Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pengadilan Negeri Tasikmalaya memvonis empat remaja dalam kasus pengeroyokan.
CCTV yang merekam kejadian pengeroyokan tak menunjukkan ada para pelaku di lokasi.
Bukti-bukti perkara pengeroyokan di Tasikmalaya ini minim.
MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya memvonis 1 tahun 8 bulan penjara kepada empat anak: FM, 17 tahun; RS (16); DW (16); dan RR (15). Mereka dianggap bersalah karena mengeroyok M. Topik dan Aji di Jalan S.L. Tobing, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 17 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua majelis hakim Dewi Rindaryati membacakan putusan tersebut dalam sidang pada Kamis, 23 Januari 2025. “Menetapkan para anak tetap berada dalam tahanan. Mengurangi pidana penjara yang sudah dijatuhkan dengan masa tahanan yang telah dijalani,” ujar Dewi dalam sidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum para terdakwa, Nunu Mujahidin, kecewa atas vonis tersebut. Dia yakin para terdakwa yang masih duduk di bangku sekolah itu tak bersalah dan merupakan korban salah tangkap. Dia menilai kasus ini mirip kematian Muhammad Rizky dan Vina Dewi Arsita atau Eky dan Vina Cirebon pada 2021, yang kembali menjadi sorotan tahun lalu.
Pasalnya, kata Nunu, tak ada bukti yang menunjukkan keempat terdakwa adalah pelaku pengeroyokan terhadap Topik dan Aji. “Perkara ini seperti kasus Cirebon jilid kedua,” kata Nunu.
Menurut Nunu, selama sidang, jaksa maupun hakim tak menunjukkan rekaman kamera keamanan atau CCTV di sekitar lokasi kejadian. Padahal, menurut dia, ada sejumlah CCTV yang membuktikan para terdakwa tidak berada di lokasi kejadian.
Selain itu, polisi tak pernah menemukan bukti celurit dan pemukul bisbol, yang dalam dakwaan jaksa disebut sebagai alat pengeroyokan. Bahkan, menurut Nunu, polisi menyita sepeda motor dan helm para terdakwa yang tak sesuai dengan deskripsi korban.
Nunu juga menyoroti kejanggalan lain dalam persidangan. Awalnya, menurut Nunu, majelis hakim telah melepaskan para terdakwa dalam putusan sela. Hakim menilai dakwaan jaksa tidak konsisten dalam hal tempus delicti (waktu kejadian) dan locus delicti (tempat kejadian).
Awalnya, jaksa menyebutkan pengeroyokan terjadi pada 22 September 2024. Namun, dalam bagian lain dakwaan, waktu kejadian disebut 16 November 2024. Namun, hakim memutuskan kembali menahan para terdakwa setelah jaksa memperbaiki surat dakwaan tersebut. “Kesalahan ini menunjukkan dakwaan disusun secara tidak cermat dan penuh ketidaksesuaian sehingga tak layak dijadikan dasar untuk menghukum para terdakwa,” ujarnya.
Nunu akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Ia juga berencana melaporkan majelis hakim ke Komisi Yudisial karena dugaan pelanggaran kode etik. “Kami akan terus berjuang mendapatkan keadilan,” ucapnya.
Tak hanya itu, Nunu juga akan melaporkan penanganan kasus ini yang ia nilai penuh dengan pelanggaran sejak awal. Penetapan tersangka, misalnya, terbalik urutannya. Polisi menangkap empat anak tersebut pada 30 November 2024 pukul 4 pagi. Padahal mereka belum menjadi tersangka. Polisi baru menetapkan status tersangka pada 1 Desember 2024 pukul 1 pagi.
Menurut Nunu, ketika menangkap empat remaja yang dituduh terlibat pengeroyokan itu, polisi tak memakai dasar hukum yang jelas. Dia menilai penangkapan itu melanggar Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena tidak melalui proses penyelidikan dan pemanggilan lebih dulu.
Selain itu, menurut Nunu, korban pengeroyokan baru diperiksa pada 30 November 2024 pagi, setelah penangkapan para terduga tersangka. Dalam pemeriksaan itu, kata Nunu, korban juga tak bisa mengidentifikasi pelaku pengeroyokannya. “Metode scientific crime investigation (SCI) tidak diterapkan dalam kasus ini,” kata Nunu.
Rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI yang membahas kasus salah tangkap di Tasikmalaya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, 21 Januari 2025. Antara/Bagus Ahmad Rizaldi
Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andrie Yunus menemukan dugaan penyiksaan dalam metode pemeriksaan polisi terhadap para terduga pelaku pengeroyokan.
Selain penyiksaan, penanganan kasus pengeroyokan di Tasikamalaya menunjukkan adanya pelanggaran prosedur hukum yang serius. Berdasarkan temuan Kontras, polisi dan jaksa diduga menahan dan menangkap empat remaja yang diduga pelaku pengeroyokan secara sewenang-wenang.
Kesewenangan itu melanggar sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Andrie menyarankan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri memeriksa secara etik aparat penegak hukum yang terlibat dalam kasus ini. “Para APH yang menyalahi prosedur harus dihukum dan diberikan sanksi,” katanya.
Nunu Mujahidin membenarkan temuan Kontras. Dia mengatakan Kepolisian Resor Kota Tasikmalaya melakukan sejumlah pelanggaran terhadap UU SPPA dalam penyidikan kasus pengeroyokan ini. Misalnya, penyidik tidak meminta pembimbing kemasyarakatan selama pemeriksaan. Padahal, Pasal 23 ayat (1) UU SPPA menyebutkan anak harus mendapat pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan selama pemeriksaan.
Polres Kota Tasikmalaya, menurut dia, baru mengirimkan surat kepada Kepala Badan Pemasyarakatan Garut pada 1 Desember 2024. "Sehingga sangat tidak masuk akal apabila pembimbing kemasyarakatan hadir dalam proses pemeriksaan anak-anak, karena mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 1 Desember 2024 pukul 01.00 WIB," kata dia.
Nunu juga mengungkap adanya pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1) UU SPPA. Pasal itu menyatakan penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dalam penyidikan tindak pidana yang melibatkan anak-anak. "Tidak ada dokumen permohonan pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan sama penyidikan," ucapnya.
Dia juga mengkritisi langkah penyidik yang memeriksa anak-anak tersebut pada dini hari. Nunu menyatakan hal tersebut tak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU SPPA yang menyatakan penegakan sistem peradilan anak harus berdasarkan asas perlindungan, keadilan dan penghormatan terhadap anak.
Penyidik, kata Nunu, juga tidak melakukan upaya diversi dan penerapan keadilan restoratif dalam kasus ini. Padahal, Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU SPPA menyatakan sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan upaya diversi.
Terakhir, dia menyatakan penyidik tidak memberitahukan orang tua saat menangkap dan menahan anak-anak tersebut sesuai ketentuan dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU SPPA. "Tidak ada bukti pemberitahuan kepada orang tua atau wali anak mengenai hak ini. Jika tidak dilakukan (pemberitahuan), seharusnya penangkapan dan penahanan batal demi hukum," ujarnya.
Terakhir, Nunu menyatakan polisi juga tak seharusnya menangkap dan menahan anak-anak tersebut. Dalam Pasal 3 huruf g UU SPPA, kata dia, penangkapan dan penahanan anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. "Ini anak-anak ditahan tanpa alasan kuat atau bukti yang cukup. Sebelum pemeriksaan saksi selesai," kata dia.
Kepala Kepolisian Resor Kota Tasikmalaya Ajun Komisaris Besar Mohammad Faruk Rozi membantah tudingan pelanggaran prosedur dalam penyidikan kasus ini. Saat diminta konfirmasi Tempo pada Selasa, 22 Januari 2025, dia menyatakan penyidikan telah sesuai aturan.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Arief Wicaksono Sudiutomo pun membela Polres Tasikmalaya. Menurut Arief, pihaknya sudah meminta konfirmasi dugaan kesalahan prosedur ini kepada Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tasikmalaya melalui Inspektur Pengawasan Daerah Polda Jawa Barat. Hasilnya, Kompolnas berkesimpulan penanganan kasus ini sesuai dengan prosedur.
Namun Arief juga menyatakan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat bersama Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI sedang meninjau kasus ini. Menurut Arief, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Barat serta Divpropam Polri juga sedang menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik dan ketidakprofesionalan yang dilakukan oleh penyidik Satreskrim Polres Tasikmalaya. “Propam sedang memproses dugaan pelanggaran ini,” ujar Arief kepada Tempo saat dihubungi pada Kamis, 23 Januari 2025. ●
Sigit Zulmunir dari Garut berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo