SDSB rupanya masih menjadi tumpuan harapan beberapa orang. Bukan hanya rakyat kecil yang berharap memperoleh rezeki nomplok. Panitia penyelenggara Kongres Luar Biasa PDI juga mengharapkan dana SDSB itu. Saat ini dari biaya kongres sekitar Rp 1 miliar itu, belum semuanya masuk. Itu sebabnya mereka menoleh ke Departemen Sosial untuk mendapatkan suntikan dana. Mungkin, sebagai partainya orang kecil, PDI berani minta belas kasihan dari dana Departemen Sosial bagi orang tak mampu itu. Permintaan suntikan dana untuk memilih ketua umum partai setelah Kongres Medan dianggap tak sah itu diakui ketua atau care taker PDI, Latief Pudjosakti. ''Meskipun pihak panitia tak mempersoalkan dari mana sumber dana itu.'' Dari kenyataan itu, mungkin, Menteri Sosial Nyonya Endang Kusuma Inten Soeweno berpendapat bahwa cara pengumpulan dana lewat SDSB itu masih diperlukan. Selama ini Pemerintah memang hanya melihat melimpahnya pemasukan uang dari berbagai daerah lewat SDSB. Dari penarikan kupon SDSB itu, misalnya untuk periode 34 sampai 38 bulan September lalu, Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) berhasil menyedot dana masyarakat sekitar Rp 15,6 miliar. Belum termasuk penerimaan dari bunga deposito dan investasi yang tak kurang dari Rp 2 miliar sebulannya. Dan total saldo kas YDBKS bulan itu sekitar Rp 156,4 miliar. Namun, yang menentang pun tak sedikit. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, memperingatkan kemudaratan SDSB. Sejak beberapa tahun lalu, bagi MUI sudah jelas, SDSB adalah judi dan haram. Menurut Ketua MUI, K.H. Hasan Basri, judi itu lebih besar mudaratnya ketimbang manfaatnya. Karena itu, katanya, efek negatifnya harus ditolak lebih dulu ketimbang kemungkinan manfaatnya. Tapi, karena tidak punya wewenang memutuskan, Hasan Basri akhirnya diam. ''Sudah tahunan kami mengingatkan Pemerintah mengenai kemudaratan SDSB. Sampai jenuh rasanya,'' katanya. Belakangan ia heran ketika Jaksa Agung Singgih menganalogikan SDSB dengan babi: ''boleh dijauhi karena najis dan haram, tapi tidak perlu dibunuh''. ''Kalau SDSB dikiaskan dengan babi, itu lebih parah lagi. Babi itu, tidak bisa ditawar, haram mutlak,'' ujar Hasan Basri. Meski begitu, Ketua Umum Golkar Harmoko mendukung kebijaksanaan Pemerintah meneruskan usaha pengumpulan dana melalui kupon SDSB. ''Yang perlu dipahami ialah prinsipnya, bukan ekses negatif yang muncul di balik SDSB,'' katanya Jumat lalu di Sidoarjo, Jawa Timur. Di tengah maraknya aksi-aksi memprotes SDSB, pernyataan itu termasuk berani. Barangkali karena Harmoko belum menyadari bahwa dampak negatif SDSB itu bisa berpengaruh bagi perolehan suara Golkar dalam Pemilu yang akan datang. Sebab, sampai sekarang kalangan tertentu umat Islam sangat gencar menentang kehadiran penjualan kupon SDSB itu. Usai salat Jumat lalu, misalnya, para mahasiswa di Yogya dan Bandung turun ke jalan. Di Yogya, ribuan orang bergerak dari kampus UGM Bulaksumur, memenuhi jalan raya Malioboro, menuju gedung DPRD. Aksi yang digelar Gerakan Masyarakat Islam Yogyakarta itu melibatkan para mahasiswa Islam dari berbagai perguruan tinggi dan pesantren di sana. Di jalan menuju DPRD, massa dan sepasukan polisi dan militer hampir bentrok karena jalanan ditutup. Akhirnya para pengunjuk rasa diizinkan juga lewat dengan mengendarai dua truk militer. Di halaman DPRD mereka terus bertakbir dan menggelar puluhan poster anti-SDSB. Beberapa di antaranya berupa akronim SDSB yang lucu tapi mengena. Misalnya ''Supaya Derita Semakin Bertambah'', ''Soal Dosa Sudah Biasa''. Ada lagi yang dalam bahasa Jawa, Soyo Dangu Soyo Bubrah (makin lama makin rusak). Mereka juga menuntut agar DPRD berani meminta Pemerintah mencabut SDSB. Tak berapa lama tujuh wakil demonstran diterima pemimpin DPRD, antara lain ketua dan wakilnya, H. Soedarno Setopradjoko dan H.M. Alfian Darmawan. Pada hari yang sama, juga usai salat Jumat, sekitar 300 mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Muslim ITB, Bandung, mengacung-acungkan puluhan poster di lapangan basket, tak jauh dari kampus terkenal itu. Mereka juga membacakan pernyataan sikap yang menilai bahwa SDSB telah membikin rakyat kecil menjadi pemimpi dan pengkhayal. Dua hari sebelumnya, sekitar 250 rekan mereka yang berjaket kuning dari Universitas Indonesia beraksi di lapangan tengah Fakultas Kedokteran UI Salemba, Jakarta. Tak lama kemudian mereka menuju ke kantor Menteri Sosial yang jaraknya hanya 400 meter. Mereka tak berjumpa dengan Menteri Sosial Inten Soeweno, tapi sempat diterima oleh Dirjen Binbansos Moh. Syafei Andjasmaja. Seperti biasa, pejabat Departemen Sosial itu ''menampung aspirasi mereka dan akan menyampaikannya ke atas'' jawaban kunci dalam menghadapi kaum demonstran. Jawaban semacam itu pula yang dua minggu lalu diterima oleh pengunjuk rasa di Jember. Aksi yang dilancarkan oleh Himpunan Aksi Mahasiswa Anti-SDSB (Hamas) itu melibatkan 50 orang. Mereka bergerak dan mengelilingi kampus Universitas Jember kemudian menuju ke gedung DPRD yang berjarak sekitar 300 meter. Di halaman DPRD mereka menggelar puluhan poster. Bahkan ada yang membacakan Sumpah Pemuda gaya baru: ''Kami bertanah air satu, tanah air tanpa SDSB berbangsa satu, bangsa bebas SDSB berbahasa satu, bahasa anti-SDSB''. Sehari sebelumnya, di Bangkalan, Madura, seribuan orang turun ke jalan secara spontan. Entah bagaimana, aksi yang bermula dari kemarahan orang terhadap pencurian uang di Masjid Jami' Bangkalan ini merembet menjadi protes anti-SDSB. Bukan hanya beberapa kios penjual kupon SDSB dirusak, sebuah mobil juga hancur. Banyak tokoh masyarakat menyesalkannya. Seorang demonstran di Bandung menyatakan kepada Asikin dari TEMPO bahwa aksi-aksi itu akan berlanjut. Keberanian para mahasiswa itu, selain posisi mereka yang lebih bebas, mungkin lantaran munculnya pernyataan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. ''Demonstrasi itu murni dan spontan. Silakan saja mereka unjuk rasa,'' begitu antara lain kata Menteri. Tapi untuk apa saja dana SDSB itu? Menurut laporan keuangan YDBKS, banyak lembaga telah menikmati dana SDSB itu. Yang menerima rutin, misalnya bulan September lalu, Korpri/Dharma Wanita unit Menristek Rp 1 juta, KNPI Rp 3 juta. Universitas Djuanda memperoleh Rp 25 juta, Yayasan Kanker Rp 20 juta, dan Yayasan Pembinaan Anak-Anak Cacat Rp 5 juta. Dewan Kerajinan Nasional Rp 15 juta, adapun Federasi Nasional Kesejahteraan Cacat Mental hanya Rp 2,5 juta. Akan halnya Yayasan Tiara Indonesia. Yayasan ini pernah menerima Rp 1 miliar untuk penyelenggaraan Bahana Suara Pelajar. Tahun 1991, dalam catatan YDBKS, ada pula sumbangan tak rutin seperti untuk Mapala UI Rp 15 juta, FISIP UI Rp 10 juta, Fakultas Sastra UI Rp 10 juta, dan program studi kajian wanita Pascasarjana UI sebanyak Rp 60 juta. Dalam catatan keuangan YDBKS, sampai akhir September lalu, sumbangan rutin dari dana SDSB mencapai Rp 40,4 miliar. Bantuan itu disalurkan lewat instansi Pemerintah dan lembaga sosial. Dan tampaknya masih banyak lagi pihak yang ingin menikmati dana murah itu. Adapun yang memprotes penjualan kupon SDSB itu pun akan kian merebak kalau tak dihambat dengan bijak. Budiman S. Hartoyo, Linda Djalil, Wahyu Muryadi (Jakarta), Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini