MENJELANG subuh, Sersan Mayor Wasinton Sibuea, 32 tahun, masih lelap tidur. Ia terjaga ketika mendengar jendela rumahnya di Jalan Terusan Pasirkoja, Bandung, ada yang mencongkel. Dilihatnya seorang lelaki tinggi kekar mengendap-endap di halaman rumahnya. Wasinton yakin, lelaki itu pasti maling. Wasinton ke dapur, mengambil golok. Lewat pintu belakang, ia menuju halaman depan. Begitu bersapa dengan tamu tak diundang itu, yang belakangan diketahui bernama Iwan Setiawan, salah seorang preman daerah itu, Wasinton langsung berteriak, ''Bangsat, bangsat.'' Bangsat maksudnya maling. Iwan, yang menggenggam pahat besi dan linggis kecil, menyerang Wasinton. Dengan gerak refleks, Wasinton mengelak, dan menghantamkan gagang golok ke punggung Iwan. Preman berusia 20 tahun itu tersungkur. Linggis diambil Wasinton dan dipukulkan ke dada Iwan. Sekejap Iwan diringkus dan diikat dengan tali rafia. Taukasben Sibuea, 27 tahun, yang menumpang di rumah Wasinton, ikut memukuli korban. Kepada segenap warga yang berdatangan, Wasinton mengatakan akan menggiring Iwan ke kantor polisi. Karena Wasinton yang anggota AURI itu juga anggota keamanan di situ, warga setuju saja. Bersama Pantun Sihombing, 42 tahun, pemilik mobil angkutan kota, Wasinton serta Taukasben bermaksud membawa Iwan ke kantor polisi terdekat. Tapi, di perjalanan, Wasinton mengubah tujuan. Iwan, yang pernah duduk di kelas 5 SD, diboyong ke Asrama AURI Husen Sastranegara. Pantun sempat mengingatkan maksud semula. Wasinton berdalih, ''Biar ia tahu kalau AURI juga punya pasukan dan ada giginya.'' Rupanya, Wasinton ingin memberi sekadar pelajaran. Soalnya, anak-anak muda yang suka mabuk-mabukan di daerah itu, kendati belum tentu termasuk Iwan, kerap mengejek dengan kata-kata ''AURI mah euweuh huntuan'' AURI tidak bergigi. Lagi pula, tambah Wasinton, daerah Terusan Pasirkoja sering kecurian. ''Sekarang malah rumah tentara mau dibongkar,'' ucapnya. Tentara yang dimaksud Wasinton adalah dirinya. Soal pencurian di situ, itu juga belum pasti dilakukan Iwan. Anak ketiga dari enam saudara itu empat kali masuk penjara karena mencuri. Di Asrama AURI itu, menurut Pantun, kemudian Iwan menjadi bulan-bulanan Wasinton dan rekan-rekannya. Sekurangnya ada 12 bintara muda AURI di situ yang ikut ambil peranan. Pantun juga sempat dipanggil Wasinton agar memberikan hadiah bogemnya ke wajah Iwan. ''Pelajaran'' Wasinton dan kawan-kawan baru berhenti begitu melihat Iwan sekarat. Iwan segera dilarikan ke Kepolisian Sektor Kota Bojongloa. Namun, polisi menolak menerima Iwan dan pengaduan terhadap dirinya. Sebab, Iwan tewas akibat penganiayaan pada 15 April 1993 itu. Wasinton sempat meminjam uang Rp 1 juta dari kantornya, untuk diberikan kepada Adang Atik, ayah Iwan, yang berjualan ayam aduan (bangkok) di Tegallega, Bandung. Begitu pun, Wasinton tetap diperiksa Polisi Militer. Dan ia sempat ditahan dua bulan. Sementara itu, Pantun dan Taukasben terus ditahan, bahkan sampai mereka duduk sebagai terdakwa pekan-pekan ini di Pengadilan Negeri Bandung. Pantun dan Taukasben mengaku menyesal. ''Kalau saya tidak disuruh Wasinton, Iwan tidak akan saya pukul. Kasihan, mukanya sudah berdarah-darah,'' ucap Pantun. Tinggallah kini istri dan empat anaknya yang tidak terurus lantaran Pantun ditahan dan mobilnya kini disita. Sementara itu, Wasinton yakin, kematian Iwan lebih karena jahitan bekas operasi di perutnya yang kena pukulan bertubi- tubi. Perut penganggur itu pernah ditusuk dengan pisau oleh narapidana lain. ''Saya kira bekas operasi itu yang mempercepat kematiannya,'' kata Wasinton kepada TEMPO. Persoalannya kini, mengapa cuma Pantun dan Taukasben yang diadili, sedangkan perkara Wasinton dan kawan-kawan tidak jelas kesudahannya. Menurut sebuah sumber, Wasinton baru diajukan ke Mahkamah Militer tahun depan ini pun kalau perkaranya tidak dideponir. Sementara itu, 12 temannya kemungkinan tidak akan diajukan ke mahkamah, alias dimaafkan. Happy Sulistyadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini