Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu sebabnya, amendemen (perubahan) Undang-Undang Dasar 1945 seyogianya tak dilakukan terburu-buru, sepotong-sepotong, ataupun tambal sulam. Apalagi kalau semata-mata cuma karena trauma masa lalu, terutama akibat praktek politik Orde Baru yang menyakralkan UUD 1945 dan melestarikan kekuasaan eksekutif (presiden) yang sentralistis dan otoriter.
Memang, tak bisa dimungkiri, kekeliruan berkepanjangan yang terjadi selama ini tak lepas dari faktor sejarah. Setidaknya itu lantaran UUD 1945 dibuat dalam keadaan darurat, hanya dalam waktu 49 hari. Tak mengherankan bila kaidah-kaidah penyelenggaraan negara diatur secara singkat. Undang-undang dasar yang terdiri dari 37 pasal itu tergolong konstitusi tersingkat di dunia.
Sistem tata negaradisebut dengan sistem pemerintahandi dalam UUD 1945 juga tak jelas: presidensial ataukah parlementer. Pada sistem presidensial, kekuasaan eksekutif tak bergantung pada legislatif. Sebaliknya, legislatif pun tak bisa diganggu gugat oleh eksekutif. Sedangkan sistem parlementer mengharuskan eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Sebagai imbangannya, eksekutif bisa membubarkan legislatif.
Ada pendapat UUD 1945 bersistem quasi presidensial. Maksudnya, campuran presidensial dan parlementer, tapi ciri-ciri presidensialnya lebih dominan ketimbang parlementer. Ciri presidensialnya ditegaskan dengan kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Menteri selaku pembantu presiden tak bertanggung jawab kepada DPR. Sedangkan ciri parlementernya ditunjukkan dengan adanya pengangkatan presiden oleh MPR, sehingga presiden bertanggung jawab kepada MPR.
Setelah Orde Baru tumbang dan reformasi bergulir, terjadi amendemen UUD 1945 tahap pertama. Namun, proses amendemen itu berkesan sekadar tambal sulam untuk kepentingan saat itu. Ketentuan yang disempurnakan adalah pembatasan masa jabatan presiden.
Pada amendemen pertama, wewenang pembuatan undang-undang juga dialihkan dari presiden kepada DPR. Menurut UUD 1945 lama, DPR hanya dianggap sebagai partner presiden dalam urusan pembuatan undang-undang. Karena itu, Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dibubuhi anak kalimat ''dengan persetujuan DPR".
Tapi, pada amendemen pertama, masih ada sikap dualistis, dengan adanya rumusan ''mendapat persetujuan presiden dan DPR." Jadi, DPR tak punya wewenang legislatif sepenuhnya.
Bersamaan dengan itu, wacana politik untuk mengamendemen UUD 1945 yang berkesan adanya kepentingan sesaat pun terus bergulir. Misalnya, aspirasi untuk mengubah Pasal 8 UUD 1945 tentang keadaan presiden berhalangan tetap dan diganti oleh wakil presiden. Menurut aspirasi tersebut, wakil presiden tak otomatis mengisi jabatan presiden yang kosong.
Tentu saja pendapat itu terdengar sumbang. Soalnya, di negara mana pun yang bersistem presidensial, wakil presiden otomatis memimpin negara bila presiden berhalangan.
Pada sidang tahunan MPR yang pertama kali berlangsung pada Agustus 2000 pun mencuat diskursus tentang kedudukan dan fungsi presiden. Diskursus itu mengutarakan kemungkinan presiden hanya sebagai kepala negara, sementara tugas kepala pemerintahan dijalankan oleh wakil presiden. Lagi-lagi polemik ini terasa melenceng. Sebab, kedudukan presiden sebagai kepala negaratidak menjadi kepala pemerintahanhanya dikenal dalam sistem parlementer.
Gejala kerancuan sistem semakin berlanjut bila menilik rancangan amendemen UUD 1945 tahap kedua yang dibahas pada sidang tahunan MPR. Pada rancangan itu dibuka kemungkinan berlangsungnya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Jelas, kemungkinan itu akan berdampak terhadap MPR dan sistem pemilihan umum serta kepartaian.
Bila presiden dipilih, seperti di Amerika Serikat yang bersistem presidensial, berarti presiden punya program kerja sendiri dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan demikian, mestinya tak perlu ada MPR. Apalagi pada rancangan di atas juga dimuat kemungkinan model lembaga perwakilan rakyat bikameral. Jadi, parlemen kelak terdiri dari majelis rendah (DPR) dan majelis tinggi (Dewan Perwakilan Daerah).
Toh, pada rancangan di atas, eksistensi MPR tetap dikukuhkan, meski presiden dipilih rakyat. Bahkan, model lembaga legislatif yang cuma satu-satunya di dunia itu semakin dibuat digdaya. Betapa tidak, bila MPR bisa meng-impeach (memecat) presiden dan boleh merekomendasikan sidang tahunan ke arah sidang istimewa.
Pada rancangan amendemen kedua itu, keinginan untuk memberdayakan DPR juga menunjukkan adanya kecenderungan sistem ketatanegaraan yang semakin campur aduk. DPR diberi berbagai hak, dari hak inisiatif, amendemen, budget, bertanya, meminta keterangan (interpelasi), menyelidiki (angket), sampai menyatakan pendapatmeski tanpa mosi tak percaya. DPR pun dapat mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR.
Kalau hak-hak itu diterima, kesan tumpang tindihnya tugas antara MPR dan DPR sebagai sesama lembaga perwakilan rakyat pun semakin mengental. Lebih dari itu, lengkapnya hak-hak DPR juga menunjukkan semakin tertutupnya ciri-ciri presidensial oleh dominasi parlementer. Masalah itu sempat disinggung pula oleh Presiden Abdurrahman Wahid, ketika menanggapi penggunaan hak interpelasi DPR, pada 21 Juli 2000.
Dengan mencermati berbagai hal di atas, tidakkah itu berarti sistem yang akan diikuti adalah parlementer? Entahlah. Menurut Albert Hasibuan, mestinya sistem pemerintahan ditentukan lebih dulu sebelum amendemen UUD. Dengan kalimat lain, MPR harus memilih: sistem presidensial, sistem parlementer, ataukah sistem gado-gado sebagaimana terkandung dalam UUD 1945.
Sebab, pemilihan sistem akan menentukan bentuk pembagian dan pembatasan kekuasaan antarlembaga-negara. Bila sistem presidensial yang dipilih, itu berarti jabatan presiden akan terjamin sampai masa akhir tugasnya. Kecuali seperti yang berlaku di Amerika, bila presiden melakukan tindak pidana, ia bisa di-impeach oleh parlemen. Sementara itu, dengan sistem parlementer, parlemen bisa setiap saat meminta pertanggungjawaban presiden.
Selain masalah sistem pemerintahan yang rancu, rancangan amendemen kedua juga mengandung banyak hal yang kontroversial. Di antaranya kemungkinan penghapusan DPA, digantinya Bank Indonesia dengan lembaga otoritas keuangan lain, utusan TNI/Polri di MPR, dan muatan Piagam Jakarta tentang syariat Islam.
Karena itu, Albert, juga Jimly Asshidiqie dan Mochtar Pabottingi, berpendapat sebaiknya MPR tak tergesa-gesa mengamendemen UUD 1945. Apalagi proses amendemen pada masa krisis sekarang penuh diwarnai dengan kepentingan jangka pendek dari partai-partai politik yang persaingannya sedang meninggi.
Bayangkan, ''Bila suatu pasal diamendemen lewat voting. Bisa-bisa satu pasal dengan pasal lainnya tidak nyambung," ujar Jimly. Sekadar contoh adalah pasal tentang pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, yang akan berhubungan dengan pasal tentang reformasi MPR, DPR, dan pemilihan umum.
Untuk itu, ketiga sumber di atas mengusulkan agar amendemen dilakukan oleh sebuah komisi negaramungkin semacam konstituanteyang anggotanya terdiri dari anggota MPR, akademisi, dan anggota masyarakat. Malah, kalau perlu, daripada mengamendemen 37 pasal dalam UUD 1945 menjadi 79 pasal, "Lebih baik dibuat UUD baru yang memenuhi syarat sebagai konstitusi negara modern dengan prinsip check and balance. Daripada nantinya amendemen kedua UUD 1945 diamendemen lagi," kata Albert.
Agaknya, pendapat di atas perlu dicermati oleh MPR. Sebab, bagaimanapun, UUD merupakan kontrak sosial tertulis yang mencerminkan kehendak masyarakat. Karena itu, bila konstitusi masih mengandung kerancuan, tidak sistematis dan komprehensif, tak mustahil kekeliruan berakibat fatal akan terulang kembali di kemudian hari.
Happy Sulistyadi, Wenseslaus Manggut dan Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo