Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUNTUTAN masyarakat agar MPR tak terburu-buru mengamendemen UUD 1945 agaknya tak berlebihan. Soalnya, rancangan amendemen kedua UUD 1945 mengandung banyak materi kontroversial. Salah satunya adalah muatan sensitif tentang syariat Islam yang berasal dari Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
Dalam rancangan itu, materi syariat Islam tertampung pada amendemen Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 tentang agama. Pasal tersebut berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Pada amendemennya, isi pasal itu ditambah kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Menurut pengusul materi itu, sebagaimana diutarakan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPR, Rusjdi Hamka, penambahan tujuh kata itu berguna bagi umat Islam agar konsisten dalam pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan adanya sikap konsisten, katanya, tentu tak akan muncul masalah besar bagi bangsa dan negara.
Rusjdi mengakui bahwa rumusan syariat Islam tak akan menggangu umat beragama lain. Sebab, mereka tetap bebas menjalankan agamanya.
Ternyata, materi Piagam Jakarta itu mengundang gelombang kritik, baik dari kalangan MPR maupun dari masyarakat. Pengamat politik Mochtar Pabottinggi, misalnya, menganggap muatan tersebut menunjukkan kemunduran (setback) sejarah.
Argumentasi itu beralasan. Sebab, ketika UUD 1945 disusun, materi tersebut menjadi bahan perdebatan alot antara kelompok Islam dan kebangsaan. Kelompok kebangsaan menganggap rumusan tujuh kata tadi mengandung unsur diskriminasi. Polemik seru itu juga berlangsung ketika membahas sila pertama Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945. Demikian pula sewaktu merumuskan syarat calon presiden pada Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945, yang semula dibubuhi kata-kata "orang Indonesia asli yang beragama Islam."
Akhirnya, pada 18 Agustus 1945, para pendiri negara mencoret tujuh kata tadi dari sila pertama dan dari Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945. Alasannya adalah untuk mencegah perpecahan karena Negara Indonesia baru lahir.
Namun, di Konstituante, pro-kontra tentang dasar negara kembali terjadi. Selama tiga tahun persidangan, perdebatan itu tak kunjung tuntas. Padahal, masalah penting lainnya, di antaranya soal sistem parlementer dan hak asasi manusia, sudah dirampungkan. Sampai pada Juli 1959, Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno.
Haruskah perdebatan itu kini terulang? Baik Mochtar maupun Albert Hasibuan dan Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa hal itu tak perlu. Menurut mereka, sebaiknya ketentuan Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 tak usah diubah. Hal itu menjadi sangat penting untuk menjaga persatuan dengan tak mengundang kecemburuan umat non-Islam.
"Umat agama lain sama-sama memiliki keyakinan untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing," kata Mochtar. Dan keyakinan itu, sebagaimana keyakinan umat Islam, sudah tertampung pada Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945.
Menurut pengamatan Jimly, usulan di atas lebih bersifat politis ketimbang agama. Katanya, tak mustahil usulan diembuskan sebagai manuver politik untuk pemilihan umum tahun 2004.
Kalaupun Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 hendak dilengkapi, kata Jimly, sebaiknya menggunakan rumusan netral, bukan rumusan dari Piagam Jakarta. Umpamanya, seperti alternatif pada rancangan amendemen kedua UUD 1945, dengan penambahan anak kalimat "dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya."
Toh, Mochtar menganggap ketentuan Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 layak dipertahankan. "Urusan agama itu transendental, tak usah dimasukkan ke dalam urusan kenegaraan," ujarnya.
Sebenarnya, bila menilik rancangan kedua amendemen, penambahan tujuh kata pada Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 menjadi tak relevan. Hal itu bisa dibuktikan dengan dipertahankannya rumusan sila pertama Pancasila pada bab tentang dasar negara. Pada rancangan amendemen Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 tentang syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden juga tak ada lagi kata-kata "beragama Islam."
Hp.S., Wen, Nda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo