Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Fatwa Ganjil di Kampus Seni

Paham mengharamkan menggambar makhluk hidup berkembang di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tak sejalan dengan pengembangan ilmu.

5 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAKI Arok Subagyo masygul dengan bergeliatnya pemahaman yang melarang menggambar makhluk hidup di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa ISI Yogyakarta ini menyatakan kebebasan akademis di kampus seni itu telah dibajak oleh sekelompok dosen dan mahasiswa yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Buat Caki, gerakan itu berbahaya karena sesungguhnya HTI merupakan gerakan politik transnasional yang menentang konsep negara-bangsa dan menganggap demokrasi sebagai setan. Pandangan HTI, kata Caki, bertentangan dengan Pancasila, dasar negara Indonesia. ”HTI tak menghargai tradisi, karakter, dan kearifan lokal yang selama ini tumbuh subur di ISI,” ujarnya di Yogyakarta, Senin dua pekan lalu.

Kekesalan Caki terhadap paham radikal HTI pernah dia sampaikan bersama 300-an orang, di antaranya mahasiswa, petinggi kampus, dosen, alumnus, dan seniman. Mereka berdemonstrasi menolak HTI di kampus ISI di Sewon, Bantul, pada Jumat pekan kedua Juni lalu. Tiga hari berikutnya, di tempat yang sama, mereka bertadarus kebudayaan melawan HTI. Dalam pengajian ini, mereka menyuarakan pentingnya pemahaman Islam yang toleran dan menghormati kemajemukan, dengan mengundang kiai dan intelektual muslim.

Alumnus ISI Yogyakarta, A. Anzieb, yang bergabung dalam gerakan menolak HTI, mengatakan ideologi mengharamkan gambar manusia dan binatang disebarkan oleh sejumlah dosen. Anzieb mencatat tujuh dosen di ISI anggota HTI. ”Mereka tersebar di Jurusan Seni Rupa Murni, Jurusan Desain, dan Jurusan Seni Kriya,” katanya. Tujuh dosen ini telah aktif di HTI sejak masih mahasiswa. ”Kini anggota HTI di kampus itu berjumlah ratusan orang,” ujarnya.

Seorang mahasiswa ISI bekas anggota HTI mengatakan organisasi ini paling rajin melakukan kaderisasi dengan mengajak mahasiswa baru ikut pengajian. HTI mengajarkan akidah hingga sistem negara khilafah. Mereka ingin menyatukan Islam di dunia dengan satu pemimpin. ”Hizbut Tahrir ingin mengubah Indonesia menjadi negara berdasarkan syariat Islam,” kata mahasiswa itu. Dalam urusan kesenian, HTI hanya mengizinkan seni melukis kaligrafi. Dalam salat Jumat di masjid kampus, selain menyampaikan ide khilafah, pengkhotbah dari HTI menyisipkan pesan agar jemaah tak menggambar atau membuat figur makhluk hidup.

Pembantu Rektor Anusapati mengatakan dosen yang berafiliasi ke HTI—seorang di antaranya bernama Aruman—menyatakan menolak mengajarkan kuliah anatomi plastis yang mempelajari anatomi tubuh manusia dan hewan. Padahal semua mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI wajib ikut mata kuliah itu. Anusapati juga mengatakan seorang dosen muda yang ketika mahasiswa paling menonjol dalam bidang anatomi plastis menolak mengajarkan mata kuliah itu. ”Ini sungguh bertentangan dengan pengembangan ilmu dan merepotkan kami,” ujarnya.

Aruman tak peduli terhadap gencarnya penolakan atas HTI di kampus ISI. Menurut dia, kuliah anatomi plastis bertentangan dengan keyakinannya. ”Saya maunya yang sesuai dengan akidah,” kata Aruman. HTI menyatakan menggambar atau membuat figur makhluk hidup dua dimensi atau membuat patung tiga dimensi merupakan tashwiir. Menurut pemahaman HTI, tashwiir haram.

Aruman mengklaim 90 persen mahasiswa ISI merupakan muslim yang tidak diberi ruang mempertahankan keyakinannya. HTI ingin menerapkan keyakinan mahasiswa muslim di ISI. ”Itu kan bagian dari kebebasan,” ujarnya. Menanggapi ini, Caki menuding HTI selalu bersembunyi di balik kebebasan. ”HTI selalu bersuara atas nama kebebasan dan demokrasi. Sesuatu yang paradoks, padahal mereka mengharamkannya,” katanya.

Prihandoko (Jakarta), Shinta Maharani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus