MATAHARI sore menunggu tenggelam. Hartini, 27 tahun, yang bertubuh ramping dan berkulit hitam manis itu duduk di pematang sawah. Bujukan suaminya, Marlen Sutan Kayo, agar ia pulang untuk menyusui bayinya yang baru berusia 15 hari tidak digubrisnya. Tapi begitu melihat Purin pulang menggembala lima kambingnya, mata Hartini memancarkan dendam. Lalu, selagi ayah lima anak yang tinggi besar itu lewat di depannya, ia hunjamkan pisaunya. Cras! Tepat di dada Purin. Ia sempat meninju Hartini, hingga terpelanting. Melihat istrinya terjengkang, Marlen, 27 tahun, mencabut sepotong pagar bambu, lalu diembatkan ke tengkuk Purin hingga tersungkur. Kejadian pada Minggu sore, 22 Agustus itu, dilihat anak Purin, Dedi Indra, 15 tahun. Dedi segera memberi tahu ibunya, Masnita. Polisi juga dikontak. Warga Dusun Tanjung Balik Kecamatan Banuhampu Sungai Puar, Bukittinggi, pun ramai. Purin segera diusung ke rumah sakit. Tujuh jam kemudian, pria berusia 45 tahun yang dikenal sebagai dukun itu konon, ia mampu meremas batu jadi debu tewas tanpa sempat menjelaskan duduk soalnya. Marlen dan Hartini kabur, takut dihajar massa. Ketika mereka menyetop kendaraan, yang berhenti mobil polisi yang memburunya. Mereka ditangkap. Dua anak mereka, Bujang, 15 hari, dan Upik, 2,5 tahun, ikut disel di Polres Bukittinggi. Belakangan, Upik dijemput neneknya dari sel. Menurut Hartini, yang hanya lulus SD itu, ia membunuh Purin, abang sepupunya, karena diperkosa lima tahun lalu tiga hari setelah ia dinikahi Marlen, namun belum kumpul bersama. Waktu itu, Purin bilang ada orang yang mengganggu rumah tangganya. Guna-guna sudah ditebar di sekitar rumah. Lalu mereka diminta memagari diri. ''Carilah kelapa hijau,'' kata Purin. Marlen, yang tidak tamat SD itu, pergi mencari kelapa hijau, sejauh 45 km. Ia harus menginap. Sekitar pukul 20.00, Purin mendatangi rumah Hartini. Setelah berbincang soal guna-guna, Hartini dan ibunya disuruh ke kamar masing-masing. ''Ada makhluk halus yang akan masuk ke rumah. Biar saya sendiri yang menghadapinya,'' kata Purin. Beberapa saat Hartini mengantuk. Kemudian ia merasa ada seseorang menindihnya. Orang itu ternyata Purin. Mau berteriak mulutnya disumpal tangan Purin. ''Kalau berteriak, nyawamu melayang,'' ancam buruh pandai besi itu sambil menempelkan sebilah keris ke leher Hartini. Kesuciannya pun terenggut. Purin juga mengancam jika kejadian ini bocor, suami dan ibunya bakal dihabisi. Hartini menangis, dan bungkam. Di malam pertama, Marlen rupanya tahu istrinya sudah tidak suci lagi. Tapi penjahit itu pasrah saja. Juga setiap Hartini murung dan menangis tanpa sebab, ia menenteramkannya. ''Buat apa lagi diingat. Biarlah orang itu menanggung dosanya,'' katanya. Tapi bagi Hartini rasa bersalah itu terus mengimpit dirinya, apalagi setelah kelahiran Bujang. Pada sudut mata bayi itu berdarah. ''Itu pertanda saya berdosa,'' katanya. Kemudian, barulah Hartini mengaku bahwa pemerkosanya adalah Purin. ''Kok tidak dari dulu kamu katakan, biar dilaporkan ke polisi. Sekarang, sudahlah,'' kata Marlen. Toh Hartini bertekad membalas. Menurut Masnita, sebagai kerabat dekat, sejak Hartini menikah, Purin tidak pernah datang ke rumah Hartini. Bahkan, sewaktu dilaporinya bahwa Hartini-Marlen ribut, ia pun tidak peduli. ''Biarkan sajalah. Anak kita saja belum terurus,'' kata Purin. Betulkah Purin menyebadani Hartini? Kini, polisi masih memeriksa dua tersangka. ''Pengakuan mereka memang begitu. Tapi, apa motif sesungguhnya masih kami selidiki,'' kata Mayor Rustam Effendi, Wakil Kapolres Bukittinggi. WY dan Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini