Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Clemang-clemong pun ditarik glodak-glodak di rumah jaya

Sidang perkara pembunuhan jayawikarta dan anaknya, di pengadilan negeri purwokerta. dua saksi, rilun dan sumarjo, menarik kesaksiannya. (krim)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG perkara pembunuhan Jayawikarta dan anaknya, Susilo, di Pengadilan Negeri Purwokerto kian ramai. Masyarakat kian banyak yang yakin bahwa kedua terdakwa, yaitu anak ke-2 Jaya (Handoko) dan adik iparnya (Paulus), jangan-jangan telah menjadi korban salah tangkap. Empat karyawan Wisma Rosenda, Baturaden, misalnya, dalam sidang Kamis pekan lalu memberi kesaksian bahwa di malam terjadinya pembunuhan, Handoko tak pergi ke manamana. Anak Jayawikarta itu, yang menjadi manajer Rosenda, ada di rumahnya yang tak begitu jauh dari wisma. Yang tak kalah menarik adalah keterangan dua saksi utama, Sumardo dan Rilun, dua hari sebelumnya. Kepada majelis hakim yang dipimpin Abunasor Machfud, keduanya mengaku clemang-clemong (asal bicara) sala ketika diperiksa polisi karena tak tahan menanggung siksaan. "Saya tidak tahu apaapa tentang pembunuhan itu dan tak pernah bertemu Handoko atau Paulus malam itu," kata Rilun dan Sumarjo. Jayawikarta dan Susilo ditemukan terbunuh di rumahnya di Jalan Overste Isdiman Gang I No. 53, Purwokerto, pada malam 4 Maret lalu. Keduanya menderita luka parah di kepala akibat pukulan linggis dan cetok atau sendok semen. Jaksa S.A. Noerdin menuduh Handoko dan Paulus sebagai pembunuhnya. Menurut Jaksa, malam itu, ketika hendak memasuki rumah Jaya, mereka bertemu Rilun dan Sumarjo. Mereka berdua disuruh berjaga-jaga di luar rumah. Dan untuk jasanya itu, kepada mereka dijanjikan imbalan masing-masing Rp 100 ribu. Tapi di muka sidang Rilun, penjaga SMEA Swagaya, menyangkal apa yang dikatakan jaksa. Malam itu, katanya, ia sedang membuat amplop sembari mendengarkan uyonuyon, gending lagu Jawa, d sebuah ruangan di SMEA tempatnya bekerja, yang terletak bersebelahan dengan rumah Jaya. Ia baru keluar dari sana sekitar pukul 24.00, setelah mendengar orang-orang ramai membicarakan pembunuhan itu. Pengakuannya, seperti tertera dalam berita acara pemeriksaan polisi, kata Rilun, semata karena ia sudah tak tahan disiksa. Suatu malam, misalnya, ia mengaku dikeluarkan dari sel tahanan dan dibawa keliling naik mobil. Tangannya diikat tali sepatu dan matanya ditutup kaus kaki. "Saya disuruh buka mulut, lalu mulut saya ditodong dengan laras pistol," katanya. Ia juga mengaku sering dihajar, "seperti kerbau", hingga rasanya seperti mau mati saja. Sumarjo, 33, juga mengaku mendapat perlakuan yang sama. Bekas tangan kanan Oey Boen Lian - pengusaha muda yang namanya sering dikaitkan dengan matinya Christina Lina Dewi - itu mengaku mendengar ada pembunuhan setelah pulan nonton film. Ia menyangka seolah-olah tahu bahwa pelaku pembunuhan adalah Handoko dan Paulus. Malam itu, katanya, ia sama sekali tak pernah bertemu keduanya. Bahkan dengan Rilun, setelah lama tak berjumpa, baru bertemu kembali dalam tahanan. Sejak beberapa waktu lalu, Sumarjo dan Rilun sudah dikeluarkan dari tahanan sementara, lalu Handoko dan Paulus, minggu lalu. Dan, meski sudah dibebaskan, Sumarjo dan Rilun mengaku masih terus diteror. Menjelang sidang tempo hari, awal Oktober, mereka ke Jakarta diantar Pengacara Fachrudin dan Ahmad Yani Nasir. Mereka meminta perlindungan kepada Kapolri karena jiwanya merasa terancam. "Saya diancam akan didor oleh polisi bila memberikan keterangan yang berbeda dengan berita acara. Padahal, sungguh, saya tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu," kata Rilun kepada TEMPO seusai sidang. Sumarjo pun, menurut pengakuannya, diancam akan "dibereskan" bila berkata lain. Ketika ditanya apakah mereka tak takut ancaman akan betul-betul dilaksanakan, Rilun dan Sumarjo hanya angkat bahu - pasrah. Menurut sumber di kejaksaan Purwokerto, keduanya nanti juga akan diajukan ke muka sidang sebagai tertuduh. "Berkas perkara Rilun dan Sumarjo memang terpisah dengan berkas Handoko dan Paulus karena tuduhan terhadap mereka berbeda," katanya. Terhadap Rilun dan Sumarjo akan diterapkan pasal 56 KUHP (membantu atau memberi kesempatan melakukan kejahatan). Soal peningkaran keterangan kedua saksi utama dari berita acara dan dalam persidangan memang masih bisa dipertanyakan. Misalnya, seberapa jauh kejujuran mereka. Rilun, menurut sebuah sumber di kepolisian, bisa jadi memang mcngatakan yang sebenarnya, sebab pesuruh SMEA Swadaya itu memang lugu dan tampak tak tahu apa-apa. Namun, terhadap Sumarjo, terus terang ia agak ragu. "Dia itu bekas preman," katanya. Majelis hakim tentu punya kaca mata sendiri untuk menilai benar tidaknya sebuah pengakuan. Sidang memang masih panjang dan belasan saksi lain masih akan didengar keterangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus