Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Korban penganiayaan anak bos toko roti di Cakung, Jakarta Timur, Dwi Ayu Darmawati, 19 tahun, menceritakan perjalanannya menuntut keadilan. Ia sempat bergonta-ganti pengacara hingga menjual motornya untuk membayar biaya penasihat hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya, Dwi bercerita sempat didampingi oleh seorang pengacara yang mengaku dari “LBH Polda”. Cerita ini ia sampaikan dalam pertemuan dengan Komisi Hukum DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi Hukum DPR RI Habiburokhman lalu meminta Dwi agar mau menceritakan lebih detail sosok pengacara tersebut. Dengan terbata-bata, Dwi menjawab pengacara itu bernama Linda.
Saat bertemu di Polres Jakarta Timur, Linda mengaku jika dia diutus oleh bosnya Dwi. “Dia ngasih tahu disuruh sama bos saya,” ucap Dwi.
Akhirnya, orang tua Dwi Ayu memutuskan mengganti pengacara. Namun, pengacara kedua ini selalu tidak memberikan jawaban yang pasti saat ditanya mengenai proses hukumnya. Keluarga Dwi pun merasa ditipu oleh pengacar tersebut. “Dia setiap ada info selalu ke rumah dan minta duit. Mama saya sampai jual motor," kata Dwi.
“Motor satu-satunya. Habis jual motor itu, saya tanya-tanyain sudah enggak bisa dihubungi lagi,” tutur Dwi.
Usai rapat, Dwi Ayu menanggapi pertanyaan awak media. Salah satunya soal harga jual motor untuk membayar pengacara. "Setahu saya Rp 12 juta," ujarnya. Uang tersebut diberikan cash atau tunai secara bertahap.
Kasus penganiayaan anak bos toko roti di Cakung, Jakarta Timur viral di media sosial. Dalam video yang beredar, Dwi tampak dihantam dengan kursi oleh pelaku George Sugama Halim.
Pada Senin dini hari, 16 Desember 2024, George ditangkap di sebuah hotel di Sukabumi, Jawa Barat. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka.
George disangka pasal penganiayaan. Ia dijerat melanggar Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.