SIDANG perkara pembunuhan Jayawikarta dan anaknya, Susilo, di
Pengadilan Negeri Purwokerto kian ramai. Masyarakat kian banyak
yang yakin bahwa kedua terdakwa, yaitu anak ke-2 Jaya (Handoko)
dan adik iparnya (Paulus), jangan-jangan telah menjadi korban
salah tangkap. Empat karyawan Wisma Rosenda, Baturaden,
misalnya, dalam sidang Kamis pekan lalu memberi kesaksian bahwa
di malam terjadinya pembunuhan, Handoko tak pergi ke manamana.
Anak Jayawikarta itu, yang menjadi manajer Rosenda, ada di
rumahnya yang tak begitu jauh dari wisma.
Yang tak kalah menarik adalah keterangan dua saksi utama,
Sumardo dan Rilun, dua hari sebelumnya. Kepada majelis hakim
yang dipimpin Abunasor Machfud, keduanya mengaku clemang-clemong
(asal bicara) sala ketika diperiksa polisi karena tak tahan
menanggung siksaan. "Saya tidak tahu apaapa tentang pembunuhan
itu dan tak pernah bertemu Handoko atau Paulus malam itu," kata
Rilun dan Sumarjo.
Jayawikarta dan Susilo ditemukan terbunuh di rumahnya di Jalan
Overste Isdiman Gang I No. 53, Purwokerto, pada malam 4 Maret
lalu. Keduanya menderita luka parah di kepala akibat pukulan
linggis dan cetok atau sendok semen. Jaksa S.A. Noerdin menuduh
Handoko dan Paulus sebagai pembunuhnya. Menurut Jaksa, malam
itu, ketika hendak memasuki rumah Jaya, mereka bertemu Rilun dan
Sumarjo. Mereka berdua disuruh berjaga-jaga di luar rumah. Dan
untuk jasanya itu, kepada mereka dijanjikan imbalan
masing-masing Rp 100 ribu.
Tapi di muka sidang Rilun, penjaga SMEA Swagaya, menyangkal apa
yang dikatakan jaksa. Malam itu, katanya, ia sedang membuat
amplop sembari mendengarkan uyonuyon, gending lagu Jawa, d
sebuah ruangan di SMEA tempatnya bekerja, yang terletak
bersebelahan dengan rumah Jaya. Ia baru keluar dari sana sekitar
pukul 24.00, setelah mendengar orang-orang ramai membicarakan
pembunuhan itu. Pengakuannya, seperti tertera dalam berita acara
pemeriksaan polisi, kata Rilun, semata karena ia sudah tak tahan
disiksa. Suatu malam, misalnya, ia mengaku dikeluarkan dari sel
tahanan dan dibawa keliling naik mobil. Tangannya diikat tali
sepatu dan matanya ditutup kaus kaki. "Saya disuruh buka mulut,
lalu mulut saya ditodong dengan laras pistol," katanya. Ia juga
mengaku sering dihajar, "seperti kerbau", hingga rasanya seperti
mau mati saja.
Sumarjo, 33, juga mengaku mendapat perlakuan yang sama. Bekas
tangan kanan Oey Boen Lian - pengusaha muda yang namanya sering
dikaitkan dengan matinya Christina Lina Dewi - itu mengaku
mendengar ada pembunuhan setelah pulan nonton film. Ia
menyangka seolah-olah tahu bahwa pelaku pembunuhan adalah
Handoko dan Paulus. Malam itu, katanya, ia sama sekali tak
pernah bertemu keduanya. Bahkan dengan Rilun, setelah lama tak
berjumpa, baru bertemu kembali dalam tahanan. Sejak beberapa
waktu lalu, Sumarjo dan Rilun sudah dikeluarkan dari tahanan
sementara, lalu Handoko dan Paulus, minggu lalu.
Dan, meski sudah dibebaskan, Sumarjo dan Rilun mengaku masih
terus diteror. Menjelang sidang tempo hari, awal Oktober, mereka
ke Jakarta diantar Pengacara Fachrudin dan Ahmad Yani Nasir.
Mereka meminta perlindungan kepada Kapolri karena jiwanya merasa
terancam. "Saya diancam akan didor oleh polisi bila memberikan
keterangan yang berbeda dengan berita acara. Padahal, sungguh,
saya tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu," kata Rilun
kepada TEMPO seusai sidang. Sumarjo pun, menurut pengakuannya,
diancam akan "dibereskan" bila berkata lain. Ketika ditanya
apakah mereka tak takut ancaman akan betul-betul dilaksanakan,
Rilun dan Sumarjo hanya angkat bahu - pasrah.
Menurut sumber di kejaksaan Purwokerto, keduanya nanti juga akan
diajukan ke muka sidang sebagai tertuduh. "Berkas perkara Rilun
dan Sumarjo memang terpisah dengan berkas Handoko dan Paulus
karena tuduhan terhadap mereka berbeda," katanya. Terhadap Rilun
dan Sumarjo akan diterapkan pasal 56 KUHP (membantu atau memberi
kesempatan melakukan kejahatan).
Soal peningkaran keterangan kedua saksi utama dari berita acara
dan dalam persidangan memang masih bisa dipertanyakan. Misalnya,
seberapa jauh kejujuran mereka. Rilun, menurut sebuah sumber di
kepolisian, bisa jadi memang mcngatakan yang sebenarnya, sebab
pesuruh SMEA Swadaya itu memang lugu dan tampak tak tahu
apa-apa. Namun, terhadap Sumarjo, terus terang ia agak ragu.
"Dia itu bekas preman," katanya.
Majelis hakim tentu punya kaca mata sendiri untuk menilai benar
tidaknya sebuah pengakuan. Sidang memang masih panjang dan
belasan saksi lain masih akan didengar keterangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini