Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKALAHAN di Mahkamah Agung belum menghentikan langkah pengurus PT Multi Agro Persada. Perusahaan sawit itu terus berusaha menyelamatkan uang yang mereka setorkan ke Yayasan Kartika Eka Paksi milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. ”Kami ingin kasus ini diadili secara fair,” kata Muladi, mantan Menteri Kehakiman yang kini menjadi komisaris PT Multi Agro, Rabu pekan lalu.
Mahkamah Agung, dalam putusan tanggal 4 Maret 2015, menyatakan pengalihan saham Yayasan Kartika Eka Paksi di PT Indotruba Tengah kepada ke PT Multi Agro pada 2008 melanggar hukum. Mahkamah Agung juga mewajibkan Multi Agro membayar ganti rugi Rp 200 miliar.
Putusan itu membuat gusar Muladi dan pengurus PT Multi Argo lainnya. Gara-gara putusan itu, Multi Agro seperti jatuh lalu tertimpa tangga. Mereka kini harus merogoh kocek dalam-dalam, setelah kehilangan 6.200 saham yang mereka beli seharga Rp 131 miliar.
Pekan lalu, PT Multi Agro memohon ”perlindungan hukum” kepada tiga lembaga. Mereka mengirimkan surat ke Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Komisi Yudisial, serta Mahkamah Agung. ”Klien kami hanya memperjuangkan haknya,” ujar kuasa hukum PT Multi Agro, Fredrik J. Pinakunary.
Bersama PT Multi Agro, pengurus Yayasan Kartika Eka Paksi periode 2004-2009 menjadi tergugat dalam perkara ini. Mereka adalah Mayor Jenderal Purnawirawan Darsono, ketua yayasan; Wahyu Hidayat, sekretaris; Joso Prayitno, bendahara; dan Siswanto, ketua bidang dana. PT Palma Sejahtera, induk usaha PT Multi Argo, juga turut menjadi tergugat. Notaris dan pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mencatatkan pengalihan saham pun ikut terseret perkara.
Jauh sebelum terjadi kisruh, menurut Fredrik, Yayasan Kartika punya saham 50 persen di PT Indotruba Tengah, yang mengelola kebun sawit seluas 6.605 hektare di kawasan Kumai, Kabupaten Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Sisa saham dimiliki Anthony Salim (25 persen) dan Andree Halim (25 persen). Belakangan, Anthony dan Andree menjual saham mereka kepada PT Minamas Gemilang dan PT Anugerah Sumber Makmur, yang berinduk pada perusahaan di Malaysia.
Bibit perkara bersemi ketika Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan berlaku. Undang-undang ini mengatur penyertaan modal dalam berbagai bentuk usaha maksimal 25 persen dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Yayasan Kartika pun ancang-ancang melepas saham di PT Indotruba.
Rencana pelepasan saham Yayasan Kartika di PT Indotruba, menurut Fredrik, mendapat ”lampu hijau” dari ketua pembina yayasan kala itu, Jenderal Djoko Santoso. Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu membuat surat persetujuan pada 21 September 2007. Pengganti Djoko, Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, memperbarui surat persetujuan pelepasan saham itu pada 14 September 2008.
Sebelum menawari pihak lain, pada 17 September 2008, Ketua Yayasan Kartika, Darsono, menawarkan dulu saham yayasan di Indotruba kepada PT Minamas dan PT Anugerah. Namun, sebulan berlalu, kedua perusahaan itu tak menanggapi tawaran yayasan. ”Waktu itu harga sawit sedang turun,” kata Fredrik.
Yayasan Kartika kemudian menawarkan saham mereka kepada PT Multi Agro. Pada 26 Desember 2008, PT Multi Argo sepakat membeli saham yayasan dengan obligasi dari PT Palma Sejahtera. Akad pengalihan saham dibuat di depan notaris. Adapun perubahan susunan pemegang saham PT Indotruba dicatatkan ke Kementerian Hukum dan HAM pada 19 Mei 2009. Selaku Ketua Pembina Yayasan, Agustadi melaporkan penjualan saham ini kepada Menteri Pertahanan melalui surat tanggal 9 November 2009.
Pengganti Agustadi, Jenderal George Toisutta, juga melaporkan pelepasan saham yayasan kepada Menteri Pertahanan pada 15 Juni 2010. Dalam surat tiga halaman itu, George menjelaskan bahwa dana hasil penjualan saham Yayasan Kartika antara lain telah dipakai untuk bantuan perumahan prajurit, dana abadi prajurit, bantuan yatim piatu anak prajurit, serta beasiswa prajurit.
Sebulan kemudian, Yayasan Kartika berubah sikap. Pada rapat tanggal 15 Juli 2010, pengurus yayasan memutuskan membeli kembali saham dari PT Multi Agro. Ketua yayasan pengganti Darsono, Djoko Daryatno, menyampaikan keputusan rapat itu kepada direksi PT Multi Agro melalui surat tanggal 20 Juli 2010. ”Adapun harga dan teknis pelaksanaannya dapat disepakati bersama,” tulis Daryatno dalam surat itu.
PT Multi Agro menolak menjual kembali saham dengan harga dua tahun sebelumnya. ”Perusahaan pun tak mau melepas saham karena memang berniat berbisnis kelapa sawit,” ujar Fredrik. Adapun kuasa hukum Yayasan Kartika, Feri Manurung, tak bersedia menjelaskan mengapa Yayasan Kartika ingin membeli lagi saham mereka.
Sebagai pemegang saham mayoritas, PT Multi Agro tak pernah menerima laporan keuangan PT Indotruba. Padahal, seiring dengan kenaikan lagi harga sawit, PT Indotruba pun meraup untung. Pada Juni 2015, misalnya, perusahaan ini membukukan laba bersih sekitar Rp 226 miliar. Tahun itu neraca keuangan perusahaan mencantumkan nilai kas dan setara kas sebesar Rp 1,24 triliun.
Permintaan PT Multi Agro untuk menggelar rapat umum pemegang saham tak dipenuhi direksi PT Indotruba. ”Pengalihan saham masih bermasalah,” kata hukum PT Indotruba, Titus Suhari. Rapat umum pemegang saham baru terlaksana pada awal 2013, setelah PT Multi Agro menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun rapat itu tak menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan Multi Agro.
Pengurus baru Yayasan Kartika lantas mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 November 2013. Djoko Daryatno dkk meminta pengalihan saham dinyatakan tidak sah. Dalam gugatannya, mereka mengutip Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Yayasan yang melarang pengurus melakukan transaksi dengan perusahaan terafiliasi.
Atas dasar pasal itu, pengurus baru yayasan mempersoalkan posisi Darsono, ketua lama yayasan yang menjadi komisaris PT Multi Agro ketika terjadi pengalihan saham. Penggugat juga menilai harga penjualan saham kala itu terlalu murah. Menurut mereka, harga saham Rp 131 miliar hanya setara dengan dividen yang diterima yayasan dalam waktu dua tahun.
Kuasa hukum Darsono, Kosasih, membenarkan bahwa kliennya merangkap komisaris dan direktur PT Multi Agro. Ia beralasan hal itu merupakan skenario berjaga-jaga. Bila PT Multi Agro ingkar janji, Darsono dkk bisa mengembalikan 50 persen saham Indotruba kepada yayasan. Setelah PT Multi Agro melunasi uang pengalihan saham, Darsono keluar dari perusahaan. ”Klien kami tak menerima satu rupiah pun dari jabatannya di PT Multi,” kata Kosasih.
Kosasih juga menepis tudingan bahwa saham Yayasan Kartika di PT Indotruba dijual terlalu murah. Menurut dia, pada semester kedua 2008, harga minyak sawit mentah sekitar Rp 4.000 per kilogram. ”Kondisi ekonomi saat itu juga masih krisis,” ujar Kosasih. Senada dengan itu, Fredrik Pinakunary menambahkan, angka Rp 131 miliar merupakan harga pasar. ”Harga itu disepakati tanpa paksaan atau tipu daya,” ucap Fredrik.
Darsono telah mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan dia menanggung renteng ganti rugi Rp 200 miliar. Namun, pada 31 Mei 2016, Mahkamah Agung menolak permohonan PK itu. Kamis pekan lalu, Mahkamah Agung pun mengembalikan berkas PK yang diajukan PT Multi Agro. Alasan Mahkamah, PT Multi Agro mengajukan permohonan peninjauan kembali atas perkara yang sama dengan permohonan Darsono. ”Darsono dan klien kami punya kepentingan berbeda. Seharusnya Mahkamah tetap memeriksa permohonan kami,” ujar Fredrik.
Ketua Yayasan Kartika Eka Paksi saat ini, Adi Mulyono, belum bisa dimintai tanggapan. Dia tak menjawab surat permohonan wawancara yang dikirim ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Rabu dua pekan lalu. Adi pun tak mengangkat telepon dan membalas pesan pendek yang Tempo kirim. Adapun pengacara Yayasan Kartika, Feri Manurung, meminta semua pihak menerima putusan Mahkamah Agung. ”Kalau sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap, ya, hormati saja,” kata Feri. ABDUL MANAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo