Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melia Handoko tak menyangka rumahnya "dikepung" sekitar 30 polisi. Kamis akhir Juni lalu, dipimpin Suzana Diaz, penyidik Markas Besar Kepolisian RI, sejumlah penyelidik meminta perempuan 53 tahun itu menyerahkan akta jual-beli sebuah rumah di Jalan H.O.S Cokroaminoto Nomor 99, Menteng. Itulah rumah yang menjadi obyek sengketa ini dengan Chenny Kolondam, 56 tahun, yang tak lain kakaknya sendiri dan istri Hengky Samuel Daud, terpidana kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran yang meninggal pada Juni 2010. "Kayak teroris saja saya didatangi banyak polisi," ujar Melia.
Ini memang untuk sekian kalinya dia berhadapan dengan penyidik Mabes Polri. Menurut Melia, dalam beberapa pemeriksaan sebelumnya, penyelidik tak pernah memintanya membawa akta itu.
Siang itu, setiap inci rumahnya diperiksa polisi. Setiap dokumen yang bertulisan tangan Melia diambil. Menjelang magrib, puluhan polisi itu meninggalkan kediamannya. Tak selembar pun surat tanda penyitaan yang diserahkan kepadanya. "Mereka datang juga tanpa menunjukkan surat penggeledahan," katanya.
Merasa diperlakukan sewenang-wenang, Melia mengadukan peristiwa yang dialaminya itu ke Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri. Namun, bukannya mendapat pembelaan, sebuah berita mengejutkan justru yang dia dengar. Kasusnya dinyatakan lengkap alias P21 oleh Kejaksaan Agung pada 23 Juli lalu. Senin pekan lalu, dia bahkan dipanggil Badan Reserse Kriminal untuk "menyerahkan diri" sebagai tersangka. Tapi Melia tak memenuhi panggilan itu. Ia beralasan sakit.
Terletak beberapa ratus meter dari Taman Menteng, Jakarta Pusat, rumah itu terlihat "lain" dibanding kiri-kanannya. Cat putih digoreskan tak beraturan menimpa warna asli dinding yang berwarna krem. Cat-cat itu seperti berupaya menutup sejumlah tulisan di dinding tersebut. Samar-samar tulisan itu masih bisa dibaca: "Rumah ini tidak dijual, milik Chenny Kolondam".
Penghuni rumah ini bukan Chenny, melainkan seorang pendeta bernama Andre Hanny Manday. Kamis siang tiga pekan lalu, rumah itu terlihat sepi. "Pendeta sedang di gereja," kata Audrey, penjaga keamanan rumah itu. Pria ini mengenakan pakaian loreng khas salah satu kesatuan Tentara Nasional Indonesia. Audrey mengaku diperintahkan menjaga Andre dan ia tidak bekerja baik untuk Chenny maupun Melia.
Rumah seluas 761 meter persegi itulah yang menjadi pangkal perseteruan dua saudara tersebut. Melia mengaku membeli secara sah dari Chenny pada 18 Juni 2007. Akta Jual-Beli Nomor 7 Tahun 2007 ditandatangani keduanya di kantor notaris Rose Takarina. Uang pembelian sebesar Rp 9.728.579.000, kata Melia, sudah diberikan kepada Chenny sebelum mereka menghadap notaris pada 18 Juni 2007.
Dua hari kemudian, menurut Melia, dia membaliknamakan sertifikat hak guna bangunan rumah tersebut atas namanya. Lantas, bersama tiga sertifikat lain miliknya, sertifikat itu ia agunkan di BCA Cabang Kuningan.
Pada pengujung 2007, rumah itu sempat dijadikan restoran bernama Dabu-Dabu. Tapi, lantaran masalah perizinan, restoran itu hanya berumur empat bulan. Lalu rumah itu dijadikan kantor oleh Alfry, anak Melia. Awal 2009, Chenny kembali menempati rumah itu sebelum Andre Hanny Manday menempatinya pada Mei 2011.
Pada November 2011, sejumlah petugas BCA Cabang Kuningan mendatangi rumah itu. Para petugas memfoto-foto rumah itu dan menyatakan akan segera melelangnya. Alasannya lantaran Melia tak sanggup melunasi utangnya di bank. Berita itu mengejutkan Chenny. "Dari pihak bank, saya baru tahu kalau sertifikat rumah tersebut sudah balik nama," ujarnya.
Chenny lalu meminta pihak bank membatalkan rencana lelang tersebut, tapi mereka menolak. Pihak bank menyatakan, kalau rumah tersebut tidak akan dilelang, dia mesti melapor ke polisi. Chenny pun membawa kasus ini ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Kepada penyidik, Chenny menegaskan bahwa pada 18 Juni 2007 itu ia sejak pagi hingga malam berada di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat itu, ia dimintai keterangan perihal kasus korupsi mobil pemadam kebakaran yang melibatkan suaminya, Hengky Samuel Daud. Saat itu, Hengky tengah menjadi buron KPK.
Menurut Chenny ketika itu, saat diperiksa KPK, ia menitipkan seluruh harta berharganya, termasuk sertifikat rumahnya di daerah Taman Menteng tersebut, kepada Melia. Kala itu, ia juga diminta Melia pindah dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, supaya tidak kesepian. Kepada penyidik, Chenny menyatakan sejak itu tidak tahu ke mana sertifikat yang dititipkan kepada Melia.
Polisi merespons laporan Chenny. Dalam laporan bernomor LP/3980/XI/2011/Ditreskrimum disebutkan bahwa Melia telah melakukan tindak pidana penipuan atau penggelapan. Tapi laporan kasus sengketa rumah ini di Polda ternyata tak berumur panjang. Gelar perkara yang dilakukan para penyidik Polda Metro pada 8 Maret 2012 menyimpulkan tak cukup bukti untuk menjadikan Melia sebagai tersangka. Chenny pun lantas membawa kasus ini lebih ke "atas". Dia mengadu ke Bareskrim Mabes Polri. Chenny menduga saudaranya menggunakan koneksinya, seorang jenderal, agar penanganan kasus dihentikan.
Aduan Chenny bersambut. Pada 10 April 2012, Mabes Polri dan Polda Metro melakukan gelar perkara sengketa dua perempuan itu. Hasilnya, Chenny "menang". "Ternyata di Polda belum kesimpulan final. Ada yang perlu dipertajam," ucap Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie, mantan Kepala Biro Pengawasan Penyidik Badan Reserse Kriminal, kepada Tempo, yang pernah menangani kasus ini. Penyidik Polda diminta menyelidiki lebih dalam, antara lain perihal adanya pembayaran tanpa bukti kuitansi dan proses pengajuan kredit tahun 2007, serta membuat berita acara konfrontasi antara Melia, Chenny, dan notaris.
Saat diperhadapkan pada 27 April 2012, Chenny menyatakan tanda tangannya yang tertera di akta jual-beli itu ia bubuhkan di dalam mobil saat perjalanannya ke KPK. Kepada penyidik, dia mengaku kala itu tak membaca isi dokumen yang mesti ia tanda tangani. Tapi keterangan Chenny dibantah notaris dan dua pegawainya, yang menyatakan bahwa Chenny datang ke kantor mereka.
Adapun perihal uang pembelian, Melia mengaku menyerahkan secara bertahap kepada Chenny menggunakan kantong plastik di sejumlah tempat, antara lain di rumahnya di Manado dan bahkan di area parkir di Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat. Tapi soal ini dibantah Chenny. "Saya wajib lapor setiap hari ke KPK, tidak mungkin ke luar kota," kata Chenny.
Perkara rumah makin runyam ketika belakangan Melia menggunakan rumah sengketa itu sebagai pengikat perjanjian pembayaran utang dengan seorang pengusaha India, Deepak, pada 15 Mei 2012. Dalam perjanjian, Deepak menyerahkan Rp 17 miliar untuk melunasi utang Melia di BCA. Melia menjanjikan Deepak bahwa kasusnya di Polda selesai dalam waktu tiga bulan.
Tapi "perhitungan" Melia ini ternyata meleset. Yang terjadi, ya itu tadi, kasus ini kemudian "melompat" ke Mabes Polri. Sumber Tempo menyebutkan sejumlah petinggi polisi turun tangan saling menjadi beking dua perempuan itu. Mereka campur tangan karena nilai rumah di kawasan elite tersebut jika dijual bisa puluhan miliar rupiah. Kepada Tempo, bekas penyidik kasus ini di Polda, Ajun Komisaris Besar Riky Haznul, mengakui perkara ini berkembang semakin sensitif. "Setelah koordinasi dengan Mabes diputuskan, supaya tidak berat sebelah, kasus diserahkan ke Mabes," ujar Riky.
Di Mabes, Chenny memang berada "di atas angin". Melia ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik Bareskrim membidiknya dengan pasal melakukan pemalsuan akta jual-beli. "Statusnya naik untuk mempertajam penyidikan," kata Ronny. Nah, berkas perkara pemalsuan itulah yang belakangan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung dan siap dikirim ke pengadilan.
Perkara ini tak hanya bergulir di ranah pidana. Pada 17 Januari lalu, Melia bahkan menggugat Chenny secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia meminta pengadilan menetapkan rumah itu miliknya. Sidang di jalur perdata bahkan sudah memasuki tahap pemeriksaan saksi. "Dari persidangan ini kami baru tahu klien kami menjadi tersangka karena dianggap memalsukan tanda tangan Chenny," ujar Merdy Maxi, kuasa hukum Melia.
Menurut Merdy, polisi melakukan kriminalisasi kepada Melia. "Polisi mengabaikan keterangan notaris dan Badan Pertanahan Nasional bahwa pembuatan akta sudah sesuai dengan prosedur," katanya.
Kepada Tempo, Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri Komisaris Besar Herry Prastowo menyatakan pemeriksaan forensik, yang kemudian menyimpulkan adanya pemalsuan tanda tangan, merupakan kebutuhan penyidik. Menurut dia, pihaknya juga sudah meminta keterangan dua polisi yang pernah bertugas di KPK yang dulu memeriksa Chenny dan dua pegawai BCA, termasuk yang mengurus pinjaman uang yang dilakukan Melia dulu.
Aryani Kristanti
Rumah Chenny di Badan Antiteror
Spanduk putih sepanjang sekitar dua meter itu tergantung di pagar depan dua rumah di Jalan Imam Bonjol 53 dan 55, Jakarta Pusat. Isinya kampanye dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengajak publik mendukung penyesuaian harga bahan bakar minyak bersubsidi. Terkesan agak ketinggalan memang, karena harga Premium dan solar faktanya sudah naik sekitar tiga bulan lalu.
Hanya spanduk itulah yang terlihat mencolok dari dua rumah di satu pekarangan tersebut. Dari rumah ini pula Chenny Kolondam, janda terpidana kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran Hengky Samuel Daud, dijemput Melia Handoko, yang kemudian jadi seterunya, pada akhir Mei 2007 untuk diajak pindah ke rumahnya.
Saat itu, Chenny memang hanya tinggal dengan dua pembantunya di rumah tersebut. Dua anaknya bersekolah di Amerika Serikat. Hari-hari itu ia mesti memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diinterogasi perihal suaminya yang buron.
Dua bangunan yang menjadi satu itu kini tak ditempati Chenny. Penghuninya sudah berganti. Bukan menjadi kediaman keluarga, melainkan menjadi kantor Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), badan antiteror yang kini dipimpin Inspektur Jenderal Purnawirawan Ansyaad Mbai. "Sejak akhir 2010, BNPT berkantor di sini, di rumah Bu Chenny," ujar SutarÂyono, petugas keamanan kantor itu, kepada Tempo.
Siapa pun yang melintas di depan rumah itu mungkin tak mengira di sinilah kantor BNPT, lembaga penting yang tugas utamanya menyusun strategi penanggulangan terorisme. Tak ada papan nama secuil pun di depannya. Pegawainya pun hampir semua berpakain sipil, dan hanya satu-dua yang terlihat memakai seragam polisi. Satu-satunya petunjuk bangunan tersebut kantor BNPT adalah sejumlah stiker BNPT yang ditempelkan di beberapa kaca rumah itu.
Pemilihan rumah tersebut sebagai markas BNPT sempat mengundang kritik sejumlah pengamat masalah teroris. Itu terutama menyangkut letaknya di jalan protokol Ibu Kota yang sangat terbuka serta tak adanya sama sekali pengamanan berlapis. Posisi seperti ini dikhawatirkan menjadi sasaran empuk teroris.
Sumber Tempo menyebutkan pemakaian rumah tersebut sebagai kantor BNPT tak lepas dari kedekatan Chenny dengan para pejabat badan antiteror itu, yakni Ansyaad Mbai dan Direktur Penindakan Brigadir Jenderal Petrus Golose. Yang terakhir ini bahkan "satu kampung halaman" dengan Chenny, sama-sama dari Minahasa. Kedekatan itulah, kata sumber tersebut, yang menyebabkan beberapa masukan agar BNPT mencari tempat lebih aman ditampik, karena para petingginya lebih sreg dengan rumah Chenny.
Menurut Melia, kedekatan Chenny dengan para petinggi badan antiteror ini—serta sejumlah petinggi lain dari kepolisian—yang membuat kasusnya dengan Chenny, yang hampir dihentikan Kepolisian Daerah Metro Jaya, ditarik ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dan dibuka kembali. Chenny, ujar Melia, memanfaatkan kedekatannya dengan orang-orang penting tersebut untuk membela kasusnya. "Dia koar-koar di Kejaksaan Agung bahwa ada tiga jenderal yang membekingi dia," kata Melia.
Tudingan Melia ini dibantah Chenny. Menurut Chenny, dia tak meminta bantuan petinggi mana pun untuk membela kasusnya dalam melawan Melia. Dia menampik suara-suara yang menyatakan para petinggi BNPT membantunya karena ia telah meminjamkan rumahnya secara gratis kepada BNPT. "Rumah itu disewa secara resmi oleh BNPT dan dibayar per tahun," ujarnya. Sewanya, kata Chenny, sekitar Rp 1 miliar setahun.
Menurut dia, tudingan Melia bahwa dia dibantu para pejabat kepolisian juga tak masuk akal karena faktanya kasusnya kini sudah berjalan dua tahun. "Kalau ada koneksi, pasti tidak lama seperti sekarang," ujarnya.
Kepada Tempo, mantan Kepala Sub-Direktorat Harta dan Benda Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Riky Haznul, yang pernah menangani kasus Melia-Chenny, menolak tudingan bahwa ada campur tangan petinggi kepolisian dalam kasus sengketa rumah itu.
Menurut Riky, perkara ini diserahkan ke Bareskrim setelah dilakukan koordinasi antara Polda dan Markas Besar pada awal 2012. Kala itu, kata Riky, para penyidik Polda tidak sanggup menjalankan perintah penajaman penyelidikan yang diperintahkan Mabes. "Itu juga lebih baik ketimbang nanti saya disebut ikut bermain," ujarnya.
Adapun Direktur Pembinaan dan Kemampuan BNPT Rudi Sufahriadi membantah jika dikatakan para pejabat BNPT dekat dengan Chenny. Hanya, kepada Tempo, Rudi menyatakan tak tahu-menahu perihal urusan sewa-menyewa rumah Chenny dengan lembaganya. Ansyaad Mbai dan Petrus Golose tidak bisa dimintai konfirmasi tentang kedekatannya dengan Chenny. Panggilan telepon dan permintaan wawancara yang disampaikan majalah ini tak mendapat jawaban.
Aryani Kristanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo