BPK Perwakilan DKI Jakarta tanggal 30 Desember 2014 menyatakan Dinas Pertamanan dan Pemakaman menyalahi aturan. Badan audit itu menyebutkan Dinas menguruk lahan seluas lapangan bola tersebut tanpa membayar ganti rugi kepada pemilik tanah. Laporan BPK itu pun merekomendasikan pemerintah DKI membeli lahan tersebut sebelum menjadikannya permakaman.
Mencium konflik kepentingan dalam audit tersebut, Indonesia Corruption Watch melaporkan Efdinal ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK pada Rabu tiga pekan lalu. Bukti yang dilampirkan ICW antara lain korespondensi Efdinal dengan Dinas Pertamanan dalam kurun 2005-2012, ketika Efdinal masih anggota staf BPK DKI Jakarta.
Dalam beberapa surat yang salinannya diperoleh Tempo, Efdinal menyatakan telah membeli empat kaveling tanah di sana pada 2005. Kemudian lahan itu ia tawarkan kepada pemerintah DKI Jakarta dengan alasan untuk mendukung rencana perluasan lahan makam. Namun pemerintah DKI selalu menolak dengan alasan sudah membeli tanah tersebut secara sah pada 1979.
Pada pertemuan dengan Efdinal, tiga pejabat Provinsi DKI tadi menolak penawaran dia. Belakangan, Lasro Marbun mencoba meyakinkan Gubernur Basuki untuk menyambut tawaran Efdinal. Menurut orang dekat Basuki, Lasro sampai dua kali menemui Gubernur dan menyorongkan konsep laporan BPK atas Sumber Waras tersebut. Namun Basuki tak menuruti saran bekas Kepala Dinas Pendidikan tersebut. "Keluarkan saja (audit itu), toh DKI benar," ujarnya menirukan Basuki.
Ketika dimintai konfirmasi, Basuki tak membantah ataupun membenarkan. "Saya memang mendengar ada yang menekan anak buah saya," katanya. Pada Jumat pekan lalu, Basuki mencopot Lasro dari jabatan Kepala Inspektorat. Beberapa orang di lingkaran dekat Gubernur membisikkan, ada beberapa masalah yang menyebabkan Lasro digeser. Salah satunya, Gubernur tidak suka manuver Lasro dalam pengadaan lahan Sumber Waras.
Lasro Marbun menolak berkomentar secara terbuka. Kepada Erwan Hermawan dari Tempo, dia bercerita panjang. Namun Lasro meminta penjelasannya tidak dikutip.
Senin awal Juli lalu, BPK menyerahkan tiga buku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah DKI Jakarta dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hasilnya, pengelolaan keuangan Provinsi DKI Jakarta mendapat cap "wajar dengan pengecualian". Audit Sumber Waras muncul di halaman 198 buku ketiga tentang kepatuhan terhadap perundang-undangan.
Seperti halnya ICW, Gubernur Basuki melaporkan Efdinal ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK pada akhir Oktober lalu. Salah satu materi laporan Basuki mempersoalkan temuan BPK soal pembelian lahan Sumber Waras yang tak pernah diklarifikasi ke pemerintah DKI Jakarta.
Yudi Ramdan memastikan laporan Basuki telah diterima Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Namun ia tidak tahu kapan Majelis Kehormatan akan mulai bersidang. "Sedang proses penelaahan," ujar Yudi.
Pekan lalu, beberapa kali dihubungi, Efdinal tak menjawab telepon. Permintaan wawancara yang dilayangkan ke kantornya di Jalan M.T. Haryono, Cawang, Jakarta Timur, juga tak dibalas. Menurut juru bicara BPK DKI Jakarta, S. Cahyo, Efdinal tidak mau diwawancarai karena permasalahan Sumber Waras sudah dibawa ke BPK pusat.
Rabu tiga pekan lalu, kepada Linda Hairani dari Tempo, Efdinal mengakui pernah membantu pemilik tanah di Pondok Kelapa. Namun Efdinal membantah kabar tentang kepemilikannya atas lahan tersebut.
Efdinal mengatakan, pada 2005, pernah ditemui pemilik tanah yang meminta tolong. Dia mengaku tidak serta-merta bersedia sampai memastikan kelengkapan dokumen tanah milik mereka. "Agar mendapat hak-haknya," ujar Efdinal melalui telepon.
BOLA panas Sumber Waras melambung jauh, lalu memantul ke banyak tempat. Orang dekat Gubernur Basuki yang punya jaringan di kalangan pemeriksa BPK menuturkan, beberapa pemimpin BPK melobi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sekitar medio Agustus lalu. Mereka meminta tolong politikus Golkar tersebut untuk berbicara kepada Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. "Pesannya agar Jokowi tidak ikut campur ketika BPK membidik Basuki," katanya.
Pada awal November lalu, Luhut memang mengundang Basuki untuk meminta penjelasan soal Sumber Waras. Namun Luhut membantah menghubungi Basuki karena dilobi Setya Novanto. "Saya tanya ke Basuki kenapa sampai ada masalah seperti ini," ujar Luhut kepada Indra Wijaya dari Tempo, Kamis pekan lalu. Menurut Luhut, Basuki menjawab dengan menjelaskan bahwa semua sudah sesuai dengan prosedur.
Menurut orang dekat Basuki lainnya, di sela-sela pertandingan final Piala Presiden pada 18 Oktober lalu, Setya Novanto—yang duduk bersebelahan dengan Basuki—juga menanyakan langsung persoalan Sumber Waras. Setya bahkan sempat menawarkan jasa untuk meredakan gonjang-ganjing Sumber Waras, tapi ditolak Basuki.
Setya menolak dikaitkan dengan urusan Sumber Waras. "Jangan mengarang-ngarang cerita," kata Setya, Kamis pekan lalu. "Saya tidak pernah berurusan dengan Sumber Waras."
Gubernur Basuki membenarkan pertemuan dia dengan Luhut. Namun Basuki menolak berkomentar tentang komunikasi dia dengan Setya Novanto. Dia hanya mengatakan urusan Sumber Waras kini bukan sekadar menyangkut pengadaan lahan. "Saya melihat persoalan ini sudah dibawa ke urusan politik untuk menjegal saya," ujar Basuki.
Syailendra Persada, Linda Hairani, Angelina Anjar Sawitri
Temuan BPK
- Lokasi lahan rumah sakit bukan di Jalan Kyai Tapa, melainkan Jalan Tomang Utara.
- Harga nilai jual obyek pajak di Tomang Utara sekitar Rp 7 juta, sedangkan di Kyai Tapa Rp 20 juta.
- Pembelian Sumber Waras juga terindikasi merugikan kas Jakarta Rp 191,3 miliar karena lahan yang sama ditawar PT Ciputra Karya Utama Rp 564,4 miliar pada 2013. Lahan itu akan dijadikan mal.
- Sumber Waras menunggak PBB Rp 6,6 miliar sejak 1994.
- Pengadaan tanah tidak efektif dan berindikasi pemborosan sehubungan dengan kondisi tanah yang tidak siap pakai.
Sumber: BPK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo