Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
TUNTAS sudah kejayaan Imperium Romawi. Kemenangan pasukan negeri itu, yang dipimpin Jenderal Besar Maximus (Russell Crowe), atas tentara Germania kian mendekatkan mimpi sang Kaisar, Marcus Aurelius (Richard Harris), untuk mengembalikan negeri itu pada bentuk republik. Namun, di saat yang sama, kebimbangan melingkupi sang Kaisar, yang merasa ajalnya hampir tiba. Kepada siapakah kepemimpinan negeri ini akan diteruskan? Commodus (Joaquin Phoenix), sang anak, dianggap bukan orang yang tepat untuk posisi itu. Akhirnya, sang Kaisar memutuskan Maximus-lah yang akan melanjutkan kekuasaannya.
Keputusan itu tentu saja membuat Commodus sakit hati. Anak manja ini segera menghabisi hidup Aurelius dan mengangkat dirinya menjadi Kaisar Romawi. Dia juga memerintahkan pasukannya untuk membinasakan anak dan istri Maximus. Sedangkan Maximus sendiri terlempar ke nasib yang buruk. Dia tertatih-tatih menjadi budak di Maroko. Nasib buruk itu pula yang kemudian melemparkan Maximus menjadi "manusia aduan" alias gladiator. Nah, dari sinilah sesungguhnya jalinan cerita mulai bergulir.
Sesuai dengan judulnya, film garapan Ridley Scott (sutradara Blade Runner, Alien, GI Jane, White Squall, dan nominee Academy Award untuk sutradara terbaik lewat Thelma & Louise) itu disarati adegan-adegan kekerasan, bahkan terkesan sadistis. Film dibuka dengan adegan pertempuran antara pasukan Romawi kuno dan bala tentara Germania. Adegan ini disajikan penuh dengan darah yang muncrat, kepala yang tercerabut dari batang leher, dan pedang yang menusuk tubuh. Adegan ini mengingatkan orang pada adegan yang sama dalam Saving Private Ryan.
Meskipun demikian, film ini toh tetap istimewa. Di saat sineas lain ramai-ramai menggarap tema futuristis--seperti Roger Christian (Battlefield Earth), Brian de Palma (Mission to Mars), atau film yang akan segera datang, Space Cowboys, yang digarap Clint Eastwood--Scott malah melangkah mundur dengan mengambil tema yang sudah lama tak dilirik para sineas, yakni film dengan seting Romawi kuno. Terakhir kali film jenis ini yang dibuat adalah film yang memancing kontroversi, yakni Caligula (1979), yang dibuat Penthouse Film. Sedangkan film-film dengan seting ini sebelumnya adalah Ben Hur (1959), Spartacus (1960), Cleopatra (1962), The Robe (1953), dan Demetrius and the Gladiators (1954).
Karena itu, kehadiran film Gladiator terasa mencorong dan mengobati kerinduan akan hadirnya film dari genre ini. Di masa kini, dengan bantuan teknologi maju berupa penggunaan teknologi komputer, Gladiator berhasil menyajikan sebuah visualisasi yang dahsyat tentang kerajaan Romawi kuno. Koloseum tempat berlangsungnya pertarungan antara para gladiator tiba-tiba kembali terbangun dengan megah di tengah Kota Roma. Selain itu, dengan penggarapan secara kolosal dan kostum gemerlap yang dipakai, digambarkan tidak saja keadaan Romawi saat itu dengan detail, tapi juga sebuah masa dan peradaban manusia.
Namun, skenario yang ditulis David Franzoni yang diinspirasikan oleh lukisan karya Jean-Leon Gerome yang berjudul Pollice Verso itu tidak lebih dari upaya menyuguhkan sosok heroik. Tokoh-tokoh jahat dan baik digambarkan secara hitam-putih. Sosok Maximus, sang jagoan, tampil tanpa noda. Sebaliknya, Commodus digambarkan sebagai pria yang bengis dan rakus kekuasaan, sehingga dia tega menghabisi nyawa ayahnya sendiri.
Jalinan cerita pun terasa melingkar dan bertele-tele, apalagi dengan waktu putar yang mencapai 165 menit. Untungnya, para pemain yang terlibat dalam film ini mampu tampil dengan maksimal. Simak saja peran Joaquin Phoenix, yang mampu menjelmakan sosok Commodus dengan apik. Gerak tubuh dan gaya bicara adik mendiang River Phoenix ini, yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Ridley Scott dalam Clay Pigeons, berhasil menghadirkan sosok seorang pria yang mendambakan kasih sayang dari sang ayah.
Tak pelak, akting yang sempurna ini menjadi lawan main yang seimbang buat Russel Crowe, yang juga tampil luar biasa. Perannya sebagai gladiator ini semakin mengukuhkan Crowe sebagai salah satu aktor papan atas saat ini, setelah dia berhasil menggebrak layar putih melalui penampilannya dalam film The Insider.
Film ini ditutup dengan tragis. Meski berhasil menuntaskan dendamnya, ajal akhirnya menjemput Maximus. Kematian yang mengakhiri sebuah petualangan menjelajahi eksotisme dan keindahan Romawi kuno.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo