TEMAN-teman dan gurunya di SMU GB Yoshua, Medan, mengenal Muhammad Ferizal sebagai anak yang pendiam, patuh, dan tak pernah membuat onar. Hanya saja selama tiga bulan terakhir ini, wali kelas Ferizal, Mesrawaty boru Siregar, melihat perubahan pada diri muridnya. "Biasanya ia rajin memasukkan baju dan rapi, tapi sekarang suka mengeluarkan baju dan sepatunya pun hanya dipijak saja," ujar Mesrawaty. Tak hanya itu. Belakangan, ia sering meminta izin keluar kelas sekadar untuk nongkrong di kantin. Mesrawaty menduga, anak didiknya itu tengah mengalami depresi.
Agustus lalu, Ical, begitu remaja 17 tahun itu dipanggil, memang baru putus cinta dengan pacarnya. Tampaknya, bungsu dari enam bersaudara itu menyalahkan keluarganya sebagai penghalang hubungannya dengan sang pacar, Poppy. Ini membuat kejengkelan dan kekecewaan terhadap keluarganya memuncak.
Selama ini, sebagai anak bungsu, Ical merasa tertekan karena menjadi suruhan orang serumah. Ia juga merasa dianaktirikan ayah-ibunya. Ia bisa begitu dendam hanya karena melihat kakak perempuannya yang bekerja di luar kota diantar-jemput ayahnya. Sementara itu, kalau ia yang pergi, hanya waktu berangkat saja ia diantar sedangkan waktu pulang ia dibiarkan sendiri. Diam-diam, ia tidak bisa menerima perlakuan seperti itu karena melihat orang tuanya mempunyai empat mobil.
Si anak bungsu yang mengaku merasa tertekan dan terkungkung di tengah keluarganya ini akhirnya melampiaskan dendamnya. Dibantainya ayah, ibu, dan empat kakak kandungnya. Begitulah pengakuan Ical kepada petugas polisi Poltabes Medan yang berusaha mencari tahu motif di balik pembantaian keluarga H.M. Arsyad Batubara, akhir Oktober lalu.
Menurut polisi, beginilah Ical menghabisi keluarganya. Peristiwa tragis berawal ketika pagi itu keluarga Arsyad memulai aktivitas keseharian mereka. Arsyad, mantan direktur Akademi Perawat Departemen Kesehatan Sumatra Utara, mencuci mobil di teras. Istrinya, Delfiariana Siregar, menyiapkan sarapan. Sementara itu, si sulung, Vitrisna, menyeterika sambil menonton televisi. Tiga anak yang lain, Vini, Vidi, dan Gun Chalid, tengah kuliah. Sedangkan Vita, anak kedua, sudah tak tinggal di rumah sejak Juli lalu. Ia bekerja di Kantor Pemerintah Daerah Padangsidempuan, Tapanuli Selatan. Di tengah kesibukan itu, Ical masih asyik tiduran di kamarnya.
Karena hingga pukul 09.00 belum bangun juga, sang inang (sapaan untuk ibunya) membangunkan Ical dan menyuruhnya membersihkan halaman rumah seperti biasa. Ical bangun, memang, tapi perintah itu diturutinya dengan kesal. Entah apa yang merasuk ke benaknya, remaja tanggung ini justru menghantam kepala kakaknya dengan alu dari belakang. Setelah itu, Gun, kakaknya yang baru pulang kuliah, giliran dialu. Lantas berturut-turut ibu, ayah, Vini, dan terakhir Vidi, dihabisi. Mereka dibunuh tidak dalam waktu bersamaan. Polisi memperkirakan, seluruh aksi pembantaian itu dilakukan antara pukul 10.00 dan 14.45, atau hampir tiga jam.
Tak ada yang menyangka Ical bisa berbuat senekat itu. Tidak juga Poppy. "Ical orangnya pendiam, kalem, dan berpembawaan tenang. Kami tak pernah keluar berdua, hanya di rumah saja. Kalau tiba waktu salat, Ical sering melakukan salat di rumah," kata Poppy yang sempat pingsan ketika diwawancarai TEMPO.
Menurut Dokter Rahardjo Slamet, Ketua Tim Psikiater Rumah Sakit Pirngadi, Medan--yang memeriksa kondisi kejiwaan Ical--pada waktu melakukan perbuatan sadisnya, Ical dalam kondisi marah akibat sifat agresif yang terbendung yang kemudian diledakkan dengan perbuatannya itu. "Perbuatan yang dilakukan Ical bukan dingin, tapi marah. Marah itu bisa datang setiap saat dan bisa terjadi pada setiap orang," kata Rahardjo.
Hasil analisis tim psikiater menunjukkan kondisi mental Ical tergolong stabil. Hanya saja, batinnya memang bertendensi murung. Tim psikiater malah melihat sebenarnya Ical justru sangat diperhatikan dan amat disayang sewaktu kecil. "Ical itu terlalu disayang orang tuanya, tapi ia salah menanggapinya dan menganggap itu mengekang," ujar Dokter Evawaty Siahaan, salah satu anggota tim psikiater. Menurut tim itu, kalau kemudian muncul temperamen tinggi akibat pengekangan, itu disebabkan oleh kebiasaan "apa-apa dibolehkan". Jadi, kasus Ical ini sebetulnya merupakan kasus biasa saja dan tak ada faktor di luar ambang batas kesadaran.
Wicaksono (Jakarta), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini