Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kesibukan uskup martinho kesibukan uskup martnho

Uskup martinho menghadap presiden suharto ia merasa kesulitan mencari tenaga pastor dan biaya. sebagian besar di tim-tim memeluk agama katolik.(ag)

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USKUP Martinho da Costa Lopez kini sibuk. Di wilayah keuskupannya, ternyata umat Katolik begitu banyak. "Menurut pemerintah 2/3 penduduk Timor Timur memeluk Katolik," katanya beberapa waktu lalu. Padahal, menurut perkiraannya selama ini, umat Katolik di situ tak lebih dari 1/3 penduduk Tim-Tim. Kecuali itu, sejak penggabungan Tim-Tim ke wilayah Indonesia tempo hari, ia juga harus berbenah. Misalnya, akhir Juli lalu beberapa tukang cat sibuk mengecat gedung keuskupan di Dili. Sementara gedung seminari yang ada di belakang gedung keuskupan, pun diperbaiki dari kerusakan di sana-sini. Di dalam gedung keuskupan itu sendiri masih, nampak kusam. Perabotan tak ada yang baru, dan sebagian besar masih dilapisi debu -- pertanda kegiatan di situ pernah terhenti untuk waktu yang cukup lama. Ketika Tim-Tim masih di bawah Portugis ada sekitar 100 pastor bertugas di wilayah itu. Pergolakan yang terjadi menjelang dan setelah wiiayah seluas 14 ribu kmÿFD itu bergabung dengan RI, 17 Juli 1976, menyebabkan banyak pastur yang kembali ke Portugis. Kini tinggal 29 pastor, termasuk 22 pastor sekuler. "Seharusnya kami memerlukan 100 pastor," kata Uskup Martinho, 56 tahun, kelahiran Laleya, Manatutu. Bukannya putra Tim-tim tak ada yang berminat menjadi pastur, tapi memang ada masalah. Dulu, calon-calon pastor disekolahkan ke Macao (wilayah Portugis di daratan Cina) dan Lisabon (ibukota Portugis). Tahun 1976 ada delapan calon pastor masih bersekolah di Lisabon. Waktu itu, Monsignor (Mgr) Martinho yang baru saja diangkat sebagai uskup Tim-Tim, menggantikan Uskup Riberu yang kembali ke Portugis, menyampaikan nama kedelapan mereka itu kepada Wapres Adam Malik. "Dari delapan orang itu baru tiga yang telah mendapat izin bisa kembali ke sini," tutur Uskup Martinho kepada TEMPO. Ia memang nampak senang menceritakan bantuan Wapres pada keuskupannya, seraya masih mengharap lima putra Tim-Tim yang masih di Lisabon itu segera mendapat izin pulang pula. Sesungguhnya, putra Tim-Tim yang belajar di seminari Lisabon sana banyak. Karena tak adanya kepastian boleh pulang atau tidak, sebagian besar mereka lantas bekerja di Lisabon. Usaha lain Mgr. Martinho tak kurang pula. Ia pernah mendatangkan pastur dari Atambua (Nusa Tenggara Timur). Tapi karena kesulitan bahasa, jadinya tiada guna. Kemudian, ia pun mengirim 14 putra Tim-Tim belajar ke seminari di Ende, Flores. Mereka adalah bekas siswa seminari Dili yang ditutup karena pergolakan tempo bari. "Tapi untuk kembali ke Tim-Tim masih diperlukan waktu tiga tahun," tambahnya pula, Jadi ini program jangka panjang. Sementara dengan susah payah, ia mencoba mendirikan kembali seminari Dili. Untuk sementara ini sudah ada 13 siswa, meskipun harus meminjam ruan bawah sebuah rumah sakit Katolik Dili untuk tempat belajar. Yang juga memusingkan Mgr. Martinho, adalah biaya. Dulu, di zaman Portugis, keuangan dijamin pemerintah kolonial itu. karena memang ada perjanjian dengan Vatikan. Kini, sementara keuskupan Dili langsung dibawahkan Vatikan, siapa yang harus menaggung anggaran belanja, menjadi tidak jelas. Pemda Tim-Tim yang agaknya memahami kesulitan Mgr. Martinho, sudah pula turun tangan. Atas usul Kol. R. Sahala. Danrem Tim-Tim, dibentuklah sebuah yayasan yang resmi brdiri Juni lalu dengan nama Yayasan Santos Antonio. Tapi karena masih belum dua bulan berjalan, belum diketahui kemampuan yayasan ini menunjang semua kegiatan keuskupan Tim-Tim yang mempunyai 116 gereja itu. Soal Sopan Santun Usaha keuskupan Tim-Tim untuk bergabung dengan keuskupan agung Semarang, masih belum jelas hasilnya. Begitu pula, meskipun sudah sering keuskupan Tim-Tim hadir dalam sidang sidang MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia), secara resmi belum tergabung di dalamnya. Sebenarnya, antara MAWI dan keuskupan Tim-Tim tak ada masalah apaapa. Menurut sumber di MAWI, "proses penggabungan keuskupan ke dalam MAWI datang dari bawah." Dan "MAWI selalu membuka diri," kata sumber itu pula. Masalahnya, agaknya, hanyalah soal sopan-santun saja. Karena keuskupan Tim-Tim masih dibawahkan Vatikan, sikap Vatikan masih ditunggu. Toh, di tengah kesibukannya itu Mgr. Martinho yang telah fasih berbahasa Indonesia masih sempat bergurau. Soal pemeluk Katolik yang meningkat itu, misalnya, ternyata "karena setiap orang harus mempunyai satu agama, dan kebanyakan orang Tim-Tim kalau ditanya mengaku beragama Katolik, ya jumlahnya memang naik." Untunglah, uskup yang pernah menjadi anggota DPR di Lisabon (1970-1974) ini cukup luwes. Ketentuan menjadi pemeluk Katolik pun diubah. Cukup "kalau orang itu mengaku Katolik, mau mendaftarkan diri dan mau dipermandikan nantinya." Maka dari 555. 350 penduduk Tim-Tim, menurut hasil sensus tahun lalu, ada hampir 450 ribu pemeluk Katolik. Padahal, dulunya untuk diakui beragama Katolik harus melalui beberapa persyaratan yang cukup berat. Harus mempelajari katekismus 1 tahun, lalu ikut berdoa bersama 1 tahun, dan hidup menurut ketentuan Katolik 1 tahun pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus