MALAM belum lagi kelam tatkala Siti sebut saja namanya begitu turun dari bus antarkota. Masih sekitar pukul 20.00. Rasa rindu Siti kepada orang tua dan seorang adiknya makin menggebu, sampai pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga di Surakarta ditinggalkannya sementara. Jarak ke rumahnya dari jalan di pinggiran Sragen, Jawa Tengah, itu masih 10 km. Begitupun, Siti enggan naik ojek sepeda motor yang mengerubunginya. Gadis lulusan SD itu lebih memilih menunggu truk, yang gratis. Siti memang mengenal beberapa sopir truk di daerahnya itu. Tapi truk yang dinanti tak kunjung muncul. Malah yang datang, dengan mengendarai dua sepeda, adalah tiga remaja tanggung. Mereka terkesan lugu, lalu menawarkan jasa untuk mengantar Siti. ''Kelihatannya mereka memang anak baik- baik,'' tutur Siti, 16 tahun, yang bertubuh sintal dan berambut pendek itu. Setelah Siti mau ikut, melajulah dua sepeda tadi. Tanpa diketahui Siti, tidak jauh di belakang mereka ada sebuah becak berisi empat remaja. Ternyata, rombongan kedua ini lima orang berikut penarik becaknya masih teman ketiga remaja sebelumnya. Baru berjalan 2 km, Joko (nama samaran), yang memboncengkan Siti, membelokkan arah sepeda ke pinggiran sawah. Di dekat rumah penyekapan padi, ia menghentikan sepedanya. Siti heran. ''Kok ke sini, apa kita tidak keliru?'' tanyanya. Rupanya, kedelapan bocah itu punya niat jelek. Begitu Siti turun, Joko langsung merangkul gadis itu. Mulutnya dibungkam. Sekejap saja, Siti terbenam dalam gumulan para remaja tanggung tersebut. Suara berisik di tumpukan padi itu memancing perhatian Kartodimejo, penjaga rumah penyekapan padi. Ketika Kartodimejo mendekat, ia dilempari batu oleh para remaja tadi. Kartodimejo, yang menyangka mereka itu maling, lari sambil berteriak kuat. Mendengar teriakan itu, berdatanganlah warga kampung. Ada yang membawa golok, pentungan, dan besi. Maling yang diteriaki tak tampak. Yang terlihat cuma Siti. Lulusan SD itu tergolek lunglai, setengah telanjang. Setelah menolong Siti, penduduk kemudian mengadukan kejadian itu kepada Kepolisian Sektor Ngrampal, Sragen. Kendati Siti tidak begitu mengenali para pemerkosa, besoknya, pada 12 Oktober lalu, polisi dengan gampang menciduk kedelapan bocah itu. ''Tidak sulit meringkus anak-anak itu. Mereka sering nongkrong di tempat perhentian bus,'' kata Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta, Kolonel Suseno. Menurut Suseno, dari kedelapan remaja itu (tujuh siswa SMP dan satu pelajar SD), hanya lima yang ditahan. Kelima remaja ini akan diajukan ke pengadilan. Sesuai dengan pengakuan Siti, tiga anaklah yang memerkosanya, dua memegangi tangan dan kakinya, dan tiga lainnya cuma menonton. Siti memang tak sampai syok berat akibat kejadian itu. Dia sudah bekerja lagi pada keluarga seorang dokter di Sragen. Begitupun, Siti maupun orang tuanya, yang petani, tetap berharap anak-anak itu dihukum berat. ''Mereka anak biadab,'' seru Siti. Joko mengaku sampai berani menggagahi Siti lantaran ia mengira gadis itu gampang untuk digituin. ''Habis, sewaktu saya boncengi, duduknya mepet. Saya jadi terangsang,'' ujarnya remeh. Untuk daerah pedesaan seperti di pinggir Sragen itu, kebrutalan para remaja tersebut terhitung kasus serius. Kolonel Suseno sendiri belum berani menyimpulkan bahwa ulah anak-anak itu sudah sampai tingkat meresahkan. ''Anak-anak nakal itu cuma iseng, coba-coba. Tindakannya tanpa perhitungan,'' katanya. Yang jelas, salah seorang pemerkosa, Toto bukan nama sebenarnya, dan masih di bawah umur dikeluarkan dari sekolahnya di SMP 2 Ngrampal. Orang tuanya meminta Toto dikeluarkan lantaran merasa malu atas perbuatan aib anaknya itu. Toto yang sudah duduk di kelas 3 itu akan dipindahkan sekolahnya ke SMP lain. Happy Sulistyadi dan Kastoyo Ramelan (Surakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini