Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKMUR Hasugian hanya bisa menangis mengingat perbuatan anak lelakinya. Didampingi Arista Boru Purba, istrinya, Makmur menyampaikan permohonan maaf atas tindakan anaknya meneror Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Ahad dua pekan lalu. ”Kami memohon maaf karena perbuatannya,” kata Makmur, berurai air mata, di Medan, Kamis pekan lalu.
Anak Makmur—sebut saja bernama Irwan—baru 17 tahun. Dia melakukan percobaan bom bunuh diri di gereja itu, tapi gagal. Tak berhasil meledakkan bom, ia mengejar dan berusaha menusukkan pisau ke tubuh Pastor Albert Pandiangan, yang memimpin ibadat. Namun upaya itu digagalkan jemaat. Polisi meringkus Irwan dan menetapkannya sebagai tersangka tindak pidana terorisme.
Arista mengatakan, pada Ahad itu, Irwan bangun ketika azan subuh di masjid Gang Sehati, Tanjung Sari, Medan, berkumandang. Menurut dia, Irwan biasa melakukan salat berjemaah di masjid tak jauh dari rumahnya itu. Sebelum berangkat ke masjid, Irwan mengenakan jubah, baju panjang yang lazim dikenakan pria Timur Tengah. Seusai salat, Irwan balik ke rumah dan masuk ke kamarnya.
Sekitar pukul 06.30, Irwan pamit hendak memperbaiki ritsleting ransel cokelat miliknya. Ia juga bilang akan singgah di Indomaret Pasar II Tanjung Sari untuk membeli voucher permainan digital dalam gawai. Setelah Irwan meninggalkan rumah dengan sepeda motor, Arista menutup pintu dan kembali tidur.
Pada pukul 09.30, Arista mendadak bangun karena ada suara ketukan pintu rumah. Begitu membuka pintu, ia kaget. ”Saya terperanjat, sudah banyak polisi berjejer dan mengabarkan anak saya membawa bom,” katanya. Ia segera membangunkan Makmur. Arista berusaha meyakinkan polisi, ”Tak mungkin anak kami membawa bom.”
Agar yakin oleh kabar dari polisi, Arista menyalakan televisi. Benar saja, stasiun televisi menyiarkan berita percobaan bom bunuh diri di Medan. Polisi menyodorkan surat tugas penggeledahan kepada Arista. Polisi menggeledah rumah itu hampir dua jam dan menyita tiga unit laptop, beberapa batang pipa, kabel, serta alat pemicu bom.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Nurfalah menyatakan Irwan melakukan serangan itu seorang diri. ”Ia pelaku tunggal,” katanya. Pernyataan Nurfalah berbeda dengan kesaksian Ketua Dewan Pastoral Gereja Santo Yosep, Benar Ginting. Menurut Benar, di dalam gereja, Irwan duduk di barisan bangku tengah seraya menggendong tas dan menyamar sebagai anggota jemaat. Benar melihat pula, di sebelah kanan Irwan, beberapa orang yang tak biasa beribadat di gereja itu. ”Saya hafal jemaat yang beribadat di sini,” ujar Benar.
Kesaksian Benar Ginting dikuatkan Anta Ginting, yang duduk lima meter dari Irwan. Ketika bom Irwan hanya memercikkan api dan mengepulkan asap, jemaat yang duduk di samping kiri Irwan berhamburan ke luar gereja. Tapi beberapa orang di kanan Irwan bergeming. Gagal meledakkan bom, Irwan berlari ke altar hendak menghunjamkan pisau ke tubuh Pastor Albert. ”Pada saat itu, saya lari ke depan altar. Saya tendang pelakunya. Lalu saya rebut pisaunya,” kata Anta.
Kesaksian Evodius Tarigan, anggota jemaat yang lain, juga semakin menegaskan Irwan tak sendirian melancarkan aksinya. Ia mengenali sepeda motor yang dipakai Irwan. Evodius pagi itu datang ketika gereja masih sepi. Ia melihat Irwan tiba di halaman gereja membonceng seorang laki-laki. Mereka pengendara sepeda motor yang paling awal tiba di halaman gereja, sekitar pukul 07.15. Ibadat baru dimulai pada pukul 08.00. Evodius juga menyaksikan dua pria lain berboncengan sepeda motor tiba bersama Irwan. Berbeda dengan Irwan, mereka memarkir sepeda motor di luar pagar gereja. ”Saya yakin pelakunya bukan seorang diri,” ujar Evodius.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menduga Irwan belajar membuat bom berdasarkan rujukan di media berbasis Internet. Bom buatan Irwan sederhana, mirip mercon, sehingga ledakannya tak sempurna. ”Kami anggap sementara dia pelaku tunggal,” kata Tito.
Kepada penyidik, Irwan menyatakan bertemu dengan seseorang yang memberinya uang Rp 10 juta pada Kamis dua pekan sebelum kejadian tersebut. Orang ini selanjutnya mementori Irwan merakit bom. Orang itu juga memberi Irwan kabel dan sekantong bubuk bahan bom dari urea. Selanjutnya, Irwan merangkai barang ini menjadi bom rakitan.
Kepala Divisi Humas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menyatakan pandangan agama Irwan berubah sejak dua tahun lalu, ketika ia duduk di Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Medan. Irwan lulus dari sekolah itu pada Mei lalu. Ia tidak kuliah dan belum bekerja. Kakak Irwan, Eva Hasugian, menyebutkan adiknya pernah mencoba bom di lantai dua rumahnya, dua hari sebelum serangan teror di gereja tersebut.
Arista juga mengakui cara beragama Irwan berubah drastis. Misalnya, pada Lebaran Juli lalu, Irwan menolak bersalaman dengan neneknya yang Kristen. Bahkan dia mengenakan sarung tangan dulu sebelum bersalaman. Sikap radikal Irwan juga kerap dilawan kakak kandungnya yang lain, Ivo Andika Hasugian. Karena Irwan kesal dinasihati, mereka kerap bertengkar.
Seperti pada Irwan, radikalisme mencengkeram pemikiran Zefrizal Nanda Mardani sejak masih duduk di bangku SMA. Kini Zefrizal telah berusia 23 tahun. Setamat SMA, Zefrizal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Tapi, sejak setahun lalu, Zefrizal entah berada di mana.
Sejumlah dosen dan mahasiswa Universitas Airlangga mendengar kabar Zefrizal bergabung dalam Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Polisi Detasemen Khusus 88 Antiteror juga pernah menyelidiki kegiatan Zefrizal karena ia diduga masuk jaringan teroris. ”Sudah setahun ia tidak mendaftar ulang dan tidak membayar uang kuliah,” kata Direktur Akademik Universitas Airlangga Ni Nyoman Tri Puspaningsih.
Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Trenggalek, Jawa Timur, Zefrizal meraih medali emas Olimpiade Astronomi Internasional di Ukraina. Menurut Radan, ayahanda Zefrizal, ketika mempersiapkan diri ikut Olimpiade yang berlangsung pada November 2007, Zefrizal harus bolak-balik Trenggalek-Bandung selama enam bulan. ”Sejak itu, ia mulai suka membaca buku-buku agama,” ujar Radan.
Setamat SMP, Zefrizal masuk SMAN 1 Trenggalek pada 1999. Di sekolah, ia aktif di Seksi Kerohanian Islam (SKI). Habibulah, 50 tahun, guru agama Islam sekaligus pembimbing SKI, tak tahu pasti sejak kapan Zefrizal menjadi radikal. Yang pasti, kata Habibulah, ia pernah mendapat laporan dari sejumlah anggota SKI bahwa Zefrizal menolak menghormat ke bendera Merah Putih saat upacara. ”Kepada temannya, Zefrizal bilang hormat bendera haram,” ucap Habibulah.
Sekolah menegur Zefrizal, tapi ia hanya diam. Zefrizal tetap menolak melakukan hormat bendera. Habibulah juga menyaksikan Zefrizal mendadak selalu mengenakan jubah ketika menjalankan salat di masjid sekolah. Seperti murid lain, biasanya Zefrizal melakukan salat dengan mengenakan seragam sekolah. Habibulah menduga Zefrizal mendapat pengaruh radikal dari luar sekolah. Suatu hari, Habibulah mendapati Zefrizal menerima kiriman buku-buku agama yang ditujukan ke alamat sekolah dari pengirim di Yogyakarta. Zefrizal juga gemar berselancar di dunia jejaring Internet. ”Ia punya banyak peranti lunak dan sangat ahli komputer,” ujar Habibulah.
Mirip dengan yang dialami Irwan dan Zefrizal, paham radikal agama merasuk ke kepala Muhammad Alfian Nurzi. Lelaki 24 tahun ini diduga bergabung dalam ISIS di wilayah Suriah pada Maret tahun lalu. Polisi menyatakan Alfian terpikat pada ISIS melalui pertemanan di Facebook dan perbincangan tertulis via telepon seluler. Mahasiswa perguruan tinggi di Pontianak ini sebenarnya anak muda gaul yang aktif di Pontianak Photographer Community. Alfian biasa menerima order foto pernikahan dan pranikah.
Tito Karnavian menyatakan, belakangan ini, banyak anak muda di Indonesia terlibat kelompok radikal akibat cuci otak yang menyebar lewat media sosial. ”Mereka mendapat pemahaman agama yang salah sehingga terlibat kegiatan terorisme,” ujar Tito. Temuan survei Wahid Foundation, lembaga yang mengembangkan pemikiran Islam moderat, kemajemukan, dan demokrasi, menguatkan pernyataan Tito.
Berdasarkan survei nasional ”Potensi Radikalisasi & Intoleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Muslim di Indonesia” yang dirilis pada awal Agustus lalu, hampir delapan persen dari 1.520 responden memiliki sikap sosial beragama yang radikal. Mereka bersedia dan bahkan pernah melakukan kekerasan atas nama agama. Misalnya melakukan sweeping dan berdemonstrasi menentang kelompok yang dinilai menodai dan mengancam kesucian Islam.
Penelitian yang dikerjakan bersama Lembaga Survei Indonesia itu menggambarkan, setidaknya 11 juta dari 150 juta muslim Indonesia bersedia bertindak radikal. ”Ini sungguh mengkhawatirkan,” kata A.A. Nugroho, manajer riset program di Wahid Foundation. Sunudyantoro, Avit Hidayat (Jakarta), Hari Tri Wasono (Trenggalek), Sahat Simatupang (Medan), Edwin Fajerial (Surabaya)
Bibit-bibit Radikalisme
SURVEI yang digelar Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia menunjukkan sebagian besar responden tidak bersedia bersikap radikal. Namun ada satu gejala mengkhawatirkan, yakni sebanyak 0,4 persen responden pernah melakukan tindakan radikal.
Selain itu, 7,7 persen responden menyatakan bersedia ikut kegiatan radikal. Misalnya melakukan sweeping, berdemonstrasi menentang kelompok yang dinilai menodai Islam, dan menyerang rumah ibadah agama lain.
Jika dikonversi dengan jumlah penduduk, ada sekitar 11 juta orang di Indonesia yang bersedia ikut tindakan radikal. Hasilnya, faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan ini adalah pemahaman agama Islam yang literal atau harfiah.
Sikap jika warga negara nonmuslim menjadi presiden
tidak tahu:10,4%
Keberatan: 47,9%
tidak Keberatan: 41,7%
Sikap terhadap pembangunan tempat ibadah nonmuslim
tidak tahu:6,9%
Keberatan:52%
tidak Keberatan: 41,1%
Pengalaman yang terkait dengan radikalisme
2,6% Pernah menyerang tempat ibadah agama lain
11,9% Pernah mendemo kelompok yang dinilai menodai kesucian Islam
13,5% Pernah ikut merencanakan sweeping
15,9% Pernah meyakinkan orang lain untuk ikut memperjuangkan syariat Islam
18,7% Pernah menyumbang untuk organisasi yang memperjuangkan syariat Islam
Demografi responden yang pernah ikut tindakan radikal
Tingkat pendidikan: 50 persen tamat SD, 50 persen tamat SMP
Penghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan: 66,67%
Domisili di perdesaan: 83,33%
Kelompok yang paling tidak disukai
Sebanyak 59,9 persen responden menyatakan ada kelompok yang tidak disukai. Tiga teratas:
1. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender: 26,1%
2. Komunis: 16,7%
3. Yahudi: 10,6%
Persetujuan jika hidup bertetangga dengan kelompok yang tak disukai
Tidak setuju: 83%
Setuju: 10%
Tidak tahu/tidak jawab: 7%
Persetujuan jika kelompok yang tak disukai berpidato di depan masyarakat
Tidak setuju: 88%
Setuju: 5%
Tidak tahu/tidak jawab: 7%
Persetujuan jika kelompok tak disukai berpawai
Tidak setuju: 89%
Setuju: 6%
Tidak tahu/tidak jawab : 5%
Persetujuan jika kelompok tak disukai mengajar di sekolah negeri
Tidak setuju: 90%
Setuju: 6%
Tidak tahu/tidak jawab: 4%
Persetujuan jika kelompok tak disukai menjadi pejabat pemerintah
Tidak setuj: 92%
Setuju: 4%
Tidak tahu/tidak jawab: 4%
Skor Radikalisme Sosial-Keagamaan
72% Mayoritas muslim Indonesia menolak tindakan radikal
7,7% Hanya 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan
0,4% Pernah melakukan tindakan radikal
*Dari sisi POTENSI cukup mengkhawatirkan.
Proyeksi terhadap sekitar 150 juta muslim Indonesia: 7,7 persen = 11 juta, dan 0,4 persen = 600 ribu.
Keterangan: Survei dilakukan terhadap 1.520 responden pada 30 Maret-9 April 2016 dengan metode wawancara tatap muka. Ambang batas kesalahan survei 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo