Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Stasiun Gembala Warisan Belanda

Sempat telantar, balai pembibitan ternak sapi Padang Mangateh kini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan menjadi contoh bagi daerah lain.

30 November 2015 | 00.00 WIB

Stasiun Gembala Warisan Belanda
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PULUHAN ekor sapi dirawat di kandang-kandang yang berada di Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Padang Mangateh, Sumatera Barat. Sejumlah sapi berumur sekitar satu tahun itu siap-siap diangkut ke Lampung, Jambi, dan Papua. Dua hari sebelum dikirim, sapi yang biasanya bebas merumput di padang rumput itu disuntik agar bebas dari kutu dan penyakit.

Terletak di Kecamatan Luhak, Kabupaten Lima Puluh Kota, balai ternak itu salah satu pemasok sapi terbesar di Indonesia. Bulan ini, balai ternak itu mengirim 22 ekor sapi ke Papua, 31 ekor ke Sumatera Utara, 20 ekor ke Jawa Tengah, dan 52 ekor ke sejumlah daerah di Sumatera Barat. "Ada peningkatan karena sepanjang tahun lalu kami hanya menyuplai 52 ekor," kata Indahwati, Kepala Seksi Informasi dan Jasa Produksi Balai Ternak Padang Mangateh, Rabu tiga pekan lalu.

Hingga pertengahan November lalu, jumlah ternak yang dipelihara mencapai 1.121 ekor. Dari tiga jenis sapi di sana, keberadaan sapi simental mendominasi balai ternak hingga 629 ekor. Sedangkan sapi limusin berjumlah 197 ekor dan sapi pesisir 295 ekor. Berat sapi di balai itu mencapai 800 kilogram-1,2 ton. Ratusan sapi jumbo itu terlihat di padang rumput yang dikelilingi pagar kawat beraliran listrik rendah.

Tak aneh bila Presiden Joko Widodo terkejut saat berkunjung ke sana, awal Oktober lalu. Jokowi kagum terhadap pengelolaan stasiun ternak ini, terutama sistem pasture grazing, yang berbiaya murah, yakni Rp 20 ribu per hari untuk perawatan dan penggembalaan. "Ini contoh peternakan yang akan kami tiru," ujar Jokowi.

Dalam sistem pasture grazing, sapi dikelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Induk yang sedang bunting atau menyusui juga dikelompokkan terpisah. Lahan untuk tiap kelompok dipecah menjadi beberapa bagian, komplet dengan tempat makan dan minum. Kebersihan kandang, kata Indahwati, sangat dijaga.

Jokowi yakin, bila pola ini dikembangkan di setiap provinsi, kabupaten, dan kota, Indonesia mampu melakukan swasembada daging. "Kita bisa menyetop impor jika ini bisa dikembangkan dengan baik," ujarnya. Dari balai itu juga Jokowi menelepon Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Ia meminta Amran melihat sistem peternakan di Balai Ternak Padang Mangateh, kemudian mengembangkannya ke daerah lain. Besoknya, Amran datang ke peternakan sapi ini. Amran berharap balai pembibitan di Padang Mangateh ini bisa dikembangkan di provinsi lain.

Didirikan pemerintah Belanda pada 1916 sebagai peternakan kuda, balai ternak ini berhenti beroperasi pada 1945-1949. Wakil Presiden Mohammad Hatta menghidupkan kembali balai ternak ini menjadi stasiun peternakan terbesar di Asia Tenggara, dengan nama Induk Taman Ternak Padang Mangateh.

Balai ternak ini kini berdiri di atas 280 hektare dan mampu menampung 2.000 ekor sapi. Sebagian besar lahan, yakni 260 hektare, berupa hamparan hijau tempat kandang dan penggembalaan sapi. Letaknya di antara deretan bukit pada ketinggian 700-900 meter di atas permukaan air laut. Adapun luas ladang rumput mencapai 18 hektare. Sisanya digunakan untuk perkantoran dan fasilitas lain.

Meski saat ini memasok sapi buat daerah lain, pusat pembibitan ternak pelat merah itu sempat ambruk. Selain berhenti beroperasi di masa revolusi, balai ini porak-poranda pada 1998-2011. Separuh lahan dikuasai masyarakat. "Mereka berladang di sini, bahkan ada yang membuat kolam ikan," kata Kepala Balai Ternak Padang Mangateh Sugiono. Walhasil, pusat pembibitan ini hanya bisa memanfaatkan 100 hektare lahan dengan memelihara 200 ekor sapi.

Tiga tahun lalu, Sugiono mendekati sejumlah pihak: pemerintah daerah, tokoh masyarakat, juga Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Ia merebut kembali lahan milik pemerintah. Peternakan yang sempat telantar itu perlahan-lahan bangkit kembali.

Pembibitan dimulai dengan menyediakan bibit betina unggul yang diimpor dari Australia. Sedangkan bibit jantan, kata Indahwati, diperoleh dari Kanada. Generasi berikutnya diproduksi dengan teknologi inseminasi buatan dan program transfer embrio. "Jangan sampai kawin saudara, misalnya antara kakak dan adik. Kekerabatan harus jauh," ujarnya.

Balai ternak yang sebelumnya selalu mengimpor bibit betina unggul itu sejak tahun lalu berhasil menyetop pengadaan sapi dari luar negeri. Sebab, sistem pembibitan itu telah menghasilkan 350-400 ekor sapi per tahun. Bibit unggul yang dihasilkan diberi sertifikat silsilah atau pedigree.

Untuk pendataan, Balai Ternak Padang Mangateh mengembangkan aplikasi sistem informasi sapi potong. Informasi ini meliputi silsilah perkawinan, kelahiran, pertambahan berat badan, berat sapi, berat satu tahun, uji performance, pakan, dan kemampuan produksi.

Indahwati, yang juga dokter hewan, menyebutkan kesehatan ternak dicek rutin di laboratorium. Manajemen balai ternak juga mengaktifkan biosecurity, dipping, penyemprotan ektoparasit, vaksinasi, dan pengobatan penyakit. Adapun aktivitas reproduksi, menurut dia, diawasi menggunakan teknologi pencitraan dengan ultrasonografi. Tujuannya agar infeksi saluran reproduksi dan gangguan lain yang bisa berdampak pada kualitas reproduksi dicegah sejak dini.

Sehari-hari, sapi di kandang diberi rumput potong unggul, seperti rumput gajah, raja, dan benggala. Adapun lahan rumput seluas 18 hektare menghasilkan graminae dan leguminosa.

Di luar kandang, sapi ditaruh di dalam satu paddock sekitar 10 hari sebelum dipindahkan ke paddock lain. Paddock yang ditinggalkan dibersihkan dan ditanami rumput kembali hingga digunakan lagi 40 hari kemudian. Pada saat rumput berusia 40-50 hari itulah, menurut Sugiono, kandungan protein optimal. Rumputnya dipelihara menggunakan pupuk organik kotoran sapi.

Balai peternakan ini juga memberdayakan masyarakat lokal. Saat ini ada 40 kelompok tani yang dibina Balai Ternak Padang Mangateh. Salah satunya Kelompok Tani Ganto Perak di Subaladung Nagari, yang memiliki 21 anggota dengan 97 ekor sapi. Mereka memiliki kandang sendiri seluas 20 ribu meter persegi, lengkap dengan kebun rumput gajah yang tumbuh subur.

Ketua Kelompok Tani Ganto Perak, Joni Akmal, mengatakan keikutsertaan mereka dalam berbagai pelatihan menambah pengetahuan memelihara sapi. "Karena kami mengikuti pelatihan balai pembibitan, sapi kami sehat," ujarnya. Kelompok tani ini juga melakukan pembibitan sendiri.

Pelatihan yang diselenggarakan antara lain inseminasi buatan, pemeriksaan bunting, asistensi teknik reproduksi, manajemen pemeliharaan ternak, manajemen pakan, dan pembibitan. Balai peternakan juga memberi pelatihan menyangkut kesehatan hewan serta konsultasi peternakan. Pesertanya bukan hanya kelompok tani di Sumatera Barat, melainkan juga dari Riau, Jambi, bahkan Papua.

Andri El Faruqi (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus