USKUP Martinho da Costa Lopez kini sibuk. Di wilayah
keuskupannya, ternyata umat Katolik begitu banyak.
"Menurut pemerintah 2/3 penduduk Timor Timur memeluk Katolik,"
katanya beberapa waktu lalu. Padahal, menurut perkiraannya
selama ini, umat Katolik di situ tak lebih dari 1/3 penduduk
Tim-Tim.
Kecuali itu, sejak penggabungan Tim-Tim ke wilayah Indonesia
tempo hari, ia juga harus berbenah. Misalnya, akhir Juli lalu
beberapa tukang cat sibuk mengecat gedung keuskupan di Dili.
Sementara gedung seminari yang ada di belakang gedung keuskupan,
pun diperbaiki dari kerusakan di sana-sini.
Di dalam gedung keuskupan itu sendiri masih, nampak kusam.
Perabotan tak ada yang baru, dan sebagian besar masih dilapisi
debu -- pertanda kegiatan di situ pernah terhenti untuk waktu
yang cukup lama.
Ketika Tim-Tim masih di bawah Portugis ada sekitar 100 pastor
bertugas di wilayah itu. Pergolakan yang terjadi menjelang dan
setelah wiiayah seluas 14 ribu kmÿFD itu bergabung dengan RI, 17
Juli 1976, menyebabkan banyak pastur yang kembali ke Portugis.
Kini tinggal 29 pastor, termasuk 22 pastor sekuler. "Seharusnya
kami memerlukan 100 pastor," kata Uskup Martinho, 56 tahun,
kelahiran Laleya, Manatutu.
Bukannya putra Tim-tim tak ada yang berminat menjadi pastur,
tapi memang ada masalah. Dulu, calon-calon pastor disekolahkan
ke Macao (wilayah Portugis di daratan Cina) dan Lisabon (ibukota
Portugis). Tahun 1976 ada delapan calon pastor masih bersekolah
di Lisabon. Waktu itu, Monsignor (Mgr) Martinho yang baru saja
diangkat sebagai uskup Tim-Tim, menggantikan Uskup Riberu yang
kembali ke Portugis, menyampaikan nama kedelapan mereka itu
kepada Wapres Adam Malik.
"Dari delapan orang itu baru tiga yang telah mendapat izin bisa
kembali ke sini," tutur Uskup Martinho kepada TEMPO. Ia memang
nampak senang menceritakan bantuan Wapres pada keuskupannya,
seraya masih mengharap lima putra Tim-Tim yang masih di Lisabon
itu segera mendapat izin pulang pula.
Sesungguhnya, putra Tim-Tim yang belajar di seminari Lisabon
sana banyak. Karena tak adanya kepastian boleh pulang atau
tidak, sebagian besar mereka lantas bekerja di Lisabon.
Usaha lain Mgr. Martinho tak kurang pula. Ia pernah mendatangkan
pastur dari Atambua (Nusa Tenggara Timur). Tapi karena kesulitan
bahasa, jadinya tiada guna. Kemudian, ia pun mengirim 14 putra
Tim-Tim belajar ke seminari di Ende, Flores. Mereka adalah bekas
siswa seminari Dili yang ditutup karena pergolakan tempo bari.
"Tapi untuk kembali ke Tim-Tim masih diperlukan waktu tiga
tahun," tambahnya pula, Jadi ini program jangka panjang.
Sementara dengan susah payah, ia mencoba mendirikan kembali
seminari Dili. Untuk sementara ini sudah ada 13 siswa, meskipun
harus meminjam ruan bawah sebuah rumah sakit Katolik Dili untuk
tempat belajar.
Yang juga memusingkan Mgr. Martinho, adalah biaya. Dulu, di
zaman Portugis, keuangan dijamin pemerintah kolonial itu. karena
memang ada perjanjian dengan Vatikan. Kini, sementara keuskupan
Dili langsung dibawahkan Vatikan, siapa yang harus menaggung
anggaran belanja, menjadi tidak jelas. Pemda Tim-Tim yang
agaknya memahami kesulitan Mgr. Martinho, sudah pula turun
tangan. Atas usul Kol. R. Sahala. Danrem Tim-Tim, dibentuklah
sebuah yayasan yang resmi brdiri Juni lalu dengan nama Yayasan
Santos Antonio. Tapi karena masih belum dua bulan berjalan,
belum diketahui kemampuan yayasan ini menunjang semua kegiatan
keuskupan Tim-Tim yang mempunyai 116 gereja itu.
Soal Sopan Santun
Usaha keuskupan Tim-Tim untuk bergabung dengan keuskupan agung
Semarang, masih belum jelas hasilnya. Begitu pula, meskipun
sudah sering keuskupan Tim-Tim hadir dalam sidang sidang MAWI
(Majelis Agung Waligereja Indonesia), secara resmi belum
tergabung di dalamnya.
Sebenarnya, antara MAWI dan keuskupan Tim-Tim tak ada masalah
apaapa. Menurut sumber di MAWI, "proses penggabungan keuskupan
ke dalam MAWI datang dari bawah." Dan "MAWI selalu membuka
diri," kata sumber itu pula. Masalahnya, agaknya, hanyalah soal
sopan-santun saja. Karena keuskupan Tim-Tim masih dibawahkan
Vatikan, sikap Vatikan masih ditunggu.
Toh, di tengah kesibukannya itu Mgr. Martinho yang telah fasih
berbahasa Indonesia masih sempat bergurau. Soal pemeluk Katolik
yang meningkat itu, misalnya, ternyata "karena setiap orang
harus mempunyai satu agama, dan kebanyakan orang Tim-Tim kalau
ditanya mengaku beragama Katolik, ya jumlahnya memang naik."
Untunglah, uskup yang pernah menjadi anggota DPR di Lisabon
(1970-1974) ini cukup luwes. Ketentuan menjadi pemeluk Katolik
pun diubah. Cukup "kalau orang itu mengaku Katolik, mau
mendaftarkan diri dan mau dipermandikan nantinya." Maka dari
555. 350 penduduk Tim-Tim, menurut hasil sensus tahun lalu, ada
hampir 450 ribu pemeluk Katolik.
Padahal, dulunya untuk diakui beragama Katolik harus melalui
beberapa persyaratan yang cukup berat. Harus mempelajari
katekismus 1 tahun, lalu ikut berdoa bersama 1 tahun, dan hidup
menurut ketentuan Katolik 1 tahun pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini