Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sang primadona dan kredit macet

Setelah sukses memacu ekspor nonmigas, ribuan hektare tambak udang kini merugi berat. pengusahanya terlilit utang Rp 1 - Rp 2 triliun. dan pihak bank jera berurusan dengan mereka.

11 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMAI-ramai turun ke tambak udang sudah merupakan kisah masa lampau. Demam bisnis udang, yang meruyak sejak lima tahun lalu, belakangan justru membuat pengusaha terbungkuk-bungkuk memikul utang. Kredit yang macet di sektor tambak udang intensif sudah mencapai Rp 1 triliun. Hal ini diungkapkan oleh seorang pengurus Gabungan Pengusaha Petambak Udang Indonesia (Gappindo) dalam pesta panen udang di tambak milik PT Charoen Phokpand di Medan. Angka kemacetan itu bagaikan ironi, apalagi udang pernah disanjung sebagai primadona ekspor nonmigas. Menurut data Gappindo, ekspor udang dalam tonase selama lima tahun terakhir telah naik 76% hingga mencapai 100.465 ton (tahun 1992). Devisa yang diperoleh dalam periode yang sama naik dari US$ 500 juta menjadi US$ 764,8 juta. Di balik angka yang menyilaukan itu, Johannes Kittono, Ketua Kompartemen Urusan Sarana dari Gappindo, menyingkapkan bahwa dewasa ini ada 15.000 ha tambak udang intensif yang ditinggalkan pengusahanya. ''Bila biaya investasi tambak per ha sekitar Rp 5060 juta, kredit macet di sini sudah sekitar Rp 900 miliar,'' kata Johannes. Angka dari Johannes kalah dibandingkan dengan perkiraan Budhi Utomo Harjono. Menurut Direktur US Budhi Djaja ini, setiap hektare tambak intensif di Jawa Timur memerlukan investasi Rp 150 juta. Dari biaya itu, Rp 100 juta untuk lahan, diesel, lampu, dan lain-lain. Sisanya, Rp 50 juta, untuk benur, pakan, serta ongkos pemeliharaan. Dewasa ini di Jawa Timur ada 3.000 ha tambak udang intensif, tapi 2.000 ha di antaranya terbengkalai. Itu bisa dilihat di Tuban, Gresik, Situbondo, Besuki, sampai ke Banyuwangi. Dengan tambak tak produktif itu, kredit macet di Jawa Timur, menurut Budhi, bisa mencapai Rp 240 miliar. Jika perhitungan Budhi dipukul rata secara nasional, kredit macet sektor udang akan bertengger setinggi Rp 2,2 triliun. Itu belum termasuk kredit macet di cold storage yang terkait ke ekspor udang. Menurut catatan Dinas Perikanan di Jawa Timur, di provinsi ini ada 52 perusahaan cold storage, tapi yang masih beroperasi tinggal 20 pabrik. Itu pun dirundung lesu. Pengurus Gappindo menyebutkan, tiap perusahaan rata-rata berkapasitas 2.400 ton per tahun. Ekspor udang di Jawa Timur tahun lalu hanya 26.400 ton. Berarti, tiap pabrik pendingin hanya bisa mengolah 1.320 ton per tahun atau hanya 55% dari kapasitas. Persoalannnya, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia Jawa Timur, Soesilo Soebardjo, pemasokan udang makin merosot. Hal ini disebabkan oleh serangan virus (monodon baculo virus) yang sampai sekarang belum teratasi. Penyebab lain adalah bencana banjir, seperti yang terjadi Februari lalu di Jawa Timur. Tapi faktor penyebab utama adalah apa yang dikemukakan Budhi, yakni rusaknya ekosistem 2.000 ha tambak di Jawa Timur, karena kesalahan pengusaha sendiri. Budhi juga tak luput dari kelalaian itu. Dari 100 ha areal tambak yang dikelolanya, ada 30 ha yang gagal panen, 40 ha bisa menutup ongkos, dan selebihnya berhasil. Evaluasi Budhi tentang kegagalan usaha tambak udang agaknya tak meleset. T.W. Sendra, Direktur Dipasena Citra Darmaja, yang mengelola ribuan tambak rakyat di Lampung, menyatakan bahwa usahanya tak ada yang terbengkalai. Ekspor ke Jepang dan AS juga lancar. Rahasianya? Demi sukses tambak udang, ada tiga faktor yang wajib diperhatikan. Pertama, kata Sendra, menjaga lingkungan perairan yang bersih dan tidak tercemar. Untuk itu, saluran air masuk dan pembuangan harus terpisah jauh. Kedua, kualitas benur dan kontinuitas suplainya. Ketiga, menjaga manajemen air, pakan udang, serta pencegahan penyakit. Dengan tiga rahasia sukses itu, tak satu pun tambak milik PT Dipasena yang terbengkalai. ''Sembilan puluh persen beroperasi dengan baik, 10% dalam proses panen atau tebar kembali,'' tutur Sendra, yang sedikit pun tak merasa heran mendengar banyaknya tambak udang yang gagal di Jawa Timur. ''Saya rasa mereka mengabaikan ketiga hal itu,'' katanya, hati-hati. Mungkin formula Sendra yang sukses di Lampung tak jauh berbeda dengan rahasia sukses petambak di Kendal, Jawa Tengah. Di sini ada 120 pengusaha tambak, dan panen mereka relatif sukses. Dalam panen bulan lalu, yang gagal hanya 25% karena buruh kurang teliti mengurai air tambak dan memberi pakan udang. ''Namun, panen baik, tapi harga jatuh, tentu kami akan kelengar,'' kata Amanuddin, petambak di Kendal. Masalahnya, banyak petambak di sini yang terjerat ijon pada perusahaan cold storage. ''Cuma 20% yang mendapat kredit bank. Kebanyakan tak mempunyai sertifikat untuk agunan,'' kata seorang petambak. Namun, kredit bank pun tak menjadi jaminan. Elfian Mansoer, 42 tahun, tergolong pihak yang gagal. ''Tambak saya sebentar lagi akan disita bank,'' ujar petambak di Bireun, Aceh Utara, ini. Elfian memiliki 10 ha tambak, yang diusahakannya bersama seorang rekan sejak tahun 1987. Pengusaha ini mengaku mendapat kredit Rp 150 juta dari BNI dengan agunan tambak 10 ha tadi. Malangnya, panen pertama, yang mestinya dipestakan, justru pangkal keprihatinan. Harga udang, yang beberapa minggu sebelum panen masih Rp 14.000 per kg, tiba-tiba melorot menjadi Rp 6.000 per kg. Hasil panen pertama hanya mencatat Rp 40 juta tak cukup untuk membiayai putaran produksi selanjutnya. ''Paling sedikit kami butuh Rp 100 juta untuk bisa berproduksi lagi. Tapi bank tak mau lagi memberikan kredit, '' kata Elfian terus terang. Lalu, apa kata orang bank? ''Kami sayangkan kredit usaha tambak kebanyakan jatuh pada kelompok (besar) itu-itu juga. Ketika musim investasi udang, semua mau masuk. Mereka tak punya pengalaman. Ada juga yang pejabat. Katanya, pakai teknologi Jepang, Taiwan, Korea, padahal kondisinya tak cocok untuk daerah kita,'' tutur seorang pejabat urusan kredit bank pemerintah. Diakuinya, bank pemerintah penyalur kredit telah bersikap salah karena terlalu mengejar target yang dibebankan Bank Indonesia. ''Kredit miliaran dikucurkan mulus. Tapi, belum genap setahun, pengusaha sudah kelimpungan dan minta suntikan dana. Kan nggak beres manajemennya,'' kata sumber tadi. Mungkinkah bank memberikan suntikan dana segar? ''Saat ini kami harus berhati-hati, tidak bisa lagi seperti sebelumnya. Apalagi sudah ramai dibicarakan banyak tambak yang hancur,'' ujar seorang pejabat lain dari bank pemerintah. Kalaupun akan disuntikkan dana, menurut pejabat tadi, usahanya akan diteliti dulu dengan cermat oleh suatu tim. ''Kalau ternyata tidak berpeluang untuk berkembang, akan sulit ditambah kreditnya,'' kata bankir yang tak mau disebut namanya ini. Memang, ketika dulu pengusaha ramai-ramai terjun ke usaha tambak udang, motivasinya tak lain untuk memperebutkan dana murah. Maklum, kredit usaha tambak hanya 18%, sedangkan kredit usaha lain terkena bunga 22%. ''Celakanya, ada yang menggunakan kredit 70% saja untuk tambak. Selebihnya ditanam di perusahaannya yang lain, atau didepositokan.'' Apa pun salahnya, semua petambak berpendapat bahwa budi daya udang mengandung risiko tinggi. ''Bila panen gagal 1-2 kali, pengusaha tambak udang bakal kolaps,'' Johannes memastikan. Tambak udang yang dikelola secara intensif biasanya hanya berhasil baik pada panen pertama. Panen berikutnya masih lumayan, dan selanjutnya akan merugi terus. Hal ini pernah dialami Charoen Pokhpand, yang memiliki 100 ha tambak di Medan. Setelah diselidiki, ternyata itu karena limbah panen yang dibuang ke laut kembali ke tambak. Untuk mengatasi ini, perlu dibuat kolam cadangan seluas 3040% dari seluruh areal, khusus untuk memproses air limbah. Ke dalam reservoir itu dimasukkan kerang hijau, ikan, dan lumpur untuk memutuskan siklus virus yang ada dalam air laut, atau menyaring air limbah panen udang yang akan dibuang ke laut. Hasilnya seperti panen Jumat pekan lalu di tambak Pokhpand Group di Medan. Setiap hektare tambak bisa mendatangkan 7,6 ton udang kualitas ekspor. Horas, bah! Max Wangkar, Siti Nurbaiti, Biro Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus