Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buldoser di kebun ibrahim

Tanah milik brigjen ibrahim saleh di cibeduk mayak, nagrak, bogor dibuldoser pt mulia dipta jaya untuk lapangan golf. ibrahim saleh tidak mau menjual tanah. pt mdj membantah mengeksekusi tanah ibrahim.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULDOSER agak~nya sudah pantas masuk kamus hukum. Sebab, alat berat itu kini menjadi sarana hukum populer dalam pembebasan tanah. Setelah "senjata ampuh" itu menderum meratakan puluhan vila di Cisarua, Senin dua pekan lalu, giliran tanah milik Brigjen. Ibrahim Saleh, 51 tahun, di Kampung Cibeduk Mayak, Desa Na~grak, Kecamatan Kedung Halang, Bogor, yang digilas. Kali ini PT Mulia Dipta Jaya (MDJ) yang bermain buldoser tanpa izin -- bahkan tanpa diketahui -- si empunya tanah. Perusahaan ini ingin membangun padang golf bertaraf internasional di situ. Pada hari eksekusi itu, dengan dikawal petugas dari koramil, polisi, dan pamong desa setempat, sekitar lima jam armada buldoser memorak-porandakan tanah di lokasi itu. Dan, tanah Ibrahim seluas hampir 250 m2 -- dari keseluruhan tanah 5 ha milik Ibrahim -- juga dibuldoser. Akibatnya, sekitar 12 batang tanaman keras -- termasuk 7 pohon cengkeh berumur 15 tahun -- milik Ibrahim tumbang. Padahal, dari hasil panen pohon-pohon itulah selama ini Ibrahim membayar upah para penjaga kebunnya. Kecuali itu, kolam ikan seluas 30 m2 pun tak luput dari gilasan roda buldoser. Ibrahim sendiri, yang hari itu datang ke kebunnya dengan membawa bibit petai untuk ditanam, kaget menyaksikan raungan buldoser di tanahnya. Hampir terjadi adu jotos. Akhirnya, Ibrahim digiring ke Denpom ABRI di Bogor. Lucunya, "Saya yang dirugikan, kok malah saya sendiri yang diinterogasi," ucap Ibrahim, yang menjabat perwira tinggi ahli yang diperbantukan pada Kasad. Menurut Ibrahim, yang tiga kali di-recall dari keanggotaan di FABRI DPR, ia membeli tanah itu dari beberapa penduduk sejak 1974. Uangnya, tutur Ibrahim, berasal dari jerih payah menabung bertahun-tahun bersama istrinya. Tanah seluas 5 ha itu terdiri dari 8 persil -- semuanya bersertifikat. Sebab itu, Ibrahim segera mengadukan aksi PT MDJ tadi ke polisi. "Saya tetap akan mempertahankan milik saya. Jangan main buldoser begitu, dong," kata perwira yang pernah menggemparkan SU MPR 1988 karena menginterupsi ketua sidang ini. Sebetulnya, tanah Ibrahim, yang terletak di kawasan berpemandangan indah dengan lembah-lembahnya itu, sudah lama diincar PT MDJ. Sebab, di areal itu PT MDJ merencanakan pembangunan proyek megah "Gunung Geulis Golf Course". Tapi celakannya, dari keseluruhan tanah seluas 250 ha milik para penduduk di daerah itu, tinggal tanah seluas 5 ha milik Ibrahim saja yang tak kunjung bisa dibebaskan. Padahal, lokasi tanah Ibrahim persis di tengah-tengah proyek tersebut. Dan di atas tanah itulah PT MDJ merencanakan akan membangun jalan menuju ke pusat padang golf tersebut. Sejak 1986, 180 ha tanah di situ sudah dibebaskan PT MDJ secara fisik. Bahkan pembangunan padang golf itu kini sudah berjalan 60%. Sebagian bukit-bukitnya sudah dipangkas. Rencananya, pada Januari tahun depan, padang golf yang bisa menampung sekitar 3.000 anggota -- dengan tarif US$ 30 ribu per orang -- bisa diresmikan. Ganjalan satu-satunya proyek di atas tanah 250 ha itu, yang berjarak sekitar 3,5 km dari Jalan Raya Gadog (Bogor-Ciawi-Puncak), ya, tanah Ibrahim itu. Bahkan pada 1988, Ibrahim sempat mengadukan pihak PT MDJ ke polisi gara-gara tanah dan kolamnya terkena reruntuhan tanah penduduk di sebelah atas, yang sedang dibuldoser PT MDJ. Hanya saja, hingga kini nasib pengaduan itu tak jelas. Sampai kini belum tercapai titik temu antara Ibrahim dan PT MDJ. Di satu pihak, PT MDJ ingin membeli tanah tersebut, sementara Ibrahim hanya ingin mengontrakkan. "Apa pun yang terjadi, saya tak akan menjualnya. Itulah cara saya mencintai tanah air," ujar Ibrahim, yang mengaku akan menjadi petani setelah pensiun. Belakangan, PT MDJ melunakkan sikap: bersedia mengontrak untuk jangka waktu 5 tahun. Tapi Ibrahim ingin selama 50 tahun. Alasannya, jangka waktu kontrak yang pendek bisa menimbulkan konflik di kemudian hari. Buntu lagi. Rupanya, PT MDJ tak sabar lagi dan mengeksekusi tanah Ibrahim itu. Yang menjadi persoalan, apa dasar hukum PT MDJ sehingga berani membuldoser tanah Ibrahim. Menurut sebuah sumber di situ, sebetulnya MDJ sudah membeli tanah itu dari dua orang penduduk bernama Ajum Marmat dan Ace. Dari Ajum, pada 27 Juli 1987 MDJ membeli seluas 650 m2 seharga Rp 390 ribu (Rp 600 per m2). Sementara itu, dari Ace pada 16 Juli 1990 MDJ membeli lagi seluas 4.225 m2 dengan harga Rp 2.535.000. Masalahnya, kata sumber tersebut, ternyata nama kedua penjual itu fiktif belaka. "Sekarang polisi sedang mengusut siapa pembuat surat jual beli yang palsu itu," kata sumber TEMPO di Polsek Kedung Halang. Direktur PT MDJ, Mulyadi Budiman, menganggap soal fiktif dan palsu itu urusan lurah dan camat setempat. "Yang penting, kami membeli tanah itu dengan sepengetahuan lurah dan camat," katanya. Lepas dari soal tadi, menurut Budiman, tanah yang mereka buldoser itu adalah tanah yang sudah dibebaskan dari penduduk -- tak termasuk milik Ibrahim. Tanah Ibrahim, katanya, bahkan tak mereka jamah sama sekali karena ne~goisasinya tak kunjung membuahkan hasil. "Dia bilang di tanahnya itu ada sumber air, sumber rezekinya. Tapi kalau cuma dilihat saja, tak ditimba sumber airnya, kapan ia bisa menikmatinya. Kalau dijual, uangnya didepositokan, kan bisa mengalir," kata Budiman. Belakangan, tambah Budiman, Ibrahim menawarkan sistem sewa. Tapi, selain minta dengan jangka panjang, ia juga mengajukan harga sewa yang gila-gilaan (US$ 80 ribu per tahun). Sementara itu, proyek bergengsi itu tak mungkin berhenti cuma lantaran tanah Ibrahim. Jadi, "Kami terpaksa mengubah desain lapangan golfnya, tanpa mengambil tanah Ibrahim," ujar Budiman. Happy S, Ida F~arida (B~and~ung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus