Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Buntung di lampung

Hendrika budiman,21, tangannya putus ditebas golok agus. keduanya adu jotos dan melibatkan saudaranya masing-masing. polwil lampung kesulitan memberkaskan perkara karena kasusnya sudah lama.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu Hendrika menunggui warungnya di halaman SD Inpres di Jalan HOS Cokroaminoto, Tanjungkarang, Bandarlampung. Di lapangan itu beberapa pemuda, termasuk Agus, bermain voli. Hendrika menegur Agus agar berhati-hati. ''Jangan merusak warung saya,'' kata pemuda berusia 21 tahun itu. Agus tak menerima teguran itu. Terjadilah adu jotos. Setelah itu, menurut Hendrika, ia dikeroyok Umar dan anak- anaknya, yaitu Agus, Sudirman, Deskari, Darwis, dan Iwan keponakan Umar. Agus, yang selama ini sering bersama Hendrika ke sekolah, membacokkan pedangnya. Sekali tebas, lengan kiri Hendrika putus sebatas siku. Refsodi, abang Hendrika, yang melerai perkelahian itu, ditusuk Sudirman dengan pisaunya lima kali. Warga tak bisa membantu melerai karena keluarga Umar beringas. Adik perempuan Hendrika yang hendak mengambil potongan tangan abangnya digertak dengan acungan golok. Potongan itu baru diserahkan setelah polisi datang. Kedua korban dilarikan ke rumah sakit. Apa kata keluarga Umar? ''Kami membela diri,'' kata Darwis. Ia mengaku tidak terlibat berkelahi. Sore itu, justru Hendrika dan saudaranya yang menyerbu. ''Ayah yang tak tahu apa-apa malah dipukul tengkuknya,'' kata Darwis. ''Tangan Ayah juga dibacok, hingga jari kirinya tak bisa digerakkan.'' Hendrika kini menetap di Cikampek, Jawa Barat, untuk menghindari keluarga Umar. Ia berdagang kecil-kecilan di Pasar Cikampek. Refsodi, 24 tahun, tetap tinggal di Bandarlampung. Kasusnya sudah dilaporkan ke Polresta, Polwil, Polda setempat, dan Mabes Polri. ''Tapi polisi selalu bilang tak kenal pelakunya. Atau pelakunya sudah kabur. Padahal, mereka ada di rumahnya,'' ujar Haitami Budiman, ayah Hendrika, kepada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Pensiunan pegawai negeri beranak enam itu membutuhkan biaya Rp 2 juta untuk merawat kedua anaknya itu. Agaknya, polisi seperti kesulitan memberkaskan kasus yang terjadi pada 29 Juli 1991 itu. ''Padahal, ada peristiwa, korban, dan pelakunya. Seharusnya tinggal disidik saja,'' kata Yuzar Akuan, pengacara di Bandarlampung. Kapolwil Lampung, Kolonel Endang Suwanda, agak terkejut mendengar kasus ini mencuat lagi. ''Ini kasus lama, kok diributkan lagi,'' ujarnya kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Ia mengaku belum tahu kasus ini sulit diungkapkan polisi. ''Saya segera memerintahkan agar dituntaskan,'' katanya.WY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus