SEORANG gadis Risah terbunuh di halaman rumahnya sendiri. Pembunuhnya kabur. Yang menarik, kemudian polisi justru mencurigai dan menahan kakek, ayah, dan ibu kandung korban. Setelah menahannya beberapa hari, polisi tidak menemukan bukti bahwa merekalah yang menghabisi anak atau cucu kandung mereka, dan karena itu dilepaskan. Gara-gara itu, Jumat pekan lalu, keempat terdakwa mempraperadilankan Poltabes Medan. Tragedi itu bermula suatu subuh, 31 Januari lalu. Risah, siswi SMP Kristen Medan, hendak joggng. Masih di halaman rumahnya Risah ditusuk seseorang, tak dikenal. Ia menjerit sehingga seisi rumah terbangun. Tapi penusuknya keburu kabur. Gadis malang itu meninggal di rumah sakit. Pembunuhan itu menjadi urusan polisi. Poltabes, yang menyidik perkara itu, mencurigai Risah dibunuh justru oleh keluarganya sendiri. Sebab itu, polisi memboyong 10 orang penghuni rumah ke Poltabes Medan. Mereka adalah kakek kandung korban, Konde Tarigan, 63 tahun, ayah dan ibu kandungnya, Firman Barus, dan Ndjamu beru Tarigan. Ikut juga Raden Saleh Tarigan, adik Ndjamu, dan Waty, adik korban, serta dua mahasiswa, yang kos di rumah itu, Marianus Naibaho dan Ridwan Tambunan. Di kantor polisi keluarga yang baru saja kehilangan anak gadisnya itu diperiksa bergiliran secara terpisah. Selepas magrib, 6 orang diperkenankan pulang. Tapi empat orang sisanya, Firman, Ndjamu, Raden, dan Konde, sepanjang malam, kata mereka, dipaksa mengaku sebagai pembunuh Risah. Pemeriksaan, konon, di luar batas. Mereka disuruh pakai cawat, kemudian dipukul dan ditendang. Bahkan, tengah malam, secara bergantian mereka direndam dalam bak sebatas leher. "Airnya kotor dan gatal," tutur Konde. Tapi mereka tetap tak mengaku. "Masa kami tega membunuh darah daging kami sendiri," kata Firman, yang sehari-harinya menarik becak bermesin. Barulah pada 6 Februari, mereka boleh pulang. Tapi mereka wajib lapor dan berstatus tahanan rumah, tanpa surat resmi. "Yang ada cuma perintah lisan dari penyidik," kata Firman, ayah lima anak itu. Sebab itu, Firman beserta ayah, istri, dan adik iparnya, mempraperadilankan Poltabes Medan. Melalui kuasa mereka, Mawarti beru Tarigan, mereka menuntut agar hakim menetapkan penahanan itu dinyatakan tidak sah. Selain memohon pemulihan nama baik dan penghentian penyidikan, Mawarti juga menggugat ganti rugi Rp 2 juta. Persidangan itu seharusnya sudah dimulai dua pekan lalu. Karena polisi belum siap, persidangan ditunda sampai pekan lalu. Tapi, kata Mawarti, janka waktu penundaan sidang itu dipakai polisi untuk menyidik Firman cs. dengan cara paranormal. Begitu sidang ditunda, cerita Mawarti, polisi datang ke rumah Firman dengan seorang dukun, Ismail Sitepu. Dengan gaya paranormal Ismail membaca mantra, seraya memeriksa semua sudut rumah korban. Dinihari, Senin pekan lalu, polisi datang lagi bersama Ismail dan seorang kawannya, Ramli Sinuraya, dengan membawa sordam sejenis seruling berlubang lima, yang lazim dipaai orang Karo memanggil roh pelaku kejahatan. Ramli meniup sordam itu selama 1 jam. Tapi tidak ada roh yang datang. Keesokan harinya penyidikan magis itu diulang. Ramli meniupserulingnya dan kesurupan. Setelah itu, seorang polisi menanyai Ramli. Ia mengaku sebagai roh Konde dan juga pembunuh Risah. Pembunuhan itu, katanya, dilakukannya atas suruhan gurunya yang butuh darah. Roh Konde itu juga mengaku bekerja sama dengan menantunya, Ndjamu, menghabisi Risah. "Karena Risah pernah melihat kami bersanggama," kata roh itu, lewat mulut Ramli. Begitu panikkah polisi sehingga memerlukan dukun untuk mengungkap kasus itu? Kepala Dinas Penerangan Polda Sum-Ut Letkol. Yusuf Umar, tak mau menjawabnya. Dia tak yakin polisi melakukan penyidikan gaya klenik itu. Yusuf juga membantah keempat orang itu pernah ditahan polisi. "Hanya diperiksa, kok," katanya. Bersihar Lubis & Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini