Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cerita Janggal Dua Jagal

Pembunuhan sadis terjadi di Bandung. Korbannya, seorang manajer perusahaan jasa pembiayaan, tewas dibacok setelah diseret sejauh hampir satu kilometer. Pengakuan dua pelakunya dinilai sarat kejanggalan.

18 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan langsing berkulit putih itu membuka pintu gerbang rumah di sisi barat jalan. Di depan gerbang, mobil Nissan Livina X Gear miliknya terparkir menyerong. Mesin mobil masih menyala. Pintu di samping kemudi masih terbuka. Sore itu, Senin, 5 Agustus lalu, Franceisca Yofie baru pulang dari kantornya. Suasana di sekitar rumah kosnya di Jalan Setra Indah Utara II itu lengang. Azan magrib baru berkumandang. Sebagian besar penghuni rumah di kawasan elite di utara Bandung tersebut menikmati buka puasa mereka.

Sibuk membuka pintu gerbang, perempuan 34 tahun yang biasa dipanggil Sisca itu tak melihat dua pria berjaket hitam yang memarkir sepeda motor sekitar sepuluh meter di belakang mobilnya. Sisca terperanjat ketika dua lelaki itu mendekat dan membentak. Dia pun meronta-ronta ketika mereka mencengkeram tangannya. Lalu, bret, sebuah sabetan golok ke kepalanya mengakhiri perlawanannya. Perempuan itu pun tersungkur. "Tapi, sewaktu reka ulang, goloknya diganti sapu," kata Rudy Arthur Sinurat, anak pemilik rumah kos, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Rudy tak melihat langsung pembacokan itu. Saat itu, sekitar pukul 19.30, dia hanya menemukan mobil Sisca yang mesinnya masih menyala halus. Kala ia menanyakan perihal Sisca kepada kedua orang tuanya, mereka pun tak tahu di mana keberadaan perempuan itu. Tak menemukan Sisca, malam itu dia memasukkan mobil milik perempuan tersebut ke halaman rumah.

Rudy baru mengetahui detail penganiayaan sehari kemudian ketika dua anggota Kepolisian Resor Sukajadi mendatangi rumahnya. Polisi datang bersama pemuda bernama Yadi. Di depan keluarga Rudy, Yadi mereka ulang peristiwa yang dia saksikan sore itu.

Waktu itu, demikian menurut Yadi, dia baru keluar dari gang setelah mengunjungi rumah kerabatnya. Ketika itu, ia melihat dua lelaki yang salah satunya memegang golok. Takut kepergok, ia mengintip yang dilakukan dua pria itu dari ujung Gang Tuker, sekitar 20 meter dari rumah kos Sisca. Yadi menyatakan tak bisa melihat tampang kedua lelaki itu karena terhalang helm yang menutupi penuh wajah keduanya.

Setelah membacok, kedua lelaki itu menyeret tubuh Sisca dengan sepeda motor Suzuki Satria yang mereka kendarai. Sambil memegang golok, pria yang membonceng menarik tubuh Sisca yang telungkup di sebelah kiri sepeda motor. Kepada polisi dan Rudy, Yadi mengaku tak melihat dengan jelas apa yang dicengkeram si penyeret: rambut Sisca atau baju bagian atas.

Menurut polisi, dari depan rumah kosnya, tubuh Sisca diseret ke arah selatan, menelusuri jalan menurun dan berlapis kerikil. Di ujung jalan, sepeda motor belok kiri memasuki jalan berlubang. Di depan sebuah warung, di sebelah selatan rumah kos Sisca, sepeda motor oleng dan hampir menabrak mobil rusak yang terparkir di pinggir jalan. Kepada Tempo, seorang saksi mata mengaku melihat tubuh Sisca yang diseret sepeda motor tersebut. "Kejadiannya sangat cepat. Saya hanya melihat kepala korban masih bergerak-gerak," kata penjaga yang tak mau disebutkan namanya.

Seorang saksi mata lainnya, Reza, menyatakan juga melihat diseretnya tubuh Sisca. Saat itu, dia mengira yang diseret adalah boneka berbentuk manusia. Reza baru sadar bahwa itu bukan boneka ketika mendengar jeritan dari "boneka" tersebut. "Korban seperti diseret dengan cara rambutnya dipegang dari atas," ujar pria 30 tahun yang juga pemilik sebuah salon itu.

Menurut polisi, tubuh Sisca saat itu terus dieret-eret melewati persimpangan Jalan Sukamulya, menuju persimpangan Jalan Cipedes. Di sini sepeda motor lalu belok kanan, masuk Jalan Cipedes Tengah menuju lapangan Abra. Di Jalan Cipedes Tengah itulah kejadian tersebut terekam kamera pengintai (CCTV) yang terpasang di dua rumah penduduk, sekitar 200 meter sebelum lapangan Abra. Namun rekaman itu pun tak menangkap jelas sosok pelaku dan korban karena jalan kurang penerangan.

Sisca ditemukan penduduk tergolek di Jalan Cipedes Tengah, sekitar seratus meter sebelum lapangan Abra. "Sewaktu ditemukan, dia masih bernapas," kata Eman, warga yang berdiam di sekitar lapangan Abra. Setelah menghubungi polisi, beberapa penduduk membawa Sisca ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Tapi Manajer Cabang PT Verena Multi Finance Bandung itu tak tertolong. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dengan luka bacok di kepalanya.

Rabu pekan lalu, Tempo menyusuri rute yang dipakai para pembunuh Sisca menyeret perempuan berhidung mancung tersebut, dari depan rumah kosnya hingga tempat ia ditemukan meregang nyawa. Speedometer yang dipakai Tempo menunjuk jarak 800 meter. Sepanjang itulah tubuh Sisca diseret-seret. "Pembunuhan itu dilakukan dengan sangat sadis," ucap Kepala Kepolisian Sektor Sukajadi Kota Bandung Ajun Komisaris Sumi.

n n n

Polisi semula menyatakan pembunuhan Sisca diduga karena dendam. Alasan polisi, tak ada barang berharga milik korban yang hilang. Dugaan motif dendam diperkuat tulisan dalam akun Facebook milik Sisca. Pada 30 April lalu, misalnya, Sisca mencaci seseorang yang mengunjungi makam ibunya, sepekan setelah sang ibu meninggal.

Menurut Sisca, ibunya sebelum meninggal menyatakan tak mengizinkan orang itu menengok makamnya. Soalnya, orang tersebut pernah memenjarakan ibunya. Polisi juga "mempelajari" akun Facebook Sisca itu. Tapi kepada wartawan, dua hari setelah pembunuhan Sisca, polisi belum mengetahui orang yang dimaksud Sisca itu. "Kami belum tahu siapa yang dimaki," ujar Ajun Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Bandung.

Lima hari setelah pembunuhan, seorang pria bernama Saefullah alias Ade, 30 tahun, datang ke Markas Polrestabes Bandung. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul barang rongsokan dan tinggal di simpang Jalan Sukamulya—letaknya relatif tak jauh dari tempat kos Sisca—itu mengaku sebagai pembunuh Sisca. Ade mengaku melakukannya bersama pamannya, Wawan. Berdasarkan pengakuan Ade, polisi lantas menyergap Wawan di kawasan­ Ciranjang, Cianjur.

Kepada polisi, Ade dan Wawan mengaku tak sengaja membunuh Sisca. Awalnya, kata Ade, dia diajak Wawan mencari sumbangan untuk perayaan 17 Agustus. Wawan kemudian menyuruhnya meminum sebotol bir dan kemudian menunjukkan sebilah golok. Ade pun tahu bahwa Wawan sebetulnya ingin mengajak dia menjambret, bukan mencari sumbangan. Nah, sasarannya saat itu, setelah mereka keliling-keliling beberapa saat, Sisca yang sedang membuka pagar rumah kosnya.

Menurut Ade, Sisca melawan ketika tasnya direbut. Melihat hal ini, Wawan lalu menyikut Sisca dan membacoknya. Sisca tersungkur di belakang roda belakang sepeda motor Ade. Rambut panjang Sisca yang tersibak pun masuk ke gir roda, dan akhirnya dia terseret.

Ade mengaku baru tahu korbannya terseret ketika dia merasakan sepeda motornya tak bisa dipacu kencang. Namun saat itu ia terus melarikan kendaraan sampai dekat lapangan Abra. Di sana, menurut Ade, Wawan turun dan memotong rambut Sisca dengan goloknya. Ade dan Wawan pun mengaku menggondol sebuah iPhone dan uang Rp 1 juta dari tas Sisca. Takut terlacak, iPhone itu mereka buang di Waduk Saguling, Bandung Barat.

Polisi sudah melakukan rekonstruksi pembunuhan Sisca berdasarkan pengakuan Wawan dan Ade. Keduanya juga sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Sisca. Tapi, perihal pembunuhan yang diawali dengan perampasan tas dan bagaimana Sisca terseret, banyak pihak yang tak mempercayainya. Apalagi jika dihubungkan dengan peristiwa sebelumnya yang terjadi di sekitar tempat kos Sisca. Sejumlah saksi mata yang ditemui Tempo juga yakin tubuh Sisca terseret bukan karena rambutnya terbelit di roda sepeda motor, melainkan sengaja diseret untuk kemudian dihabisi.

Seorang petugas keamanan lingkungan tempat Sisca kos, sebut saja namanya Suganda, misalnya, kepada Tempo menuturkan pernah memergoki lima pemuda yang sering mengawasi rumah kos Sisca menjelang bulan puasa tahun lalu. Mereka datang hampir setiap pagi dan sore, seperti mempelajari kebiasaan Sisca pulang dan pergi. Kepada Suganda, pemuda itu mengaku diperintah seorang polisi untuk mengawasi perempuan yang tinggal di rumah tersebut. "Katanya perempuan itu membawa barang negara," ujar Suganda.

Karena merasa tak nyaman, Suganda "mengusir" para pengintai itu dari lingkungan tempat dia berjaga. Mereka lalu pindah ke dekat sebuah kios, sekitar 50 meter arah selatan rumah kos Sisca. "Anak-anak dekat kios itu juga enggak suka sama mereka," kata Suganda.

Soal intai-mengintai juga diceritakan seorang teman Sisca yang mengunjungi rumah keluarga Sisca di Gang Pasantren, Jalan Pagarsih, Kota Bandung. Dua hari sebelum dibunuh, Sisca pernah menelepon temannya itu. "Dia cerita merasa ada yang membuntuti," kata kerabat Sisca yang menolak disebut namanya.

Cerita itu diperkuat Rudy, putra pemilik rumah tempat Sisca kos. Rudy mengaku tiga kali memergoki lelaki bersepeda motor Suzuki Satria yang hampir seluruh aksesorinya dicopoti. Ahad malam sebelum Sisca meninggal, sepeda motor "terondol" yang sama terparkir sekitar 100 meter dari rumah milik orang tua Rudy. "Bukan hanya saya, warga lain juga ada yang melihat," ucap Rudy.

Hasil pemeriksaan tim forensik Rumah Sakit Hasan Sadikin menyebutkan Sisca meninggal karena kehabisan darah. Tim forensik menemukan pada kepala Sisca ada tiga luka seperti bekas sabetan senjata tajam. "Satu luka, yang besar, di dahi kanan. Dua luka di kepala bagian belakang," ujar anggota tim forensik, Noorman Herryadi.

Menurut Noorman, rambut Sisca di bagian belakang memang ada yang terpotong. Namun tim forensik tak menemukan kulit kepala yang terkelupas. Di rambut Sisca yang tersisa, tim forensik pun tak menemukan bekas pelumas gir sepeda motor. Apakah Sisca diseret dengan dipegang rambutnya atau rambutnya tersangkut di gir motor, kata Noorman, pihaknya tak bisa menyimpulkan.

n n n

Sebelum Ade menyerahkan diri, polisi menemukan sebuah "petunjuk" tak biasa. Ketika menggeledah kamar kos Sisca, beberapa penyelidik polisi menemukan sejumlah surat dan foto yang menunjukkan hubungan pribadi Sisca dengan Komisaris Polisi Albertus Eko Budi, yang kini bertugas di Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Dalam beberapa surat itu, Sisca menumpahkan kekesalannya kepada sang polisi. Dalam satu surat, misalnya, Sisca menyebutkan tak mau punya anak dari Eko, yang sudah beristri. Bahkan Sisca pernah mengirim surat kepada istri Eko. "Di surat itu dia bilang tak mau lagi sama Eko, tapi Eko masih mengejar dia," ujar Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Suhardi Alius kepada Tempo.

Untuk menelisik hubungan pribadi Sisca dengan Eko, menurut Suhardi, Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) sudah memeriksa Eko. Tim Propam masuk karena menduga ada pelanggaran disiplin: Eko menjalin hubungan dengan wanita lain setelah menikah.

Kepada tim Propam, Eko mengakui memang pernah memiliki hubungan khusus dengan Sisca. Dia mengatakan menjalin hubungan dengan Sisca karena sudah sebelas tahun menikah tapi belum punya anak. Eko juga mengakui pernah meminta mantan anak buahnya memata-matai Sisca. Ia berdalih pengintaian itu bukan untuk menyakiti Sisca. Sebaliknya, dia melakukan itu karena masih menyayangi Sisca.

Soal Eko, kata Suhardi, sejauh ini polisi belum menemukan petunjuk bahwa lulusan Akademi Kepolisian Angkatan 1997 itu terlibat pembunuhan Sisca. Menurut Suhardi, saat diperiksa, Wawan dan Ade menyatakan tak mengenal Eko. Karena itulah kasus ini akan "ditutup" dengan menjadikan Wawan dan Ade sebagai tersangka utama. Tak ada pihak yang lain yang terlibat atau memerintahkannya. "Tapi, kalau kelak ada bukti Eko terlibat, akan saya perintahkan kasus ini dibuka lagi," ujar Suhardi.

Febriyan (Jakarta Erick P. Hardi, Risanti (Bandung)


Cinta Barbie Berujung Benci

Hangat dalam pergaulan sehari-hari, tapi tertutup sama sekali untuk urusan pribadi. Itulah sosok Franceisca Yofie di mata bawahannya di kantor PT Verena Multi Finance Cabang Bandung. "Kalau bercanda sering pakai kata elu-gue," ujar Anto, salah seorang karyawan PT Verena, pekan lalu. Tapi, untuk urusan pribadi, "Jangan coba-coba untuk tanya-tanya," ia melanjutkan.

Sisca—demikian perempuan ayu ini dipanggil—baru empat bulan menjadi manajer di kantor perusahaan layanan pembiayaan itu. Kendati baru beberapa bulan, menurut Anto, dia sudah akrab dengan hampir semua pekerja kantor cabang. Sebagai bos, ia tak sungkan-sungkan makan bersama bawahannya di warung nasi sederhana sekitar kantor.

Saking akrabnya, bawahan Sisca sampai punya panggilan khusus untuk si bos: Ibu Barbie. Itu lantaran perawakan Sisca yang tinggi langsing, kulitnya yang putih, dan penampilannya yang selalu modis. Sisca pun tak pernah marah bila ada anak buahnya yang keceplosan memanggilnya "Ibu Barbie".

Meski terkesan guyub, perjalanan karier Sisca tak banyak diketahui bawahannya. Kepala divisi operasi di kantor PT Verena Bandung, Asri, mengatakan Sisca diangkat oleh kantor pusat. "Semua lamaran ke pusat. Kami tidak tahu sebelumnya dia bekerja di mana," kata Asri.

Di mata Asri dan rekan-rekannya, Sisca adalah tipe pekerja keras dan berdisiplin. Ia selalu tiba di kantor sebelum pukul 08.30. Di bawah kepemimpinan Sisca, kinerja kantor cabang perusahaan leasing pembelian mobil itu pun membaik. "Angsurannya sekarang dari Rp 1,7 juta hingga Rp 4 juta per hari," ujar Anto.

Kepada bawahan, Sisca tak pernah bercerita urusan di luar pekerjaan. Suatu hari, misalnya, seorang karyawan pernah menanyakan alamat tinggal Sisca. Meski tak sampai marah, Sisca waktu itu terdiam. Sejak itu, Anto dan kawan-kawan tak pernah berani lagi bertanya soal urusan pribadi atasannya tersebut.

Sisi pribadi kehidupan Sisca sedikit terkuak justru setelah dia terbunuh. Sumber-sumber di kepolisian yang pertama kali mengungkapkan bahwa Sisca pernah menjalin "hubungan khusus" dengan rekan mereka yang berpangkat komisaris polisi yang sudah beristri.

Hubungan khusus itu tersingkap secara kebetulan. Sewaktu menggeledah kamar kos Sisca, polisi menemukan buku harian, surat, dan foto yang merekam hubungan Sisca dengan Albertus Eko Budi. Tak semua petunjuk itu mencerminkan hubungan mesra. Sebagian surat dan catatan Sisca justru merekam kemarahan lulusan teknik sipil Universitas Parahyangan itu kepada Eko, sang polisi.

Sewaktu diperiksa tim Bidang Profesi dan Pengamanan, Eko mengaku mengenal Sisca ketika bertugas sebagai Kepala Unit Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Kepolisian Sektor Kota Astana Anyar, Bandung, pada 2002. Perkenalan mereka terputus pada 2004, ketika Eko meninggalkan Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta. Setelah lulus, Eko sempat bertugas di Gorontalo.

Pada 2010, Eko kembali ke Bandung. Dia bertugas di Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Barat. "Setelah ketemu lagi, mereka mungkin pacaran. Padahal Eko sudah menikah," kata Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Suhardi Alius.

Tapi pertemanan Sisca dan Eko tak berjalan mulus. Setelah hubungan asmaranya retak tahun lalu, Ibu Barbie dan Pak Polisi bahkan pernah terlibat perseteruan hebat. Eko menuding Sisca menggelapkan mobil yang dia pinjamkan. Dalam urusan ini, Eko menyeret ibunda Sisca, Tan Hay Kim, ke kantor polisi. Langkah Eko itu sangat menyakitkan bagi Sisca.

Sepekan setelah ibunya meninggal, April lalu, Sisca mengumbar kemarahannya itu di jejaring sosial Facebook. Di situ tergambar betapa bencinya dia kepada Eko.

Febriyan (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus